Al kisah ada seorang emak muda mengirim pesan disebuah grup whatsupp emak-emak dengan bunyi kurang lebih begini,’’
“………………. Ada nggak ya yang bisa njaga (mengasuh – red.) anakku mula jam 10 sampe jam 1 siang, perbulan 300 ribu, kalau hafidz (maksudnya penjaganya hafal quran – red) saya kasih 500 ribu…. “
Ketika istri saya cerita – langsung saya bilang, itu orang wajib “di-bully” .. “ jawab saya spontan.
Kenapa saya bilang wajib “di-bully”? Karena ada beberapa hal yang membuat saya gemas dengan postingan tersebut adalah:
Pertama, sangat naif atau bahkan keteralaluan sekali si emak tadi “menghargai” tenaga seseorang, lah untuk parkir sebuah mobil (benda mati) di sebuah tempat di malang ada yang di-tarif sampai 20 ribu. Untuk motor (benda mati juga) diparkir beberapa saat aja, 2 ribu. Lah ini nitipkan anaknya – yang notabene benda hidup dan harus dijaga agar tidak celaka saat beraktivitas - ke orang selama 4 jam – dihargai “Cuma” seharga 11,5 ribu (sebelas ribu lima ratus – dengan asumsi sebulam 300 dibagi 26 hari).
Padahal “harga pasaran” di pembantu rumah tangga “lepas” (tidak menginap) di Malang perhari sekitar Rp. 40 ribu. Kalau setengah hari saja – seperti di rumah ibu saya, seorang pembantu rumah tangga dengan durasi “jam kerja setengah hari” mulai jam 7 pagi sampai dengan jam 11 siang (atau sebelum sholat duhur) dengan pekerjaan, bersih-bersih rumah, menucuci atau menyetrika pakaian – tarifnya minta Rp. 25 ribu.
Kedua, ada semacam “penghinaan” kepada para hafidz (penghafal quran), masak seorang penghapal quran – yang harus bermujahadah (berjuang dengan sungguh-sungguh – karena tidak semua orang mampu menghapalkan quran) selama beberapa tahun menghapalkan quran - eh cuma diminta jadi “pembantu” mengasuh anak orang lain, udah begitu disuruh membimbing anak orang tersebut untuk menghapalkan quran. Apalagi dibayar 500 ribu perbulan atau sekitar Rp. 19 ribu per hari (atau 4 jam).
Ini, benar-benar penghinaan, karena untuk biaya mondok di sebuah pesantren yang murah saja (seperti di tempat anak saya nyantri) butuh sekitar Rp. 500 ribu/bulan, belum biaya lain-lainnya. Selain itu yang sepanjang yang saya tahu dan saya baca, keberkahan ilmu agama itu adalah dengan dicari yaitu dengan cara si murid yang datang ke tempat guru mengajar – bukan sebaliknya, sang guru yang harus datang mengajar si murid. Oleh karena itu seorang penulis buku-buku parenting islami – ustadz Fauzil Adhim – dalam sebuah tulisan - tidak menganjurkan orang tua untuk “mendatangkan guru privat” guna mengajar anak-anaknya, tetapi sang anak-lah yang harus datang ke guru dimana dia menimba ilmu.
Ada hikmah yang bisa kita ambil dari kejadian di atas, saya menduga mungkin tidak hanya si emak tadi yang punya pikiran seperti itu, yaitu kurang update “harga pasaran” jasa pembantu – padahal sekarang ini cari pembantu rumah tangga tidaklah mudah, apalagi yang pekerjaannya bagus dan amanah dalam mengurus rumah kita. Tentu saja, pembantu rumah tangga yang rajin dan amanah – kita wajib memberikan imbalan yang pantas dan layak tidak mendzaliminya.
Hal lain yang memprihatinkan adalah banyaknya orang tua yang ingin anaknya pandai, sholih/ah tetapi maunya dengan “biaya” yang ekonomis akhirnya cenderung - tidak tahu bagaimana menghargai seorang “ahli” (dalam hal ini sang penghapal quran) yang hendak membimbing anaknya menjadi pandai atau sholih/ah.
Mudah-mudahan itu bukan gara-gara kebanyakan belajar “teori ekonomi pedagang” yang punya jargon, “kalau bisa kulakan harga semurah-murahnya, tetapi untungnya setinggi-tingginya..”
Bagaimana menurut anda..
NB (gak penting) : maaf belum bisa aktif di WA/BBM – ponsel cerdasnya masih sakit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H