Nazhir pengelola memiliki jiwa enterpreneur. Tanpa semangat neterprener, nazhir hanya akan terbebani oleh wakaf yang dikelolanya;
Transparansi pengelolaan.
Pandangan Empat Madzhab Tentang Wakaf Produktif
Ijtihad para ulama kontemporer yang berkaiatan dengan wakaf pemanfaatan jauh lebih berkembang, dan konsepsi mereka wakaf dapat dimanfaatkan.
Dan Konsep wakaf dalam ulama klasik sebagai generasi cendekiawan muslim generasi pertama masih seputar sarat dan rukun wakaf serta hukum berkaitan dengan pokok-pokok wakaf. Seperti boleh tidaknya memperjual belikan harta benda wakaf dimana Imam Hanafi menyatakan kebolehanya, Imam Syafi'i menyatakan tidak boleh sedang Imam Hanbali menyatakan tidak boleh menjualnya kecuali dengan keadaan bahwa harta wakaf tersebut terbengkalai sehingga untuk memanfaatkanya perlu untuk ditukar ditempat lain maka boleh.
Dalam pandangan ulama klasik wakaf, esensi ajaran wakaf tidak terlepas dari kepemilikan barang wakaf dan hukum pemanfaatanya. Maksud perwakafan dalam pandangan ulama klasik tidak terlepas dari niat waqif, demikian pula dengan hukum hukum lain yang berkaitan dengan harta wakaf.
Harta wakaf harus dipergunakan dalam bidang kemaslahatan, artinya tidak boleh digunakan dalam urusan haram. Oleh karena itu, sebagian fuqaha menjelaskan bahwa bidang kemaslahatan adalah segala urusan yang diperbolehkan.Â
Beberapa jenis akad yang harus diketahui adalah:
- Ijarah (sewa), sistem inilah yang paling penting dan lebih dikenal di kalangan umum. Bahkan para ulama selalu mengkaitkan pengembangan wakaf dengan system ijarah ini. Meskipun ada sebagian kalangan fuqaha yang menolak wakaf dengan mata uang dengan alasan bahwa mata uang tidak boleh disewakan dan penggunaanya hanya sebatas untuk konsumsi. Adapun ulama yang membolehkan wakaf dengan mata uang adalah ibnu Qudamah. Sebagian ulama mengatakan bahwa manfaat wakaf dinar dan dirham, "Anda bisa memberikan pinjaman kepada fakir lalu memintanya kembali dan anda berikan lagi kepada yang lainnya."
- Muzaraah, yaitu adanya kesepakatan antara pengurus wakaf (nadzir) dengan pihak lain untuk menanami lahan yang diwakafkan dengan syarat hasil yang diperoleh dari penanaman lahan wakaf tadi dibagi sesuai dengan kesepakatan.
- Musaqah, yaitu bentuk kerjasama antara pengurus wakaf dengan pihak kedua untuk merawat dan mengairi perkebunan dengan syarat hasil dari perkebunan dibagi antara kedua pihak dengan porsi sesuai dengan yang telah disepakati.
- Mudharabah, yaitu gabungan antara harta, pengalaman dan pekerjaan. Dengan ketentuan bahwa hasilnya dibagi antara kedua pihak dengan prosentase yang telah disepakati.
- Musyarakah, yaitu kesepakatan kerjasama antara nadzir dengan dua pihak atau lebih untuk melakukan suatu usaha tertentu yang halal dan produktif dengan kesepakatan bahwa keuntungan akan dibagikan sesuai nisbah yang disepakati dan resiko akan ditanggung sesuai porsi kerjasama baik dalam proyek perindustrian, pertanian maupun perdagangan.
- Istishna', yaitu suatu kontrak jual beli antara pembeli (mustasni') dan penjual (shani') di mana pembeli memesan barang (mashnu') dengan kriteria yang jelas dan harganya dapat diserahkan secara bertahap. Pihak pengurus wakaf bisa memanfaatkan akad ini dengan cara membangun proyek besar dan bermanfaat, bisa kerjasama dengan perbankan islami atau investor untuk mendanai proyek yang ada diatas tanah wakaf.
- Murabahah, yaitu akad penyediaan arang berdasarkan prinsip jual beli, dimana nadzir membelikan kebutuhan barang nasabah (investasi/modal kerja) dan nadzir menjual kembali kepada nasabah ditambah dengan keuntungan yang disepakat.
Berdasarkan pada pembahasan tersebut dapat diketahui bahwasanya terdapat persamaan dan perbedaan Imam Madzhab tentang Wakaf Produktif.
Memahami dari persamaan-nya terlebih dahulu, Imam Hanafi dan Imam Syafi'i berpendapat bahwa dalam harta wakaf harus bersifat ta'bid (kekal) dan pemanfaatan benda tersebut diharuskan bersifat dawaam (terus menerus).
Hal terkait wakaf berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia, yaitu menahan hata yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram). Maksud fatwa MUI tersbut yaitu, selama wakaf dapat menghasilkan maka akan dianggap sebagai wakaf produktif.Â
Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Wakaf adalah wakaf poduktif (Pasal 43 ayat (2)). Dapat diartikan juga bahwa wakaf produktif tidak lagi terbatas pada benda yang tetap wujudnya, melainkan wakaf dapat berupa benda yang tetap nilainya atau pokoknya.