Mohon tunggu...
Himmaty Muyassarah
Himmaty Muyassarah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa Psikologi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Integrasi Kampus dengan Mahasiswa untuk Optimalisasi Pendidikan Pengguna di Kampus

9 September 2020   08:09 Diperbarui: 9 September 2020   23:39 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Beberapa tahun terakhir, Indonesia telah mengalami pencapaian yang cukup luar biasa dalam penelitian. Tercatat bahwa Indonesia telah memasuki empat besar dengan jumlah publikasi internasional terbanyak di ASEAN (Gerintya, 2017). Pada tahun 2018, Indonesia bahkan berhasil melampaui  Singapura dan Thailand di posisi kedua.

Sayangnya, pencapaian ini hanya berupa kuantitas dan belum diimbangi dengan kualitas. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Kemenristekdikti, bahwasanya jumlah sitasi pada jurnal-jurnal tersebut masih sedikit (Octaviany, 2018). Ketika menyusun karya ilmiah selayaknya seseorang mengambil sitasi dari jurnal atau artikel lain. Tentunya dalam mengambil informasi ini, seseorang akan mempertimbangkan kualitas dari jurnal atau penelitian tersebut. 

Dengan kata lain semakin banyak sebuah artikel ilmiah dikutip, semakin banyak orang yang percaya akan kualitas artikel tersebut dan menunjukkan bahwa jurnal tersebut memang berkualitas. Sementara itu, jumlah sitasi pada jurnal dari Indonesia dikatakan masih sedikit. Hal ini menandakan bahwa kualitas jurnalnya masih belum maksimal.

Banyak hal yang bisa mempengaruhi kualitas dari suatu publikasi ilmiah, salah satunya adalah literasi informasi. Literasi informasi adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, mencari dan mengakses sumber informasi, mengevaluasi informasi serta mensintesa tulisan dan mempublikasikannya sesuai dengan etika yang berlaku.

Sangat penting bagi Mahasiswa sebagai salah satu bagian dari masyarakat akademik yang terikat dengan aturan dan norma ilmiah untuk memiliki kemampuan ini dengan baik. Apalagi ketika mahasiswa setidaknya akan melakukan satu kali penelitian ilmiah untuk tugas akhirnya. Sekalipun demikian, beberapa penelitian justru menunjukkan bahwa mahasiswa masih memiliki tingkat literasi informasi yang kurang (Al Hamidy dan Heriyanto, 2012).

 Pendidikan adalah satu hal yang bisa mempengaruhi pembelajaran seseorang, begitu pula dalam hal ini. Pendidikan yang berkaitan dengan literasi informasi adalah user education atau pendidikan pengguna (Mashuri, 2016). Salah satu contoh dari pendidikan pengguna adalah workshop dasar kepenulisan ilmiah yang sering diberikan kepada mahasiswa di tahun pertama. Tujuan dari adanya kegiatan ini tidak lain untuk membekali mahasiswa sehingga mampu untuk melakukan tugas-tugas kepenulisan ilmiahnya sepanjang perkuliahan dengan baik.

Pihak yang biasa berperan penting dalam pendidikan pengguna adalah perpustakaan. Perpustakaan sebagai pihak yang menyimpan, mengolah dan mengelola informasi pustaka (Mashuri, 2016) memiliki hak dan kompetensi untuk memberikan pendidikan ini. Maka tidak mengherankan jika di perpustakaan seringkali ditemukan standing banner atau poster yang berisikan informasi mengenai jurnal dan cara mengaksesnya. 

Selain itu tenaga pengajar atau dosen juga tentunya memiliki peranan penting. Dosen mengajar dan berinteraksi langsung dengan mahasiswa sehingga dapat memberikan pendidikan pengguna di dalam kelas. Tidak jarang dosen memberikan tugas karya ilmiah, mengarahkan sumber untuk mencari informasi, atau mengkritisi sumber yang digunakan dan cara penulisannya.

Sekalipun sudah terdapat usaha-usaha dari pihak kampus, namun seringkali dirasa kurang efektif untuk memberikan keseluruhan pendidikan ini. Hal ini dikarenakan sebagian besar usaha berfokus kepada tahap-tahap awal dari literasi informasi, seperti identifikasi kebutuhan informasi, bagaimana mencari sumber informasi dan mengevaluasinya. Hal ini sejalan dengan penelitian Sunarni (dalam Wahyuni, 2018) bahwa kelemahan mahasiswa dalam literasi informasi justru ada pada kemampuan mensintesa serta mempublikasikannya sesuai dengan etika.

Disisi lain, rasanya tidak memungkinkan jika mengharapkan tenaga pengajar atau perpustakaan bisa mendampingi satu persatu mahasiswa hingga bisa mumpuni dalam  kompetensi ini. Perbandingan jumlah mahasiswa dengan perpustakaan dan dosen tidak mendukung, sementara besarnya jarak generasi kadangkala membuat cara sosialisasi kurang menarik bagi mahasiswa.

Cara terbaik dalam mempromosikan literasi informasi adalah mendorongnya menjadi budaya tersendiri di kalangan mahasiswa. Agen terbaik untuk mempromosikan hal ini tentunya dari mahasiswa sendiri. Mahasiswa bisa memberikan sosialiasasi dari mulut-ke-mulut atau juga melakukan program dengan cara yang lebih dekat dengan mahasiswa. Hal ini juga sekaligus melatih mahasiswa untuk menjadi agen perubahan atas masalah yang ada.

Lembaga eksekutif mahasiswa baik tingkat jurusan, fakultas, maupun universitas merupakan lembaga yang dilihat oleh sebagian besar mahasiswa. Hal ini dikarenakan lembaga eksekutif yang seringkali berperan  menjadi eksekutor atas program yang memfasilitasi kebutuhan mahasiswa. Kanal media lembaga eksekutif seringkali menjadi sumber acuan jika mahasiswa membutuhkan suatu informasi.

Lembaga eksekutif pun biasanya sudah memiliki bidang tersendiri dalam riset dan keilmuan. Salah satu programnya adalah rangkaian kaderisasi yang bertujuan mencetak kader-kader prestatif dalam perlombaan dan riset keilmuan. Bidang ini seringkali memfasilitasi mahasiswa yang tertarik untuk mengikuti perlombaan keilmuan seperti Program Kreativitas Mahasiswa. 

Sayangnya kadangkala program-program ini berfokus pada perlombaan, sehingga bagi mahasiswa yang tidak tertarik dengan perlombaan keilmuan tidak memiliki kesempatan untuk melatih kompetensi ini lebih jauh. Hal ini akan merugikan khususnya pada fakultas atau universitas dengan iklim prestatif yang rendah.

Selain lembaga eksekutif, mahasiswa ilmu perpustakaan sepantasnya memiliki kompetensi lebih terkait literasi informasi dan sosialisasinya dibandingkan dengan mahasiswa lain. Sebagai calon pustakawan di masa depan, mahasiswa ilmu perpustakaan dibekali dengan ilmu dan keterampilan dalam hal ini. Hal ini ditunjukkan dengan adanya penugasan-penugasan terjun ke masyarakat atau membuat edukasi di sosial media. Sayangnya seringkali hal ini juga kurang terlihat oleh kalangan mahasiswa dari jurusan keilmuan yang lain.  

Hal-hal diatas menunjukkan bahwasanya sudah terdapat usaha-usaha untuk melakukan pendidikan pengguna ini dari berbagai pihak, namun  seringkali pada keberjalanannya masih kurang masif dan efektif bagi mahasiswa secara umum.

Sehingga integrasi dari usaha-usaha ini dibutuhkan agar bisa berjalan dengan lebih maksimal dan efektif. Pihak mahasiswa bisa membantu untuk merancang program yang lebih efektif bagi sesama mahasiswa. Mahasiswa ilmu perpustakaan dapat diwakili oleh lembaga eksekutif seperti himpunan mahasiswa. Integrasi memerlukan adanya koordinasi dan kolaborasi yang baik dari keempat pihak sehingga program yang dicanangkan bisa lebih efisien dan mendukung satu sama lain.

Contoh adanya integrasi dan kolaborasi ini adalah sebagai berikut; pihak perpustakaan dan tenaga pengajar bisa menghadirkan workshop kepenulisan di tingkat dasar, namun terdapat program lanjutan yang dipegang oleh lembaga eksekutif dengan agen utama merupakan mahasiswa ilmu perpustakaan. Nilai tambahan bagi mahasiswa yang bertugas bisa menjadi alternatif penugasan sehingga mahasiswa tersebut tidak terbebani dengan tugas tambahan. 

Selain itu, pihak kampus bisa memberikan data yang berharga mengenai program yang sudah berjalan selama ini. Adanya evaluasi atau catatan permasalahan mahasiswa secara spesifik akan menjadi data yang mendukung perencaan program. Hal ini dikarenakan kondisi tiap fakultas ataupun universitas bisa berbeda sehingga program yang dirancang pun juga bisa berbeda.

Lembaga eksekutif di universitas, fakultas ataupun jurusan akan memungkinkan pendidikan dapat dilihat oleh mahasiswa secara umum, sementara kerjasama dengan mahasiswa jurusan ilmu perpustakaan akan memungkinkan sosialisasi dan pendidikan lebih valid dan reliabel.

Program-program yang disusun oleh mahasiswa sepantasnya berbeda dengan apa yang telah dilakukan oleh perpustakaan ataupun tenaga pengajar. Sehingga pendidikan dapat diberikan dari berbagai arah untuk mengurangi ketidaktahuan mahasiswa bahkan menumbuhkan budaya literasi informasi yang baik. 

Daftar Pustaka 

Gerintya, S. (2017, Agustus 29). Kondisi Dunia Penelitian di Indonesia. Retrieved from tirto.id: https://tirto.id/kondisi-dunia-penelitian-di-indonesia-cvvj

Mashuri, I. (2016). Peran Perpustakaan Dalam Mengurangi Plagiarisme. Pustakaloka, 5(1), 135-142.

Octaviany, P. R. (2018, Mei 3). Kualitas Publikasi Ilmiah Peneliti Indonesia Masih Rendah . Retrieved from mediaindonesia.com : 

Wahyuni, N. C. (2018). Ketika Plagiarisme adalah Suatu Permasalahan Etika. Record and Library Journal, 4(1), 7-14.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun