Mohon tunggu...
H.M.Hamidi
H.M.Hamidi Mohon Tunggu... Lainnya - Berusaha Berdo'a Bersyukur Berpikir Positif

Pekerja Sosial, Pelaku Pemberdayaan, Praktisi Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gerakan Reformasi dan Gerakan Repot Nasi (Sebuah Catatan Kritis Mantan Aktivis Gadungan 98)

25 Mei 2020   17:19 Diperbarui: 25 Mei 2020   19:28 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kini gerakan itu sudah berjalan 22 tahun lamanya. Lalu perubahan apa yang sudah dihasilkan..?

Mahasiswa dari berbagai latar belakang yang dulu berkoar koar ingin memperbaiki bangsa ini malah terbuai dengan angin segar kekuasaan yang ada ditangan mereka. Jati diri sebagai "Agen of change" luntur karena moleknya kecantikan kekuasaan.  Idealisme untuk memperjuangkan rakyat seakan terkubur dengan kepentingan orang yang berada di belakang mereka.

Perdebatan antar mantan aktivis yang dekat dengan penguasa dan yang tidak, menjadi panggung politik diantara keduanya, saling berebut peran untuk mencari simpati rakyat yang merindukan kesejahteraan.

Perdebatan yang dulu sering dilakukan pada forum forum diskusi  nasional untuk memperjuangkan nasib rakyat yang tidak mendapat keadilan, malah semakin membuka topeng identitas diri sebenarnya dari mahasiswa yang dulu ditutup tutupi dengan alasan kekejaman orde baru. 

Kepentingan yang berada di belakang mereka kini mulai terbuka setelah mereka berada di areal pemerintah yang berkuasa. Alih alih memperjuangkan nasib seluruh rakyat dan bangsa Indonesia, justru yang terlihat adalah memaksakan sistem dan konsep dari sutradara yang ada di belakang mereka dengan memanfaatkan lembaga kenegaraan sebagai alat legitimasi. 

Semangat perubahan yang diperjuangkan pada awal awal reformasi agar bangsa ini menjadi lebih baik dan kesejahteraan rakyat semakin meningkat bagaikan fatamorgana di pagi hari.

DPR sebagai lembaga legislatif dengan fungsi penganggaran, pengawasan dan legislasi semakin tidak berdaya karena tekanan dari partai yang mengusungnya. Biaya politik yang sangat mahal semakin menambah catatan buruk para pemimpin yang terjerat kasus korupsi karena harus mengembalikan biaya yang sangat besar untuk bisa berkuasa, keilmuan, keahlian, kecakapan dan keprofesionalan tidak berlaku kalau tidak memiliki uang untuk membeli suara rakyat yang kita anggap sebagai demokrasi paling idial.

Berbagai produk undang undang yang dihasilkan belum memperlihat keperpihakannya kepada rakyat kecil. Mulai dari RKUHP, UUMD3, Revisi Undang Undang  KPK terkesan terburu buru,  Omnibuslaw hingga perppu Covid 19 yang berpotensi mematikan fungsi DPR sebagai lembaga legislatif hingga sekarang masih menjadi perkara di Mahkamah Konstitusi, telah banyak menuai kritik dari berbagai kalangan mulai dari buruh, pakar, akademisi serta berbagai elemen masyarakat lainnya. Namun tetap saja berjalan,  karena keputusan dan kewenangan  ada pada Presiden dan DPR.

Sejauh ini kita menganggap Orba lebih buruk dari sekarang hanya karena Soeharto bisa berkuasa hingga 32 tahun. Kita anggap paling otoriter karena pemilihan presiden dilakukan oleh MPR. Kita sebut pemerintahan paling korup hanya karena sistem perekonomian dianggap dimonopoli oleh penguasa serta berbagai stempel buruk seakan akan tidak memiliki sisi baik sedikitpun dari orde baru yang dapat diteruskan demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat. 

Padahal dunia mengakui saat itu Indonesia sebagai macan asia yang cukup dihormati dan disegani oleh bangsa lain di dunia. Berbagai masukan dari pengamat, peneliti, pakar, akademisi, lembaga survey serta berbagai elemen masyarakat agar pemerintah segera melakukan perbaikan sistem tatakelola pemerintahan agar tidak terlalu bergantung pada salah satu negara tertentu, akan tetapi  tidak berarti apa apa hanya karena yang menyuarakannya dianggap lawan politik, bahkan dianggap melanggar hukum dengan mengatakan ingin menggulingkan pemerintahan yang sah. 

Wahai para mantan aktivis 98 yang berada di areal kekuasaan, ingatlah perjuanganmu dulu, ingatlah idealisme yang menjadi senjata andalanmu, ingatlah hati nurani yang membisikmu untuk memperjuangkan nasib rakyat yang tidak mendapat keadilan dan kesejahteraan. Harapannya ada di pundakmu. Janganlah terbuai dengan rayuan manis dari orang orang yang menginginkan negeri ini untuk dijadikan ladang untuk niat bulusnya, menjanjikan segala bentuk bantuan dengan alasan pemerataan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun