Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

LGBT (Juga) Berhak Diperhatikan

16 November 2019   20:08 Diperbarui: 16 November 2019   20:18 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hingga saat ini, banyak masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa LGBT merupakan sebuah penyakit, sebuah perilaku seksual yang menyimpang. Bahkan, banyak masyarakat Indonesia, khususnya yang beragama Islam, menganggap bahwa LGBT adalah sebuah kaum yang menyebabkan kerusakan serta banyak musibah. 

Padahal LGBT sendiri merupakan sebuah orientasi seksual yang secara umum bisa dikatakan sebagai orientasi seksual minoritas di Indonesia. Lantas, apakah yang minoritas itu layak dianggap sebagai penyakit?

Sekitar 45 tahun yang lalu di Amerika Serikat, Asosiasi Psikiatri Amerika, mencoret homoseksual dari penyakit jiwa. Keputusan itu membuat aktivisme LGBT kian bergairah di Amerika untuk menuntut penyetaraan. 

Momentum besar terjadi pada awal 1970-an. Pada tanggal 15 Oktober 1973 ketika College of Psychiatry Federal Council Australia dan Selandia Baru menyatakan bahwa homoseksualitas bukan sebuah penyakit. 

Kesimpulan ini adalah ujung dari riset yang telah dilakukan lama serta sebuah terobosan penembus dinding konservatisme di kalangan para ilmuwan kejiwaan. Deklarasi ini dicatat sebagai yang pertama di dunia, lebih khususnya di antara lembaga psikiatri negara-negara lain, dikutip dari tirto(dot)id.

Orientasi seksual LGBT bisa disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: genetik, pergaulan, traumatik, serta kondisi mental. Saya sendiri mempunyai beberapa teman yang orientasi seksualnya berbeda, atau gay. Kami berteman baik hingga saat ini, dan saya memperlakukan mereka seperti manusia pada umumnya. 

Di lingkungan saya sendiri ada sekitar 5 orang gay, namun mereka sama sekali tidak mengganggu, baik saya maupun masyarakat sekitar. 

Mereka hidup ya seperti pada umumnya, bersosialisasi serta beribadah. Ya, mereka yang dianggap sebagai penyakit masyarakat serta disumpah serapahi oleh orang beragama, nyatanya mereka masih tetap menjalankan ibadah sesuai ajaran masing-masing, masih setia berinteraksi dengan Tuhan mereka.

Namun pada tulisan kali ini, saya tidak akan membahas "sumpah serapah" yang ditujukan kepada LGBT. Saya ingin membahas pelarangan LGBT untuk mendaftar sebagai CPNS. 

Pada kenyataannya, Indonesia yang menjunjung tinggi Demokrasi, kebebasan, serta toleransi, masih memperlakukan LGBT layaknya momok yang menakutkan. LGBT di mata negara seolah seperti sebuah virus menular, sebuah virus yang terus dipersempit ruang geraknya. 

Lantas, dengan perlakuan seperti itu, apakah pantas Indonesia menempatkan Pancasila sebagai dasar negara yang tidak dapat diganggu gugat?

Dalam butir pertama Pancasila tertera KeTuhanan Yang Maha Esa, sedang LGBT juga mempunyai sifat-sifat yang dimiliki oleh Tuhan, karena ada awalan "ke" dan akhiran "an" otomatis butir pertama Pancasila merujuk kepada kata sifat, bukan lagi merujuk kepada "Tuhan yang satu". 

Pada butir kedua, LGBT juga berhak menyandang manusia yang beradab, terbukti dengan masih ingatnya mereka kepada Tuhan serta menjalankan ibadah sesuai ajaran agama mereka. Sedang perbuatan asusila, semua manusia tanpa memandang gender juga bisa melakukan perbuatan asusila. 

Pada butir yang ketiga sangatlah jelas bahwa Indonesia memerlukan persatuan yang berarti terdapat kelompok LGBT di dalamnya. Dan yang paling penting adalah Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, mereka yang disebut dengan LGBT juga berhak mendapatkan perlakukan yang adil dari masyarakat, bankan dari Negara termasuk memperbolehkan mereka untuk mengikuti seleksi CPNS.

Menurut saya pribadi, Indonesia bukanlah tempat yang ramah bagi mereka yang berbeda, mulai dari agama, orientasi seksual, disabilitas, hingga mental illness. 

Agama minoritas selama ini selalu mendapatkan tekanan dari agama mayoritas, LGBT selama ini dipandang rendah oleh mereka yang mengaku normal serta taat dengan ajaran Tuhan, mereka yang menyandang cacat secara fisik juga sering mendapatkan perlakuan yang tidak adil, bahkan, ada beberapa kasus yang menunjukan bahwa manusia Indonesia tidak pantas disebut dengan manusia.

Salah satu kasusnya? Pasti kalian masih ingat dengan orang gila yang tertuduh berpaham Komunis serta disiksa agar mengakui perbuatannya. 

Kasus lain yang sering terjadi yaitu fasilitas yang seharusnya diperuntukkan untuk kaum disabilitas, justru dinikmati oleh mereka yang sehat-sehat saja. Dan yang terakhir yaitu pengidap mental illness, di Indonesia masih sering sekali ditemukan orang yang memandang rendah mereka yang mental illness. Mulai dari menganggap bahwa mereka lebay, alay, hingga menggunjingi mereka di lain tempat dan waktu. 

Mereka yang mental illness juga sering diragukan kapasitasnya, kemampuannya, sehingga banyak kasus yang terjadi terutama yang berkaitan dengan menyakiti diri sendiri hingga bunuh diri.

Negara seharusnya hadir sebagai pelindung semua masyarakat tanpa terkecuali, negara seharusnya hadir sebagai penengah, pengayom mereka yang sering direndahkan. Tapi pada kenyataannya, Indonesia sendiri justru hadir sebagai pelaku kesemena-menaan terhadap mereka yang beda. 

Salah satunya melalui sikap pelarangan LGBT untuk mendaftar sebagai CPNS, dan mau sampai kapan hal seperti itu diteruskan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun