Ia tahu, orang-orang hanya sebatas peduli, prihatin, tanpa usaha untuk membuatnya lebih baik. Di kala hatinya bergejolak, emosinya memuncak, yang dilakukan sang pria hanya diam, membisu seribu bahasa, tak banyak yang bisa dilakukan selain merenungi nasibnya yang teramat nestapa. Sesekali ia pergi ke suatu tempat, yang sekira tak ada satu pun manusia, tak ada kebisingan.
Sang pria suka sekali menyendiri, berada di tempat yang sepi, tempat yang sangat rahasia yang tak ada satu pun orang yang sanggup untuk menemukannya.Â
Entah apa yang ia lakukan dan yang ia cari di sana, sepertinya, ia sedang meditasi, mencoba memusnahkan segala beban yang bisa membuatnya gila. Aku rasa tak ada yang salah dengan hal itu, karena menurutku cara terbaik berdamai dengan kenyataan adalah, mengubur diri di tengah keheningan dan kekosongan.
Keduanya sama-sama merasakan penderitaan yang sama. Tiap harinya sang pria juga merindukan kekasihnya, namun ia tidak pernah punya nyali untuk mengatakannya.Â
Tiap harinya sang pria meradang, menahan rasa ingin jumpa. Tapi tak ada yang bisa dilakukan oleh sang pria kecuali menyerah pada keadaan, kalah oleh sesuatu yang teramat hebat.Â
Barangkali kalian lupa, sang pria juga mempunyai kehidupan yang teramat rumit, yang tak akan ada seorang pun yang kuat jika menjadi dia. Namun sang pria masih bertahan hingga hari ini, bertahan demi sesuatu yang menurutnya dapat menyelamatkan kehidupan sang pria.Â
Ya, sang pria sangat berharap dapat hidup menua bersama kekasihnya, menjalani kehidupannya bersama denga wanita yang sangat dicintainya, dan membuka lembaran baru untuk hidup yang baru juga.
Kalian perlu sadar, bahwa kalian tidak bisa menilai seseorang hanya dari satu sisi saja. Kalian harus menyelami keduanya hingga telinga kalian lelah mendenagarkan belasan juta alasan dan penjelasan.Â
Kalian juga harus siap, jika suatu saat cerita yang sebenarnya dapat merobek kedua mata kalian, hingga air mata keluar tanpa tahu kapan akan berhenti.Â
Terkadang kita hanya perlu mendengar, terkadang kita hanya perlu memahami. Karena bicara berdasarkan satu sisi sama saja seperti kalian membunuh seonggok bayi.
Hara Nirankara, Hanno Nakshatra, hal. 130 - 136