Mohon tunggu...
Mohammad Hisyam Muzaki
Mohammad Hisyam Muzaki Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta

Saya mahasiswa aktif UIN Raden Mas Said Surakarta program studi Hukum Keluarga Islam.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pencatatan Perkawinan di Indonesia: Sejarah, Makna, dan Dampaknya

21 Februari 2024   17:01 Diperbarui: 21 Februari 2024   17:06 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pencatatan perkawinan adalah kegiatan administratif yang dilakukan oleh instansi yang berwenang untuk mencatat dan mengesahkan suatu perkawinan yang dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Pencatatan perkawinan memiliki sejarah, makna, dan dampak yang penting bagi para pihak yang terlibat dalam perkawinan, baik suami, istri, maupun anak-anak. Artikel ini akan membahas tentang ketiga aspek tersebut secara lebih mendalam.

Sejarah Pencatatan Perkawinan di Indonesia

Pencatatan perkawinan di Indonesia tidak lepas dari pengaruh hukum kolonial Belanda yang berlaku sebelum kemerdekaan. Pada masa itu, warga negara Indonesia tunduk pada berbagai peraturan perkawinan yang berbeda-beda sesuai dengan golongan etnis, agama, dan hukum adatnya. Misalnya, bagi yang beragama Islam, berlaku hukum adat Islam; bagi yang beragama Kristen, berlaku Huwelijks Ordonantie Christen Indonesia (HOCI); bagi yang berkebangsaan Tionghoa, berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dengan beberapa perubahan; dan bagi yang berkebangsaan Eropa, berlaku KUH Perdata secara penuh. 

Setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia berusaha untuk menyatukan dan menyederhanakan peraturan perkawinan yang berlaku di Indonesia. Pada tahun 1946, dikeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Perkawinan dan Perceraian, yang mengatur tentang syarat-syarat, prosedur, dan akibat hukum perkawinan dan perceraian bagi seluruh warga negara Indonesia, tanpa membedakan agama dan golongannya. Undang-undang ini juga mengatur tentang kewajiban pencatatan perkawinan dan perceraian, serta pembuatan akta nikah dan akta cerai. 

Namun, undang-undang ini tidak berjalan dengan baik, karena banyak masyarakat yang masih mengikuti hukum adat dan agama mereka dalam perkawinan dan perceraian, tanpa memperhatikan pencatatan dan akta yang diwajibkan oleh undang-undang. Oleh karena itu, pada tahun 1954, dikeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Perkawinan dan Perceraian, yang mengakui keberadaan hukum adat dan agama dalam perkawinan dan perceraian, asalkan tidak bertentangan dengan dasar negara dan kesusilaan umum. Undang-undang ini juga mengatur tentang pencatatan perkawinan dan perceraian, serta pembuatan akta nikah dan akta cerai, tetapi dengan sanksi yang lebih ringan bagi yang melanggarnya. 

Pada tahun 1974, dikeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang merupakan undang-undang perkawinan nasional yang berlaku hingga saat ini. Undang-undang ini mengatur tentang syarat-syarat, prosedur, dan akibat hukum perkawinan dan perceraian bagi seluruh warga negara Indonesia, dengan menghormati agama dan kepercayaan masing-masing. Undang-undang ini juga mengatur tentang pencatatan perkawinan dan perceraian, serta pembuatan akta nikah dan akta cerai, dengan sanksi yang lebih tegas bagi yang melanggarnya. Undang-undang ini juga menetapkan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing, dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Selain undang-undang perkawinan nasional, terdapat juga peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang perkawinan dan perceraian bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam, yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI dikeluarkan pada tahun 1991, sebagai pedoman bagi pengadilan agama dan kantor urusan agama dalam menyelesaikan perkara-perkara perdata Islam, termasuk perkawinan dan perceraian. KHI mengatur tentang syarat-syarat, prosedur, dan akibat hukum perkawinan dan perceraian menurut hukum Islam, serta pencatatan perkawinan dan perceraian, dan pembuatan akta nikah dan akta cerai. 

Makna Pencatatan Perkawinan di Indonesia

Pencatatan perkawinan di Indonesia memiliki makna yang beragam, baik dari sudut pandang filosofis, sosiologis, religius, maupun yuridis. Berikut ini adalah beberapa makna pencatatan perkawinan dari berbagai sudut pandang tersebut:

- Filosofis. Pencatatan perkawinan merupakan salah satu bentuk pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, khususnya hak untuk menikah dan membentuk keluarga. Pencatatan perkawinan juga merupakan salah satu cara untuk menjaga martabat dan kehormatan manusia sebagai makhluk sosial, yang membutuhkan hubungan yang harmonis dan sah dengan pasangannya. Pencatatan perkawinan juga merupakan salah satu cara untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia, yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, yang didasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

- Sosiologis. Pencatatan perkawinan merupakan salah satu bentuk integrasi dan interaksi sosial, yang menghubungkan individu dengan individu, keluarga dengan keluarga, dan masyarakat dengan masyarakat. Pencatatan perkawinan juga merupakan salah satu bentuk kontrol dan kontrol sosial, yang menjamin bahwa perkawinan yang dilakukan sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku di masyarakat. Pencatatan perkawinan juga merupakan salah satu bentuk adaptasi dan inovasi sosial, yang menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun