Pada tulisan kali ini, saya akan menjawab satu pertanyaan tentang "Apa itu jati diri. Bagaimana caranya mencari dan menemukan jati diri?". Jati diri secara umum berarti suatu hal yang ada di dalam diri kita, seperti karakter, sifat, watak, dan kepribadian.
Di dalam diri setiap orang pastilah memiliki berbagai unsur dari jati diri yang berbeda. Kita mempunyai karakter yang berbeda, persepsi yang berbeda, pola pikir yang berbeda, watak yang berbeda, serta sifat yang berbeda. Saya sendiri sampai detik ini masih belum menemukan jati diri saya itu seperti apa, sampai saat ini saya masih mencari, mengeksplore segala hal yang ada di dalam diri saya.
Pada tulisan-tulisan saya sebelumnya, saya sudah sering membahas mengenai kondisi alam bawah sadar, kondisi mental, serta pengendalian emosi atau anger management. Pada tulisan kali ini, saya akan menjadikan diri saya sendiri sebagai contoh.
Perjalanan saya dalam mencari jati diri teramat panjang dan rumit, serta melelahkan. Saya ingat sekali dulu, ketika saya debat dan akhirnya memarahi tiga orang penjaga minimarket. Waktu itu saya komplain karena barang yang saya beli tidak bisa saya dapatkan, padahal saya sudah membayar barang itu dan menunggunya selama kurang lebih tiga jam.
Akhirnya saya meminta uang saya kembali dan memarahi penjaga minimarket itu yang juga punya klaim, kalau barang yang saya beli sudah sukses transaksinya. Akhirnya saya memarahi mereka, saya luapkan emosi karena merasa sangat kecewa. Namun, setelah cekcok itu berhenti dan saya merasa sudah puas karena memarahi mereka, timbullah rasa bersalah saya kepada mereka bertiga. Waktu itu saya berpikir, apakah yang saya lakukan sudah benar? Kenapa saya memarahi mereka semau saya? Pada saat itu pula saya mulai sadar, bahwa saya harus menghilangkan sesuatu yang jelek yang ada di dalam diri saya.
Waktu itu saya berdiskusi dengan teman saya, ia adalah orang yang baik bernama Yudistira, akun instagramnya adalah @lajurkiri . Setelah berdiskusi hingga subuh, saya berpikir harus ada problem sloving untuk kondisi diri saya. Akhirnya teman saya itu menyarakan saya untuk belajar ilmu filsafat, walaupun sebenarnya ilmu filsafat teramat berat, dia menyarankan saya untuk mempelajarinya dari yang paling dasar, yaitu Materialisme, Dialektika, dan Humanisme.
Setelah saya mendapatkan arahan yang cukup jelas, esok malamnya saya berkunjung ke salah satu toko buku yang ada di kota saya. Pada toko buku itu saya tertarik dengan salah satu buku yang berjudul Post Madilog karya K.H Ashad Kusuma Djaya. Awalnya saya pikir, buku itu sama beratnya dengan bukunya Tan Malaka, namun dengan tekad saya yang sudah bulat, saya memutuskan untuk membeli buku itu dan membacanya.
Buku Post Madilog adalah buku yang pertama kali merubah pandangan hidup saya, membuat saya berpikir keras, dan akhirnya memunculkan banyak sekali pertanyaan tentang Agama, Tuhan, dan Manusia. Saya ingat betul saat pertama kali pandangan saya berubah tentang konsep dan ekstensi Tuhan. Di dalam buku itu ada satu bagian yang berhasil memantik otak saya untuk lebih keras dalam berpikir.
Yang saya ingat, ada sebuah percakapan yang terjadi antara kakak dan adik. Sang adik bertanya kepada kakaknya, "di manakah Tuhan?", lalu sang kakak memberikan analogi bahwa Tuhan itu seperti angin (kalau tidak salah ingat). Sang kakak berkata, kita tidak bisa melihat eksistensi Tuhan, tapi kita bisa merasakan kehadiranNya.
Sejak saat itu saya mulai berpikir bahwa Tuhan itu tidak berada di atas Arsy, tidak berada di Israel, tidak ada di tempat ibadah, tetapi Tuhan ada di dalam diri saya. Saya tidak perlu repot-repot meyakinkan semua orang kalau di dalam diri saya ini ada yang namanya Tuhan, karena mereka tidak akan percaya sama sekali kepada diri saya. Jadi saya berpikir, untuk apa saya memberitahu orang yang nantinya tidak akan percaya kepada saya? Lebih baik saya menyimpan itu untuk diri saya sendiri, karena belum tentu juga Tuhan yang ada di dalam diri saya sama dengan Tuhan yang dimiliki oleh orang lain.
Pertanyaan-pertanyaan seputar Tuhan dan agama terus muncul di benak saya, dan, saya akui, saat itu saya sempat depresi karena memikirkan sesuatu yang memang pada sejatinya merupakan sebuah misteri. Untungnya saya memiliki seorang guru spiritual, akhirnya saya memberanikan diri untuk sowan kepada beliau seorang diri.
Guru saya itu merupakan guru kakak saya, setelah kakak saya berumah tangga, kakak saya mengajak saya untuk sowan ke rumah beliau dan menyarankan saya untuk lebih sering sowan dan berdiskusi. Kepada beliaulah saya menceritakan depresi yang sedang saya alami, dan, beliau memberikan wejangan kepada saya, "Lakum dinukum waliyadin". Saya tidak ada hak untuk mencampuri apa yang dipercayai oleh orang lain, begitu pula sebaliknya, mereka tidak ada hak sama sekali menghakimi atas apa yang saya yakini. Maka dari itu, ketika ada orang-orang lucu bertanya, "agamamu apa?" saya menjawab, "agamaku bukan urusanmu. Tuhanku belum tentu sama dengan Tuhanmu".
Perjalanan saya dalam mencari jati diri tidak berhenti pada urusan Tuhan dan agama, masih ada banyak sekali pertanyaan yang perlu saya cari tahu jawabannya. Sampailah saya pada bab Manusia. Saya bertanya, "manusia itu apa? Kenapa harus ada dengan yang dinamakan manusia?". Saya masih belajar, masih terus membaca buku-buku filsafat, dan masih terus memancing followers saya dengan pertanyaan-pertanyaan yang berhasil membuat mereka mencaci saya, hingga menghina kedua orangtua saya.
Dengan adanya umpatan yang saya terima membuat saya bertanya kembali,
"inikah yang dinamakan dengan manusia? Mencaci, menghakimi, menuduh, mengancam, hingga menyumpahi? Apakah benar seperti ini yang dinamakan manusia?".
Melalui pertanyaan itu, saya kembali membaca buku-buku filsafat yang berkaitan dengan manusia, mencari tahu jawaban atas pertanyaan saya sendiri. Dan pada akhirnya saya menemukan sebuah kesimpulan, manusia adalah makhluk yang paling buas. Saya tidak sudi dong menjadi makhluk yang paling buas? Maka dari itu, perjalanan saya selanjutnya adalah dengan menyelami diri saya sendiri. Saya harus mengerti sifat saya, watak saya, karakter saya. Saya harus bisa mengenali diri saya sendiri, saya harus bisa menaklukkan diri saya sendiri agar saya tidak menjadi makhluk yang paling buas.
Sampai detik ini pun, saya masih berusaha keras untuk mengenali diri saya sendiri. Dan perjalanan berikutnya, untuk mengenali diri saya sendiri, saya harus menjinakkan diri saya sendiri terlebih dahulu. Akhirnya saya melakukan pengendalian melalui self talk yang sejak kecil sering saya lakukan. Hasilnya? Saya lebih bisa mengendalian emosi saya, mengontrol pikiran saya, dan juga mengenali alam bawah sadar pada diri saya.
Hemat saya, untuk mencari jati diri, kita harus mengenal segala hal yang ada dalam diri kita. Kita harus tahu apapun tentang diri kita, kita harus bisa menerima jika ada orang yang komplain atas sikap kita di dunia maya maupun dunia nyata. Mawaslah kita terhadap diri kita sendiri, karena dengan begitu, lambat laun kita akan menyadari betapa fananya diri kita, kita akan menyadar bahwa kita itu tidak ada. Ibaratnya, kita hanyalah tokoh pewayangan, sedangkan yang membuat kita hidup adalah alam bawah sadar kita sendiri.
Dan pada akhirnya, kita akan melakoni tokoh apa dengan karakter, sifat serta watak yang bagaimana, ya itu semua tergantung kita sendiri. Kitalah yang menentukan kita akan menjadi apa, dan maka dari itu saya membuat kalimat bijak yang berbunyi, "Suatu saat kita akan menghilang satu per satu, musnah satu per satu, dan terlahir kembali satu per satu. Teruslah melangkah kawanku, tidak ada yang tahu kita akan berakhir seperti apa."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H