Kita semua tahu bahwa batik merupakan SALAH SATU “warisan budaya Indonesia”, hal ini merupakan kebanggaan tersendiri bagi Bangsa Indonesia. Batik Indonesia sudah mendapat pengakuan UNESCO sebagai mata budaya takbenda warisan manusia Indonesia dan menjadi fenomena budaya tersendiri. Indonesia akhirnya memperkuat fenomena batik ini dengan menetapkan Hari Batik Nasional yang jatuh pada 2 Oktober. Penentuan Hari Batik ini mengikuti tanggal penetapan batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) yang dilakukan oleh United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) pada 2 Oktober 2009.
Batik dan Paksaan Peraturan
Sesuai arahan Presiden Republik Indonesia agar seluruh lapisan masyarakat Indonesia menggunakan batik pada waktu/ acara tertentu, termasuk juga sebagai salah satu pakaian dinas harian bagi PNS di lingkungan Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah. Hal ini akhirnya diperkuat secara formal dalam skala nasional. Pada 4 November 2009, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2009 Tentang Perubahan Pertama Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 60 Tahun 2007 Tentang Pakaian Dinas Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah. Isinya: menambahkan jenis pakaian kerja dengan batik.
Tak hanya di internal pemerintahan, baik pusat maupun provinsi dan kabupaten/kota, pemerintah pusat juga menginisiasi kegiatan besar yang disebut ‘World Batik Summit’ dan ‘Putra Putri Batik Nusantara’. Bahkan, pengunjung candi Borobudur, yang sebetulnya dibuat oleh Kerajaan Sriwijaya, sudah diwajibkan menggunakan batik, dengan dalih ritual magis yang dihembuskan oleh penjaga candi.
Menarik mengutip Dhani Iqbal, dalam tulisannya di http://lenteratimur.com yang mengatakan bahwa sebetulnya pemerintah pusat tahu bahwa pakaian dinas batik, adalah corak budaya yang dikenal berasal dari Jawa. Bahwa di level lokal, terkait dengan pakaian dinas ini, adalah pakaian yang diwajibkan, yaitu batik dan atau kain ciri khas setempat. Iqbal menulis bahwa dengan demikian, pemerintah pusat sebetulnya tahu bahwa batik hanyalah salah satu identitas diantara banyak sekali identitas yang ada di Indonesia.
Ya, ini menjadi menarik. Pada level daerah, pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota, mereka dapat mengenali dan menilai bahwa di luar batik memang bukan batik. Hal ini dapat dilihat perbedaanya dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2009. Pada pasal 2 bagian 2 poin a, disebutkan bahwa Pakaian Dinas di Lingkungan Pemerintah Provinsi terdiri dari (2) Pakaian Dinas Harian batik dan/atau tenun ikat dan/atau kain ciri khas daerah. Di pasal yang sama, bagian 3 poin a, pun disebutkan bahwa Pakaian Dinas di Lingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota terdiri dari (2) Pakaian Dinas Harian batik dan/atau tenun ikat dan/atau kain ciri khas daerah. Ini menunjukkan bahwa batik menjadi berbeda dengan kain ciri khas daerah yang memang tidak mengenal batik sebelumnya. Dan bahwa batik-batik yang pada akhirnya dibuat oleh pemerintah daerah adalah hanya sekedar melakukan penyesuaian dengan aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, yaitu membuat batik dengan menggunakan corak-corak khas daerah sendiri.
Fenomena tersebut bisa jadi merupakan simbol dari kemalasan berpikir, karena sebetulnya pada Peraturan Menteri tersebut dikatakan “Pakaian Dinas Harian batik dan/atau tenun ikat dan/atau kain ciri khas daerah” di mana seharusnya mereka bisa saja membuat pakaian dinas dengan kain cirri khas daerah sendiri, tidak perlu batik ataupun berusaha menyenangkan pemerintah pusat dengan membuat-buat batik sendiri dengan memaksakan corak khas daerah menjadi corak batik.
Identitas Kedaerahan Penting
Jadi amatlah disayangkan ketika kemalasan berpikir, bertindak dan berpihak pada identitas sendiri menjadikan budaya dan wujud kearifan lokal berbentuk kerajinan kain khas daerah tidak menjadi perhatian pemerintah daerah itu sendiri. Mereka begitu tak pedulinya, sehingga lebih memilih untuk membuat batik sebagai pakaian dinas harian mereka dengan memaksakan corak khas daerah ke dalam batik, yang sebetulnya bukan merupakan produk budaya mereka sendiri. Contohnya di Papua. Sejak kapan mereka mengenal batik sebagai produk budaya mereka? Namun sekarang pakaian dinas harian para birokratnya menggunakan batik yang menjadi seragam secara nasional dan batik yang dipaksakan dengan menggunakan corak khas mereka, seperti memasukkan corak burung cendrawasih dan corak tifa.
Yang mereka tidak sadar adalah, hal tersebut bisa saja membawa pada implikasi serius terhadap produk budaya mereka sendiri dan kemampuan ekonomi pada skala dan unsur masyarakat lokal tertentu, yang sebetulnya harus mereka bela. Seperti misalnya kerajinan kain-kain khas lokal yang selama ini hidup dan berkembang di daerah mereka sendiri, pada akhirnya hanya menjadi kerajinan yang terkurung dalam label sebagai sekedar “oleh-oleh” dan perkembangannya tergantung pada jumlah kedatangan wisatawan ke daerah mereka. Sukur-sukur ada daerah yang memang mampu memperkenalkan kerajinan kain khas daerah ke ranah internasional, sehingga mampu untuk hidup dan dikenal dengan usaha mereka sendiri, tanpa “endorsement” dari pihak penguasa (baca: Pemerintah) dengan berbagai aturan khusus dan even-even internasional khusus, yang memang sengaja disiapkan untuk memperkenalkan kerajinan tersebut. Dan ini yang membedakan perlakuan terhadap mereka dengan batik, sebagai sebuah produk kebudayaan dan identitas budaya wilayah tertentu, yang ironisnya, hanya sebagian kecil dari keseluruhan wilayah Indonesia.
Alangkah lebih baik jika Pemerintah pusat dan daerah kembali menekankan tentang prioritas produk budaya lokal sebagai bagian integral dari kebijakan mereka terkait tentang (pakaian dinas harian batik-non batik, adalah bagian dari itu) proses penguatan dan pemberdayaan kebudayaan setempat. Bukan lagi hanya mengedepankan semangat semu persatuan nasional yang dipaksakan dengan perangkat aturan, yang pada gilirannya justru mendegradasi kearifan lokal, produk budaya lokal dan menjadi bumerang bagi semangat persatuan itu sendiri. Sosialisasi tentang penggunaan batik dan tekanan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, baik provinsi dan kabupaten/kota, tentang aturan bahwa bukan hanya batik yang diwajibkan sebagai salah satu pakaian dinas harian, tapi juga tenun ikat atau kain ciri khas daerah pun bisa menjadi salah satu dari pakaian dinas harian yang dimaksud dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2009. Sehingga Pemerintah Daerah menjadi wajib untuk mengangkat harkat produk budaya lokal dan tidak malah mendegradasi, baik secara sadar ataupun tidak. Dengan begitu, makna Bhineka Tunggal Ika dapat betul-betul dirasakan dan dimaknai sebagai sebuah perbedaan yang hakiki namun juga menjadi alasan untuk bersatu dalam bingkai ke-Indonesiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H