COVID-19 akhir-akhir ini menjadi perbincangan dan keresahan Bersama dalam kancah global maupun lokal. COVID-19 sendiri pertama kali diperkenalkan oleh WHO semenjak dinyatakannya fenomena ini sebagai pendemi. Pandemi yang telah meresahkan dunia ini ditenggarai berasal dari sebuah pasar ekstrem di Wuhan, China. Pandemi ini disebabkan oleh sebuah virus yaitu severe respiratory syndrome corana virus 2 (SARS-Cov-2) atau yang lebih akrab dikenal sebagai virus corona[1]. Â Rilis data per 28 Maret menyebutkan bahwa korban meninggal di seluruh dunia mencapai 27.215 orang dengan total kasus sebanyak 593.656[2].
Data diatas cukup untuk menjelaskan betapa mengerikannya virus tersebut hingga memakan korban sebegitu banyaknya dengan rentang waktu dari Desember akhir hingga bulan Maret. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika WHO menyatakan virus ini sebagai sebuah pandemi dikarenakan ada 200 negara yang melaporkan kasus positif corona, salah satunya Indonesia. Pada tanggal 2 Maret 2020, Presiden Jokowi mengumumkan bahwa dua orang warga negara Indonesia positif corona. Dua orang tersebut merupakan ibu dan anak yang setelah ditelusuri pernah berhubungan dengan salah seorang warga jepang yang juga terjangkit COVID-19[3].
Jumlah korban yang berjatuhan kemudian tidak berhenti di dua orang itu saja. Per 28 Maret 2020 tercatat sebanyak 1155 orang positif corona dengan jumlah kematian sebanyak 102 orang dan sebanyak 59 orang berhasil lepas dari wabah mematikan ini[4]. Dengan rentang waktu yang kurang dari satu bulan terjadi penambahan jumlah korban yang sangat signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah sebelumya telah bersikap abai dalam menangani kasus ini sehingga masyarakat tidak siap untuk menghadapinya. Pemerintah dalam hal ini sebagai agen preventif terbukti tidak berjalan sebab gagal mengedukasi masyarakat mengenai virus ini. Penyebaran virus akan terus berlanjut dan jumlah korban akan terus meningkat pesat jika pemerintah tidak segera merancang mekanisme penanganan yang paling efektif.Â
Berkaca kepada beberapa negara yang sudah berhasil menangani virus ini dengan baik, setidak terdapat dua mekanisme yang dapat digunakan. Dua mekanisme tersebut ialah lockdown seperti yang diterapkan oleh China dan rapid test seperti yang diterapkan oleh Korea Selatan. Sebelum menggunakan dua mekanisme di atas harus dilakukan mekanisme pendahuluan sekaligus mekanisme pendampingan berupa social distancing sebagai sebuah tindakan untuk meminimalisir penyebaran virus.Â
Pemerintah dalam hal ini sebagai pemangku kebijakan, dalam memutuskan mekanisme yang akan digunakan haruslah mempertimbangkan berbagai aspek. Dari dua mekanisme di atas opsi lockdown-lah yang paling menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat maupun di lingkaran pemerintah. Hal ini bukan tanpa dasar, menimbang kebijakan tersebut menyentuh dan mempengaruhi berbagai sector termasuk sector ekonomi.
Strategi negara lain dalam menyikapi COVID-19.
Karantina kesehatan sendiri adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau factor yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat[6]. Dalam undang-undang tersebut, kekarantinaan wilayah diklasifikasikan dalam beberapa bentuk yaitu, isolasi, karantina rumah, karantina rumah sakit, dan karantina wilayah[7].
Dalam memutuskan apakah sebuah negara perlu dilakukannya karantina wilayah perlu dipertimbangkan berbagai aspek. Salah satu aspek yang menjadi pertimbangan paling utama ialah aspek ekonomi. Dalam menganalisis bagaimana dampak penerapan karantina wilayah terhadap perekonomian Indonesia, alangkah lebih baiknya dilihat kondisi ekonomi sebelum terjadinya pendemi ini sebagai bahan komparasi. Sebelum COVID-19 menyebar ke seluruh dunia, ekonomi global sudak diprediksi akan menghadapi gejala-gejala akan melemah.Â
Di Indonesia sendiri ketika wabah corona masih terjadi di China perekonomian Indonesia juga telah memperlihatkan trend melemah, sebab Indonesia yang terlalu bergatung pada China terlebih pada sector impor. Pada saat itu, harga-harga pasar mengalami kenaikan seperti harga bawang putih yang memang persediaannya bergantung pada impor dari China. Hal yang lebih buruk pasti akan terjadi ketika pemerintah tidak sigap dalam menyikapi hal ini. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mengalami stagnasi di angka lima persen menuntut pemerintah untuk lebih berpikir keras dalam memformulasikan kebijakan penaganan COVID-19 sehingga dapat meminimalisir dampak bagi perekonomian Indonesia kedepannya.
Kondisi perekonomian Indonesia semakin diperparah ketika wabah COVID-19 mulai mewabah di dataran China. Perekonomian China mengalami kelesuan yang luar biasa. Padahal, Tiongkok selama ini menyumbang 17% dari PDB global[8]. Infografis dibawah menunjukkan bagaimana wabah COVID-19 mempengaruhi PDB berbagai negara.
Â
Lockdown dan berbagai implikasinya terhadap perekonomian
Berbagai negara telah membuktikan bahwa mekanisme lockdown merupakan salah satu metoda paling efektif dalam menghambat persebaran virus. Sebut saja China yang telah berhasil lepas dari wabah ini dengan penerapan lockdown di negara mereka. Akan tetapi, cara yang efektif ini bukan berarti tidak memiliki berbagai konskeunsi. Ekonomi Tiongkok benar-benar terpuruk pada masa lockdown diberlakukan. Selain itu, kesuksesan berbagai negara dalam melaksanakan mekanisme tersebut tidak bisa kemudian kita adopsi secara mentah tanpa memperhatikan aspek-aspek yang membangun perekonomian kita.
Perekonomian Indonesia dibangun oleh berbagai jenis pekerjaan dan dari berbagai lapisan masyarakat. Berbagai sektor terancam akan lumpuh dengan penerapan lockdown tersebut. Dampak paling besar akan dirasakan oleh kalangan yang bekerja dan menerima upah secara harian, seperti tukang ojek, tukang sapu, dan pekerja harian lainnya. Dalam tinjauan ekonomi, orang-orang yang bekerja harian menggantungkan kehidupan mereka sehari-hari pada besaran pendapatan yang mereka terima pada hari itu. Dengan penerapan lockdown, pekerja harian tidak menerima penghasilan sehingga akan berdampak pada tingkat kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
Ketika hal ini berdampak terhadap tingkat kesejahteraan, maka variable dalam kesejahteraan tersebut secara langsung juga akan terkena dampaknya. Sebut saja seperti munculnya wabah kelaparan, meningkatnya tingkat kemiskinan, serta dampak-dampak lainnya. Dalam kondisi yang lebih ekstrim, menurunnya tingkat kesejahteraan akan mempengaruhi kondisi psikologis seseorang. Tidak sejahteranya sebuah kehidupan akan menjadi stimulus seseorang untuk memenuhi kebutuhannya walaupun dengan cara yang tidak baik. Dalam realitas yang ada kita akan menemui fenomena seperti meningkatnya angka criminal, bahkan juga dapat menghasilkan dampak seperti kekacauan pada tatanan social masyarakat.
Lockdown juga akan berpotensi melahirkan fenomena panic buying gelombang kedua setelah terjadi pertama kali pada saat COVID-19 pertama kali terdeteksi di Indonesia. Panic buying ini terjadi ketika mekanisme lockdown ini tidak dibarengi oleh public health response yang baik dari masyarakat. Public health response yang rendah akan mendorong masyarakat berbondong-bondong membeli berbagai komoditas vital dalam skala besar, terutama komoditas medis seperti masker dan hand sanititizer.
Hal ini kemudian akan mengurangi persediaan dalam negeri dan berujung pada naiknya harga-harga komoditas secara umum. Secara teoritis, fenomena ini dapat dijelaskan menggunakan pendekatan hokum permintaan dan penawaran. Fenomena panic buying akan meningkatkan permintaan nasional secara serempak. Sedangkan, penawaran nasional cenderung konstan. Oleh karena fenomena ini harga-harga secara umum akan meningkat dan terjadi kelangkaan luar biasa di dalam negeri.
Lockdown sebuah wilayah juga memakan biaya yang amat besar. Salah satu bentuk nyata dari besarnya biaya tersebut adalah pemerintah harus bertanggung jawab terhadap ketersediaan pangan dan kebutuhan hidup rakyatnya selama masa lockdown diberlakukan[10]. Kewajiban pemerintah untuk menjamin ketersediaan pangan dan kebutuhan warga negara tersebut akan mempengaruhi struktur APBN Indonesia.Â
Penigkatan pengeluaran pemerintah ini akan mengakibatkan ketimpangan yang luar biasa antara penerimaan negara dengan pengeluaran negara. Dalam kondisi tertentu, memang besarnya pengeluaran akan menjadi stimulus bagi pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, ketika lockdown dimana berbagai lini perekonomian lumpuh, anggaran deficit hanya akan menjadi boomerang bagi negara sebab stimulus tersebut tidak dapat direspon dengan baik oleh industry dan sektor-sektor produksi yang ada.
Berbagai kucuran dana yang dikeluarkan pemerintah baik berupa bantuan langsung tunai atau-pun insentif penunjang kehidupan selama lockdown tidak akan memberikan dampak ekonomi yang baik bagi negara. Hal ini disebabkan oleh kucuran dana tersebut didominasi penyerapannya oleh sektor konsumtif. Kondisi yang berada di tengah terjadinya wabah juga tidak mengizinkan kita untuk mangandalkan investasi sebagai penawar. Sebab investasi-pun akan mengalami trend menurun baik itu lokal mau-pun asing.
Â
Fenomena Supply-Demand Doom Loop
Lumpuhnya perekonomian nasional akan mengakibatkan turunnya kapasitas produksi, turunnya kemampuan perusahaan membayarkan kewajibannya seperti gaji karyawan serta meningkatnya gelombang PHK pada sisi penawaran. Sementara itu, di sisi permintaan akan terjadi penurunan daya beli masyarakat serta permintaan secara umum juga akan mengalami penurunan. Penurunan yang terjadi pada sisi penawaran dan permintaan akan menghasilkan dampak paling ekstrem yaitu resesi ekonomi yang tidak terelakkan. Fenomena ini setidaknya telah terjadi di sektor jasa transportasi online. Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa fenomena ini akan benar-benar memberi dampak signifikan terhadap perekonomian Indonsia apabila lockdown diberlakukan secara ekstrim.
Â
Segelas Intisari dan Rekomendasi
COVID-19 memang sudah menjadi keresahan nasional yang harus segera ditanggulangi Bersama. Di tengah banyaknya daerah yang sudah mulai menerapkan karantina mandiri seperti Tegal, serta beberapa desa di Yogyakarta, pemerintah pusat selaku pemangku kebijakan harus segera mengambil inisiatif dan langkah-langkah yang stratetgis. Opsi karantina wilayah memang menjadi opsi peling efektif. Namun, perlu diperhatikan juga kesiapan negara dan masyarakat dalam berbagai aspek, salah satunya kesiapan ekonomi. Berbagai hal harus dipersiapkan apabila negara ingin melakukan karantina wilayah seperti kesiapan pangan, kesiapan alat-alat medis serta kesiapan anggaran.Â
Oleh karena itu, sudah sangat perlu rasanya menerapkan karantina wilayah sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018. Mengenai biaya-biaya selama karantina wilayah, pemerintah tidak boleh berjalan sendiri. Berbagai pihak dalam hal ini harus digandeng sehingga kita dapat melewati wabah ini tanpa mamakan korban yang lebih banyak lagi. Akhir kata, semua pihak harus bekerja sama. Apapun harus kita hadapi demi terselamatkannya bumi pertiwi yang dicintai ini.
Oleh: Rahmatullah Yudha Welita, Mahasiswa Akuntansi (2019), Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro.
Daftar Pustaka:
[1] Alodokter. 2020. Virus Corona-Gejala dan Penyebabnya di https://www.alodokter.com/virus-corona (diakses pada 28 Maret 2020)
[2] KOMPAS. 2020. Update Corona di Dunia per 28 Maret di https://www.kompas.com/tren/read/2020/03/28/083000965/update-corona-di-dunia-28-maret--593.656-kasus-132.526-sembuh-27.215 (diakses pada 28 Maret 2020)
[3] DetikNews. 2020. Petaka Dansa ‘Pembawa’ Kasus Pertama Virus Corona di Indonesia di https://news.detik.com/berita/d-4922776/petaka-dansa-pembawa-kasus-virus-corona-pertama-di-indonesia (diakses pada 28 Maret 2020)
[4] https://www.covid19.go.id/
[5] https://en.wikipedia.org/wiki/Lockdown
[6] Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
[7] Ibid. Pasal 1 Ayat 7, 8, 9, 10.
[8] Bloomberg Economics. 2020. Dampak Corona terhadap PDB Global.
[9] Bloomber Economics. 2020. Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar.
[10] Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H