Mohon tunggu...
Hans Z. Kaiwai
Hans Z. Kaiwai Mohon Tunggu... Dosen -

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Cenderawasih

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Hati-hati Bertutur: Beda Tipis Antara Menghina dan Mengkritik

31 Agustus 2018   06:50 Diperbarui: 31 Agustus 2018   08:16 962
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ataupun sebaliknya secara tidak sadar, kita yang justru orang lain melakukan penghinaan kepada kita, padahal sesungguhnya apa yang dilakukan orang tersebut adalah sebuah kritikan. Jadi membedakan dengan baik bagaimana gaya bahasa untuk mengkritik dan menghina perlu dipahami dengan baik.

Tuduhan Penghinaan

Kita mempunyai banyak catatan sejumlah kasus hukum dengan tuduhan penghinaan di Indonesia. Kasus Ahok, misalnya, adalah kasus penghinaan agama yang terjadi akibat permainan kata-kata. Menghilangkan satu kata yang dapat merubah makna kalimat yang sesungguhnya, dari kalimat mengkritik berubah menjadi kalimat menghina.

Bukan itu saja, ada lagi kasus lainnya, yaitu kasus Meiliana, yang vonisnya menjadi perhatian kita, juga adalah tuduhan penistaan agama. Kasus dengan penghinaan agama ini pun berawal dari kata-kata Meiliana yang meminta pengurus masdjid mengecilkan volume pengeras suara adzan, ungkapnya kepada tetangganya" "Kak, tolong bilang sama uwak itu, kecilkan suara masjid, sakit kupingku, ribut."

Sejumlah kalangan menilai bahwa ungkapan itu adalah ucapan penghinaan, bukan ungkapan kritikan. Mungkin karena Meiliana tidak menggunakan sentilan-sentilan halus (gaya bahasa ironi) dalam menyampaikan keluhannya. Sehingga kata-kata Meiliana, yang dinilai hinaan ini selanjutnya menjadi sumber kemarahan warga di tempat dimana Meiliana tinggal, Kelurahan Tanjung Balai Kota I, Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara dan akhirnya meluas menjadi amukan masa dengan membakar dan merusak sejumlah rumah ibadah dan harta benda lainnya.

Kita tahu jalan ceritanya bahwa setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Utara mengeluarkan fatwa yang menegaskan bahwa Meiliana telah melakukan penghinaan agama.

Disini pun MUI berpandangan bahwa kata-kata yang digunakan oleh Meiliana untuk mengungkapkan keluhannya adalah gaya bahasa sarkasme, yaitu menggunakan kalimat atau kata-kata sarkastik dan bernada ejekan. Akibatnya Meiliana diadukan oleh MUI kepada pihak kepolisian.

Disamping penggunaan gaya bahasa yang tepat, publik juga perlu memperhatikan norma pemanfaatan teknologi informasi. Karena ada kemungkinan, misalnya, dalam pergaulan melalui medsos, ada pihak yang mengadukan kita karena merasa dihina oleh kicauan kita di twitter atau komentar kita di facebook yang dianggap menghina.

Apalagi saat di medsos banyak berseliweran berbagai ungkapan yang sulit dibedakan sebagai kritikan atau hinaan. Ada ucapan kebencian (hate speech), penghinaan, fitnah yang dibuat oleh pembuatnya sendiri, atau dibagikan oleh penyebarnya--mungkin kita ada didalamnya. 

Pesatnya perkembangan teknologi informasi saat ini memungkikan siapa saja dan dimana saja dapat menyampaikan isi hati dan pikirannya secara bebas dan langsung diketahui oleh publik di seantero bumi. 

Setiap orang dengan begitu gampang dapat memanfaatkan kemajuan teknologi informalsi untuk berakrobat di medson dengan berbagai motifnya--baik politik, komersial maupun motif lainnya. Walaupun demikian kita perlu tetap memperhatikan norma pemanfaatan teknologi informasi dalam menyampaikan isi hati dan perasaannya kepada publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun