Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mendidik Tanpa Memberikan Trauma

7 November 2019   08:00 Diperbarui: 7 November 2019   08:26 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada banyak orang luar di sana yang bicara hanya sekedar bicara. Maksudnya, mereka bicara kepada orang, mungkin saja teman, tanpa memikirkan perasaan lawan bicara mereka.

Umumnya, orang yang seperti itu menganggap bahwa apa yang terlontar dari mulut manisnya merupakan sebuah candaan. Tetapi apakah orang tersebut bisa memastikan bahwa tidak ada perasaan yang terluka? 

Saya pikir "perasaan terluka" sudah umum terjadi, tapi jika lawan bicara itu mengalami trauma? Bagaimana? Manusia memiliki alam bawah sadar yang luput dari perhatian, dan alam bawah sadar itulah yang nantinya akan membentuk rasa trauma di kemudian hari, atau gampangannya, memiliki efek jangka panjang.

Dalam ilmu psikologis, ada yang disebut dengan Trauma Kompleks, yaitu trauma akibat kejadian masa lalu yang membuat efek kecemasan berlebihan pada diri seseorang atau respon seseorang pada suatu keadaan, yang efeknya akan terjadi pada masa yang akan datang. 

Mungkin banyak yang tidak sadar bahwa ucapan kita terhadap seseorang akan menimbulkan efek trauma, contoh paling sederhana adalah perkataan, "Apa sih lihatin aku terus, suka ya sama aku?"

Ucapan itu begitu sederhana dan terlihat biasa saja, tapi jika ucapan seperti itu terus menerus diterima walau konteksnya bercanda, akan menimbulkan efek di kemudian hari, seperti trauma untuk menatap seseorang, misalnya.

Saya sendiri dulu sering mendapatkan ucapan seperti di atas oleh teman-teman saya ketika sedang di sekolah dasar. Awalnya saya tidak menyadari efek yang ditimbulkan akan terlihat selepas masa puber, karena saya pikir, saya seorang introvert yang teramat wajar jika menghindari kontak mata secara langsung dengan orang lain. 

Namun perlahan, setelah heran dengan keadaan yang ada pada diri saya dan bertanya "kenapa saya bisa seperti ini?", kemudian saya ingat dengan kejadian masa kecil yang sudah saya sebutkan di atas.

Efek dari perkataan itu membuat saya sangat jarang menatap lawan bicara saya ketika sedang mengobrol. Dalam hal pekerjaan pun, saya lebih sering menatap ke bawah atau memalingkan pandangan saya ketika sedang berbicara dengan siapa pun yang ada di lingkungan kerja. Bahkan, ketika saya menjalani interview pekerjaan, saya selalu memandang arah bawah tanpa berani untuk menatap wajah orang yang sedang mewawancarai saya.

Peristiwa serta efek yang pernah saya alami tidak berlebihan (jika kalian menganggap saya berlebihan), karena pada kenyataannya, setiap orang mempunyai kondisi mental yang berbeda. Lalu, apa sih contoh lain dari trauma kompleks? Contoh yang akan saya berikan di bawah ini banyak terjadi di masyarakat, khususnya pada orangtua kepada anak-anaknya.

Sudah bukan rahasia lagi, banyak orangtua yang menghardik anak-anaknya sejak usia dini. "kamu ini begini. Kamu itu begitu. Bla bla bla.", salah sedikit dimarahi habisan-habisan ketika masih kecil, atau pun bermacam bentuk kekerasan verbal yang lainnya. 

Jika hal itu sering dilakukan, alam bawah sadar anak akan memproses dan mengingat, lalu mempraktekkannya ketika mereka sudah mempunyai anak. Contoh sederhananya begini, "Dasar bodoh! Masa begini saja tidak bisa?", alam bawah sadar anak akan mengingat dan berkata yang sama kepada anak mereka kelak. 

Jika anak tidak bisa dalam melakukan suatu hal, ajari mereka, jangan menghardik anak dengan "dasar bodoh", karena sekali lagi, alam bawah sadar anak akan memproses dan mengingat hardikan itu.

Anak, ketika mendapatkan hardikan dari orangtua, rata-rata akan diam dan merasa takut, setelah itu akan kembali seperti semula kondisi mental mereka. Tapi jangan lupa juga, banyak anak yang justru melawan orangtua mereka karena seringnya mendapatkan hardikan. 

Efek dari hardikan itu bermacam-macam, yang dulu sempat saya lakukan adalah dengan kabur dari rumah dan menginap ke rumah Almarhumah Budhe saya selama lebih dari 2 minggu.

Coba bayangkan, jika orangtua masih tetap egois menghardik anak sesukanya dengan alasan, "Halah, itu hal yang biasa. Dulu saya lebih parah dari ini." pasti hal itu akan semakin membuat mental anak-anak Indonesia down, dan hasilnya tentu di bawah ekspektasi dari kata membanggakan.

Kondisi mental tiap orang berbeda, dengan adanya rasa trauma, tentu akan berimbas pada kondisi mental mereka. Saya masih beruntung, dibesarkan dalam keluarga yang menuntut kedisiplinan, tidak mengabaikan norma-norma yang berlaku, hingga tekanan yang teramat luar biasa dari Ibu saya bahkan sampai saat ini, saya masih tetap kuat dan melakukan hal yang maksimal dalam akademis dan non akademis. 

Tapi bagaimana dengan mereka selain saya? Maka dari itu, tujuan saya menulis bahasan ini bukan serta merta ingin curhat, tetapi memberikan edukasi kepada pembaca dengan pengalaman serta trauma yang saya miliki.

Saya pikir kita hidup di abad 21 yang sudah modern, maka singkirkanlah pikiran-pikiran primitif dalam mendidik anak. Jika kalian ingin menerapkan sikap disiplin kepada anak-anak kalian, silahkan, tapi usahakan agar anak tidak memiliki rasa trauma atas didikan kalian. Karena yang sudah dari tadi saya singgung, anak kecil mempunyai alam bawah sadar yang akan merespon, memproses, dan mengingat apa yang mereka alami ketika masih kecil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun