Guru saya itu merupakan guru kakak saya, setelah kakak saya berumah tangga, kakak saya mengajak saya untuk sowan ke rumah beliau dan menyarankan saya untuk lebih sering sowan dan berdiskusi. Kepada beliaulah saya menceritakan depresi yang sedang saya alami, dan, beliau memberikan wejangan kepada saya, "Lakum dinukum waliyadin". Saya tidak ada hak untuk mencampuri apa yang dipercayai oleh orang lain, begitu pula sebaliknya, mereka tidak ada hak sama sekali menghakimi atas apa yang saya yakini. Maka dari itu, ketika ada orang-orang lucu bertanya, "agamamu apa?" saya menjawab, "agamaku bukan urusanmu. Tuhanku belum tentu sama dengan Tuhanmu".
Perjalanan saya dalam mencari jati diri tidak berhenti pada urusan Tuhan dan agama, masih ada banyak sekali pertanyaan yang perlu saya cari tahu jawabannya. Sampailah saya pada bab Manusia. Saya bertanya, "manusia itu apa? Kenapa harus ada dengan yang dinamakan manusia?". Saya masih belajar, masih terus membaca buku-buku filsafat, dan masih terus memancing followers saya dengan pertanyaan-pertanyaan yang berhasil membuat mereka mencaci saya, hingga menghina kedua orangtua saya.
Dengan adanya umpatan yang saya terima membuat saya bertanya kembali,
"inikah yang dinamakan dengan manusia? Mencaci, menghakimi, menuduh, mengancam, hingga menyumpahi? Apakah benar seperti ini yang dinamakan manusia?".
Melalui pertanyaan itu, saya kembali membaca buku-buku filsafat yang berkaitan dengan manusia, mencari tahu jawaban atas pertanyaan saya sendiri. Dan pada akhirnya saya menemukan sebuah kesimpulan, manusia adalah makhluk yang paling buas. Saya tidak sudi dong menjadi makhluk yang paling buas? Maka dari itu, perjalanan saya selanjutnya adalah dengan menyelami diri saya sendiri. Saya harus mengerti sifat saya, watak saya, karakter saya. Saya harus bisa mengenali diri saya sendiri, saya harus bisa menaklukkan diri saya sendiri agar saya tidak menjadi makhluk yang paling buas.
Sampai detik ini pun, saya masih berusaha keras untuk mengenali diri saya sendiri. Dan perjalanan berikutnya, untuk mengenali diri saya sendiri, saya harus menjinakkan diri saya sendiri terlebih dahulu. Akhirnya saya melakukan pengendalian melalui self talk yang sejak kecil sering saya lakukan. Hasilnya? Saya lebih bisa mengendalian emosi saya, mengontrol pikiran saya, dan juga mengenali alam bawah sadar pada diri saya.
Hemat saya, untuk mencari jati diri, kita harus mengenal segala hal yang ada dalam diri kita. Kita harus tahu apapun tentang diri kita, kita harus bisa menerima jika ada orang yang komplain atas sikap kita di dunia maya maupun dunia nyata. Mawaslah kita terhadap diri kita sendiri, karena dengan begitu, lambat laun kita akan menyadari betapa fananya diri kita, kita akan menyadar bahwa kita itu tidak ada. Ibaratnya, kita hanyalah tokoh pewayangan, sedangkan yang membuat kita hidup adalah alam bawah sadar kita sendiri.
Dan pada akhirnya, kita akan melakoni tokoh apa dengan karakter, sifat serta watak yang bagaimana, ya itu semua tergantung kita sendiri. Kitalah yang menentukan kita akan menjadi apa, dan maka dari itu saya membuat kalimat bijak yang berbunyi, "Suatu saat kita akan menghilang satu per satu, musnah satu per satu, dan terlahir kembali satu per satu. Teruslah melangkah kawanku, tidak ada yang tahu kita akan berakhir seperti apa."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H