Hingga saat ini, banyak masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa LGBT merupakan sebuah penyakit, sebuah perilaku seksual yang menyimpang. Bahkan, banyak masyarakat Indonesia, khususnya yang beragama Islam, menganggap bahwa LGBT adalah sebuah kaum yang menyebabkan kerusakan serta banyak musibah.Â
Padahal LGBT sendiri merupakan sebuah orientasi seksual yang secara umum bisa dikatakan sebagai orientasi seksual minoritas di Indonesia. Lantas, apakah yang minoritas itu layak dianggap sebagai penyakit?
Sekitar 45 tahun yang lalu di Amerika Serikat, Asosiasi Psikiatri Amerika, mencoret homoseksual dari penyakit jiwa. Keputusan itu membuat aktivisme LGBT kian bergairah di Amerika untuk menuntut penyetaraan.Â
Momentum besar terjadi pada awal 1970-an. Pada tanggal 15 Oktober 1973 ketika College of Psychiatry Federal Council Australia dan Selandia Baru menyatakan bahwa homoseksualitas bukan sebuah penyakit.Â
Kesimpulan ini adalah ujung dari riset yang telah dilakukan lama serta sebuah terobosan penembus dinding konservatisme di kalangan para ilmuwan kejiwaan. Deklarasi ini dicatat sebagai yang pertama di dunia, lebih khususnya di antara lembaga psikiatri negara-negara lain, dikutip dari tirto(dot)id.
Orientasi seksual LGBT bisa disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: genetik, pergaulan, traumatik, serta kondisi mental. Saya sendiri mempunyai beberapa teman yang orientasi seksualnya berbeda, atau gay. Kami berteman baik hingga saat ini, dan saya memperlakukan mereka seperti manusia pada umumnya.Â
Di lingkungan saya sendiri ada sekitar 5 orang gay, namun mereka sama sekali tidak mengganggu, baik saya maupun masyarakat sekitar.Â
Mereka hidup ya seperti pada umumnya, bersosialisasi serta beribadah. Ya, mereka yang dianggap sebagai penyakit masyarakat serta disumpah serapahi oleh orang beragama, nyatanya mereka masih tetap menjalankan ibadah sesuai ajaran masing-masing, masih setia berinteraksi dengan Tuhan mereka.
Namun pada tulisan kali ini, saya tidak akan membahas "sumpah serapah" yang ditujukan kepada LGBT. Saya ingin membahas pelarangan LGBT untuk mendaftar sebagai CPNS.Â
Pada kenyataannya, Indonesia yang menjunjung tinggi Demokrasi, kebebasan, serta toleransi, masih memperlakukan LGBT layaknya momok yang menakutkan. LGBT di mata negara seolah seperti sebuah virus menular, sebuah virus yang terus dipersempit ruang geraknya.Â
Lantas, dengan perlakuan seperti itu, apakah pantas Indonesia menempatkan Pancasila sebagai dasar negara yang tidak dapat diganggu gugat?