Mohon tunggu...
Hizbul Aulia Indriansyah
Hizbul Aulia Indriansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Strata 1 UINSI Samarinda

Menyukai Literasi Diskusi dan aksi paket lengkap dengan aktif di organisasi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Hidup Bebas di Tengah Distraksi: Panduan Santai ala Gen-Z

13 Oktober 2024   08:08 Diperbarui: 13 Oktober 2024   08:23 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Pernah merasa nggak sih, kita semakin sulit fokus di tengah banjir informasi dan distraksi yang nggak ada habisnya? Nggak cuma itu, semakin ke sini, kita kayak dipaksa untuk peduli sama terlalu banyak hal yang sebetulnya nggak penting-penting banget. Saking sibuknya ngurusin apa yang harus dipeduliin, kita malah lupa apa yang penting buat diri sendiri. Dua buku yang bisa memberikan insight tentang fenomena ini adalah The Art of Not Giving a F*ck karya Mark Manson dan Stolen Focus karya Johann Hari. Keduanya memberikan perspektif segar tentang bagaimana kita bisa mengelola hidup di era digital yang super sibuk, sambil menjaga fokus dan ketenangan batin. Mereka bakal ngajarin kita gimana caranya tetap waras di tengah hidup yang serba chaos dan jaga fokus biar nggak ketarik ke hal-hal nggak penting. So, gimana caranya kita bisa "nggak peduli" dengan cara yang benar dan fokus sama hal yang memang penting? Yuk, kita bahas lebih lanjut!

Pembahasan

1. Pilih Apa yang Layak Dipedulikan --- dari The Art of Not Giving a F*ck

Mark Manson membawa kita pada realitas bahwa hidup itu nggak bakal mulus terus. Mau nggak mau, kita bakal menghadapi masalah, tapi nggak semua masalah layak buat dipikirin. Kita cuma punya energi terbatas setiap harinya. Nah, Manson ngajarin kita buat lebih selektif dalam memilih apa yang layak mendapatkan perhatian kita. Ngomongin soal kehidupan Gen-Z yang serba cepat dan penuh dengan ekspektasi sosial dari media sosial, bisa relate banget nih. Kenapa harus buang-buang energi mikirin omongan orang atau FOMO (Fear of Missing Out) yang bikin capek hati, kalau sebenarnya yang kita kejar hanyalah validasi dari orang lain?

Manson juga bilang, "We all have a limited number of fcks to give; pay attention to where and who you give them to." Artinya, kita harus jeli dalam memilih, hal apa sih yang benar-benar berharga untuk dipedulikan? Misal, daripada capek nyari kesempurnaan di media sosial atau kepuasan instan, mending fokus ke hal-hal yang lebih bermakna, seperti pengembangan diri atau relasi yang tulus.

Manson dengan tegas menolak konsep kebahagiaan instan. Di zaman sekarang, kita sering tergoda untuk mencari kepuasan cepat lewat likes, followers, atau shopping online. Tapi sebenarnya, kepuasan yang instan hanya memberi efek jangka pendek dan nggak bikin hidup kita lebih berarti. Kebahagiaan sejati, menurut Manson, datang dari menyelesaikan masalah-masalah yang sulit, dari perjuangan nyata yang membutuhkan usaha.

Sebagai Gen-Z, kita sering terjebak dalam budaya instan ini, semuanya serba cepat, mulai dari berita viral, tren fashion, sampai ekspektasi untuk sukses. Namun, jika kita terus-terusan mengejar kepuasan instan, pada akhirnya kita cuma akan merasa hampa. Karena itu, kita perlu lebih fokus pada proses daripada hasil akhir, dan lebih menghargai pencapaian yang diraih dengan usaha keras.

2. Distraksi yang Mencuri Fokus --- dari Stolen Focus by Johann Hari

Hari melengkapi pembahasan ini dengan mengungkapkan gimana teknologi modern bikin kita susah fokus. Otak kita dikeroyok sama banyak banget distraksi yang nggak kelihatan, kayak notifikasi media sosial atau kebiasaan scrolling tanpa henti.Fakta bahwa platform-platform ini didesain buat bikin kita kecanduan makin bikin miris. Ini semua didesain untuk mengaktifkan sistem dopamin otak, bikin kita terus-menerus ingin terhubung dan nggak bisa lepas dari layar.  Dopamin kita terus-terusan dibanjiri sama like, share, dan retweet, sehingga kita makin terperangkap dalam siklus gangguan. Emang bukan 100% salah kita, tapi kita tetap punya tanggung jawab buat ngambil kontrol atas hidup dan pikiran kita.

Yang paling mind-blowing adalah konsep multitasking yang dianggap efisien, ternyata cuma mitos belaka. Hari menjelaskan bahwa otak kita sebenarnya nggak diciptakan buat mengerjakan banyak hal sekaligus. Setiap kali kita beralih dari satu tugas ke tugas lain, produktivitas kita justru menurun. Jadi, kalau selama ini kita merasa "Oh, multitasking makes me productive," ternyata malah sebaliknya, multitasking bikin kita kehilangan deep work alias kemampuan untuk berpikir secara mendalam.

Mungkin ini juga yang bikin kita sering ngerasa cemas dan burnout. Ekspektasi produktivitas yang terus-menerus dari masyarakat modern, apalagi di era digital, membuat kita selalu merasa "belum cukup produktif" atau "belum cukup sukses." Padahal, Hari menekankan bahwa kemampuan untuk fokus harus dipertahankan kalau kita mau punya hidup yang lebih bermakna dan terarah. Ini poin yang sangat relevan untuk Gen-Z yang tumbuh di era serba cepat dan sering terjebak dalam ekspektasi karier dan pencapaian yang nggak realistis.

Solusi yang ditawarkan Hari adalah mempraktikkan slow thinking, atau melambatkan cara kita berpikir. Ini bisa dimulai dari mengurangi multitasking dan memberi waktu pada diri sendiri untuk fokus hanya pada satu hal dalam satu waktu. Sebagai Gen-Z yang sering bangga bisa multitasking, mungkin ini agak sulit diterima, tapi penelitian menunjukkan bahwa multitasking justru menurunkan produktivitas dan kualitas pekerjaan kita.

Mindful living, hidup dengan lebih sadar dan penuh perhatian, bisa membantu kita menjaga fokus dan ketenangan batin. Ini berarti kita perlu lebih mindful terhadap aktivitas sehari-hari, mengurangi konsumsi berita negatif yang berlebihan, dan memberi ruang bagi diri sendiri untuk berpikir secara mendalam tanpa distraksi. Maka, penting banget buat sadar kalau lingkungan kita sekarang penuh 'pencuri fokus.' Mulai dari sini, kita bisa pelan-pelan ambil langkah buat lebih mindful dalam memilih apa yang mau kita konsumsi secara digital, dan nggak lagi sekadar 'pasrah' sama sistem.

3. Tanggung Jawab Pribadi vs. Sistem yang Menggerogoti Fokus

Dua buku ini sama-sama menekankan pentingnya tanggung jawab pribadi dalam mengelola kehidupan. Manson bilang, kita bertanggung jawab atas bagaimana merespons masalah-masalah yang datang dalam hidup. Sementara Hari mengingatkan kita kalau kehilangan fokus nggak sepenuhnya salah kita. Ada sistem sosial dan ekonomi yang bekerja di balik layar untuk menciptakan distraksi, yang pada akhirnya mengikis kemampuan kita untuk berpikir kritis dan kreatif.

Di era digital ini, kita dibombardir oleh informasi setiap saat, sehingga kemampuan buat memilah mana yang penting dan mana yang cuma noise makin tergerus. Hari mengingatkan kita buat sadar akan "pencurian fokus" ini dan mulai berusaha mengambil alih kendali kembali, salah satunya dengan melambatkan tempo hidup dan memberi waktu pada diri sendiri untuk berpikir mendalam.

Wajib BANGET Baca Buku Ini

Gen-Z wajib banget baca The Art of Not Giving a F*ck dan Stolen Focus karena dua buku ini bakal nyelametin hidup lo dari overload informasi dan ekspektasi sosial yang nggak penting. Mark Manson ngajarin lo buat selektif milih apa yang layak dipeduliin biar nggak kejebak FOMO dan overthinking, sementara Johann Hari buka mata lo soal gimana teknologi nyolong fokus dan bikin kita susah mikir jernih. Keduanya juga nge-remind lo buat jaga kesehatan mental di tengah tuntutan produktivitas yang bikin burnout. Intinya, dua buku ini bakal bantu lo balik ngontrol hidup, lebih mindful, dan nggak gampang keganggu sama hal-hal yang nggak penting. Kalau nggak baca, rugi banget deh!

Kesimpulan

Jadi, apa yang bisa kita pelajari dari The Art of Not Giving a Fu*k dan Stolen Focus? Pertama, kita harus lebih selektif dalam memilih apa yang layak dipedulikan. Terlalu banyak memberi perhatian pada hal-hal yang nggak penting cuma bikin kita capek mental. Kedua, kita perlu sadar bahwa fokus kita telah "dicuri" oleh teknologi dan sistem sosial yang mengeruk perhatian kita. Dengan memahami ini, kita bisa mulai membuat perubahan kecil, seperti mengurangi distraksi digital, menolak multitasking, dan memberi ruang untuk deep thinking.

Pada akhirnya, kunci dari keduanya adalah kesadaran. Kesadaran untuk memilih masalah yang layak diperjuangkan, kesadaran untuk melindungi fokus kita dari gangguan modern, dan kesadaran bahwa nggak semua hal harus kita pedulikan. Sesekali, penting juga untuk "not give a f*ck" tentang hal-hal yang nggak membawa kita ke arah yang lebih baik. Karena, seperti kata Mark Manson, "Who you are is defined by what you're willing to struggle for."Identitas kita nggak ditentukan oleh pencapaian atau pengakuan orang lain, melainkan oleh masalah-masalah yang kita pilih untuk dihadapi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun