Jadi amatlah disayangkan ketika kemalasan berpikir, bertindak dan berpihak pada identitas sendiri menjadikan budaya dan wujud kearifan lokal berbentuk kerajinan kain khas daerah tidak menjadi perhatian pemerintah daerah itu sendiri. Mereka begitu tak pedulinya, sehingga lebih memilih untuk membuat batik sebagai pakaian dinas harian mereka dengan memaksakan corak khas daerah ke dalam batik, yang sebetulnya bukan merupakan produk budaya mereka sendiri. Contohnya di Papua. Sejak kapan mereka mengenal batik sebagai produk budaya mereka? Namun sekarang pakaian dinas harian para birokratnya menggunakan batik yang menjadi seragam secara nasional dan batik yang dipaksakan dengan menggunakan corak khas mereka, seperti memasukkan corak burung cendrawasih dan corak tifa.
Yang mereka tidak sadar adalah, hal tersebut bisa saja membawa pada implikasi serius terhadap produk budaya mereka sendiri dan kemampuan ekonomi pada skala dan unsur masyarakat lokal tertentu, yang sebetulnya harus mereka bela. Seperti misalnya kerajinan kain-kain khas lokal yang selama ini hidup dan berkembang di daerah mereka sendiri, pada akhirnya hanya menjadi kerajinan yang terkurung dalam label sebagai sekedar “oleh-oleh” dan perkembangannya tergantung pada jumlah kedatangan wisatawan ke daerah mereka. Sukur-sukur ada daerah yang memang mampu memperkenalkan kerajinan kain khas daerah ke ranah internasional, sehingga mampu untuk hidup dan dikenal dengan usaha mereka sendiri, tanpa “endorsement” dari pihak penguasa (baca: Pemerintah) dengan berbagai aturan khusus dan even-even internasional khusus, yang memang sengaja disiapkan untuk memperkenalkan kerajinan tersebut. Dan ini yang membedakan perlakuan terhadap mereka dengan batik, sebagai sebuah produk kebudayaan dan identitas budaya wilayah tertentu, yang ironisnya, hanya sebagian kecil dari keseluruhan wilayah Indonesia.
Alangkah lebih baik jika Pemerintah pusat dan daerah kembali menekankan tentang prioritas produk budaya lokal sebagai bagian integral dari kebijakan mereka terkait tentang (pakaian dinas harian batik-non batik, adalah bagian dari itu) proses penguatan dan pemberdayaan kebudayaan setempat. Bukan lagi hanya mengedepankan semangat semu persatuan nasional yang dipaksakan dengan perangkat aturan, yang pada gilirannya justru mendegradasi kearifan lokal, produk budaya lokal dan menjadi bumerang bagi semangat persatuan itu sendiri. Sosialisasi tentang penggunaan batik dan tekanan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, baik provinsi dan kabupaten/kota, tentang aturan bahwa bukan hanya batik yang diwajibkan sebagai salah satu pakaian dinas harian, tapi juga tenun ikat atau kain ciri khas daerah pun bisa menjadi salah satu dari pakaian dinas harian yang dimaksud dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2009. Sehingga Pemerintah Daerah menjadi wajib untuk mengangkat harkat produk budaya lokal dan tidak malah mendegradasi, baik secara sadar ataupun tidak. Dengan begitu, makna Bhineka Tunggal Ika dapat betul-betul dirasakan dan dimaknai sebagai sebuah perbedaan yang hakiki namun juga menjadi alasan untuk bersatu dalam bingkai ke-Indonesiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H