Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi Generasi Cerdas 4.0

31 Oktober 2019   14:59 Diperbarui: 31 Oktober 2019   15:11 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image via Indovoice

Sumber daya manusia di Indonesia yang mencapai miliar juta jiwa seharusnya bisa membuat negara ini memiliki kualitas generasi yang siap bersaing, berkompeten, serta giat dalam bidang penelitian. Dengan populasi yang banyak itu, tentu saja membuat persaingan antar pekerja dan calon pekerja semakin ketat, ditambah dengan sekelumit persyaratan yang diajukan oleh perusahaan dalam menerima calon tenga kerja. 

Mungkin sudah menjadi sebuah budaya di Indonesia, di mana para orangtua menginginkan anak-anaknya untuk menjadi seorang PNS, kerja di ruangan ber-AC, hingga mendapatkan income yang besar. Memang, pandangan banyak orang melihat PNS adalah golongan pekerja yang makmur, punya rumah sendiri, kendaraan sendiri, hingga kasta mereka naik lebih tinggi dibanding dengan mereka yang Non PNS.

Dengan mind set, persepsi, sekaligus penilaian yang seperti di atas, tentunya akan membuat banyak orang yang rela berjuang sekuat tenaga agar bisa menjadi pegawai negeri. Bayangkan, tiap tahun lulusan Sekolah Menengah Atas/Kejuruan saling bersaing, belum lagi ditambah dengan lulusan Sarjana. 

Dari banyaknya pencari kerja, perusahaan hanya memerlukan beberapa pekerja saja. Tentu banyak yang frustasi karena tidak kunjung mendapatkan pekerjaan. Frustasi atau bahkan depresi sering dipicu oleh omongan dari orang-orang di sekitar mereka, sehingga membuat mental mereka menjadi down. Sedangkan efek domino dari kondisi mental itu sangat beragam, mereka yang beruntung bisa mencari pekerjaan lain, jadi tukang ojek online misalnya. Sedangkan yang tidak beruntung? Mereka bisa saja melakukan tindakan kriminal, atau yang lebih parah, bunuh diri saking depresinya.

Masalah persaingan kerja, tingkat pengangguran, hemat saya tidak lepas dari jumlah populasi yang mencapai miliar juta jiwa itu. Sedangkan Indonesia harus susah payah mengingkatkan PDB, pertumbuhan ekonomi, dlsb, agar bisa bersaing dan menjadi negara maju. Menurut saya pribadi, ada dua faktor utama yang mempengaruhi tingkat pengangguran di Indonesia, yaitu jumlah penduduk dan pendidikan.

Masyarakat Indonesia masih mempunyai pikiran kalau, "banyak anak, banyak rejeki". Jika kita telaah lebih dalam, hal itu memang benar karena dengan "banyak"nya anak, orangtua akan semakin giat bekerja agar bisa memberikan kewajiban mereka kepada anak-anaknya. 

Tapi jangan keliru, yang merasakan efek jangka panjangnya dalah sang anak. Tugas orangtua hanya memberi makan, memberikan pendidikan, pokonya memberikan apa yang menjadi kebutuhan sang anak. Tapi anak itu ketika sudah dewasa akan melakoni hidupnya sendiri, termasuk bersaing dengan calon tenaga kerja yang lain. Bayangkan, jika "banyak anak, banyak rejeki" dilakukan oleh banyak orangtua, persaingan dalam dunia kerja akan semakin sulit.

Sedangkan faktor yang kedua yaitu pendidikan. Seperti yang kita semua ketahui, tingkat atau pun kualitas pendidikan di Indonesia masih terbilang rendah serta memperihatinkan. Pelajar di sekolah hanya seputar menghafal, mengerjakan tugas, sedangkan mereka tidak dibiasakan untuk memahami. 

Penggalian basic skill pelajar menurut saya juga masih kurang, sekolah kejuruan menurut saya tidak efektif dalam menggali minat atau basic skill dari para pelajar. Kenapa? Fakta di lapangan menunjukan kalau siswa A memilih jurusan 7 bukan karena mereka memang memiliki bakat dalam bidang itu, tapi memilih jurusan 7 karena gengsi, tren, hits. Mereka memilih jurusan 7 sebagai follow market, hasilnya? Bisa dilihat ketika meneruskan pendidikan di perguruan tinggi. Banyak sekali lulusan juruan 7 yang mengambil ilmu 99, belum lagi ketika sudah lulus, mereka yang tadinya fakultas pertanian, bekerja di perbankan.

Hemat saya, Mendikbud yang baru harus bisa menggali basic skill tiap pelajar, bila perlu dimulai sejak sekolah dasar. Sistem pendidikan di Indonesia sudah saatnya mengalami revolusi secara total guna menciptakan kualitas sumber daya manusia yang benar-benar bisa membawa negara ini menjadi rival utama negara-negara dengan kualitas pendidikan yang baik. Jika basic skill sudah terdeteksi sejak dini, pemerintah akan lebih mudah mengarahkan generasi penerus agar tidak lagi menjadi follow market, tapi creator.

Selain dua faktor di atas, ada satu lagi faktor yang menurut saya tidak kalah penting, yaitu motivasi. Coba lihat Tingkok, dengan jumlah penduduk yang banyak, Tiongkok berhasil menjadi rival utama Amerika Serikat. Bahkan, 10% orang terkaya di dunia berasal dari Tiongkok. Kenapa bisa demikian? 

Kalau tidak salah ingat, dulu waktu kecil saya pernah mendengar guru saya berkata, "Migrasilah kalian (rakyat Tiongkok) ke seluruh dunia, bekerjalah di sana, ciptakan penghasilan dari negara lain. Tapi setelah uang terkumpul, kembalilah pulang, bangunlah negara kalian dengan hasil dari negara lain." 

Dan lihatlah, orang-orang Tiongkok hampir tersebar di negara manapun, mereka menjadi tenaga kerja asing, mengenyam pendidikan di negara lain, hingga berkarir di negara lain. Tapi mereka tidak melupakan identitas mereka sebagai rakyat Tiongkok, walau di luar sana mereka sering mendapatkan perlakuan rasis dari penduduk lokal.

Hemat saya, kenapa pemerintah tidak memotivasi rakyatnya agar bisa berkembang seperti Tiongkok? Saya tahu, pemerintah pasti sudah pernah melakukan itu. Tapi yang menjadi pertanyaan, sudah sesering apa? Pada kenyataanya malah rakyat Indonesia setiap harinya mengkonsumsi acara-acara nir faedah di televisi, pada kenyataannya malah rakyat Indonesia setiap harinya menghabiskan waktu produktifnya untuk hal-hal yang tidak penting dengan bermalas-malasan, dlsb.

Lalu, apa yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini? Teruntuk kalian semua yang masih terus berjuang agar mendapatkan pekerjaan namun tak kunjung diterima di perusahaan yang kalian tuju, jangan bersedih dan berkecil hati. Kenapa? Dunia ini teramat luas, dan dengan luasnya dunia, tentunya terdapat banyak sekali hal-hal yang perlu digali, dipelajari, dimanfaatkan, agar kalian mendapatkan income dan dapat melanjutkan hidup. Tidak ada yang salah dengan berdagang, karena dengan berdagang, artinya kalian menjadi bos bagi diri kalian sendiri. 

Bicara masalah modal, setiap usaha pasti memerlukan modal, tapi jika kalian sudah niat, dengan modal berapapun pasti akan tetap bisa survive. Tidak perlu mempertahankan gengsi, karena jika kalian masih tetap menjujung tinggi gengsi, maka hidup kalian tidak akan pernah berubah. Coba lihat, banyak sekali anak-anak muda yang mulai berdagang, menyingkirkan gengsi mereka, misalnya dengan membuka angkringan.

 Ada juga penjual biting keliling yang menggunakan jas seperti pekerja kantoran, itu karena merupakan strategi marketing agar dagangan mereka laku. Dan apakah mereka gengsi? Tidak. Saya rasa banyak sekali contoh pemuda/i yang tidak lagi memikirkan gengsi dan memilih untuk berdagang demi menyambung hidup. Fakta membuktikan bahwa berdagang dalam skala kecil/menengah merupakan bidang usaha yang minim terkena efek inflasi/krisis moneter.

Sebagai penutup dalam tulisan ini, saya akan menekankan perihal gengsi. Tidak perlu terlalu selektif dalam mencari pekerjaan, karena saingan kalian teramat banyak. Tidak ada salahnya menurunkan gengsi kalian agar bisa tetap melanjutkan hidup tanpa bergantung pada warisan orangtua. Karena apa? Karena orangtua pasti akan mati, meninggalkan kalian walau kalian dalam keadaan sekarat sekalipun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun