Ketika manusia lain beristirahat dari lelah
Dia memilih bercengkerama dengan malam
Berharap ketenangan akan hadir di sana
Detak detik jarum jam
Menjadi pengiring atma yang tengah kesakitan
Dia sendirian tak ada seorang pun di sana
Dingin penuh represi, tak ada penghangat kecuali kewarasan
Sialnya, ketenangan hanyalah angan
Selaksa obat menyayat sadis seluruh tubuhnya
Pikiran di kepala berlari ke sana kemari tak tentu arah
Jiwa yang dia bawa bahkan dibuat mati olehnya
Dalam keterasingan yang menyiksa,
Ia memeluk kesendirian dengan erat
Napasnya tersengal menahan derita
Karena terperangkap dalam labirin keputusasaan yang tak berujung
Sungguh, ketakutan menyelimuti dirinya
Ia takut, pikirannya tak mampu lagi dikendalikan
Ia takut, akhirnya ia akan menghabisi diri dengan tangannya sendiri.
Dia harus pergi
Mencari sinar harapan yang perlahan memudar
Namun siapa yang akan mendengar teriakannya?
Sambil tertatih
Ia ke sana kemari mengetuk seluruh pintu yang ada
Namun siapa yang akan membukakan pintu untuknya?
Siapa yang akan sudi meraih tangannya yang dipenuhi darah?
Lagi, lagi realita merangkul erat rasa putus asa
Dia ditampar begitu kerasnya
Dia sadar,
Dia hanya punya dirinya sendiri
Namun harapan tetap ia kumandangkan,
Berharap semua orang akan menyesal
Karena tak membukakan pintu untuknya
Berharap nestapa akan mereka rasakan
Karena tak mendengar jeritan tangisnya
Dia sudah mati,
Menggenggam erat
Seluruh harapannya yang sia-sia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H