Mohon tunggu...
Historypedia
Historypedia Mohon Tunggu... Lainnya - Akun Kompasiana Historypedia

Akun Kompasiana Historypedia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kemerdekaan Ditumpas di Semarang

25 Februari 2021   14:32 Diperbarui: 25 Februari 2021   15:33 841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pertempuran Semarang (Dok. Inspect History)

Ditulis oleh A. Buana, dalam rangka kolaborasi Historypedia dengan Inspect History.

Perang Dunia Kedua berakhir dengan penyerahan Jepang terhadap blok Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945. Tetapi, kekalahan Jepang ini tidak serta merta diikuti dengan pengembalian wilayah Sekutu; antara lain, Hindia Belanda.

Mengambil kesempatan dari kebingungan dan ketidakjelasan situasi pada saat itu, Soekarno dan Hatta, dengan dukungan pihak nasionalis Indonesia, segera mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Kemerdekaan Indonesia tentunya tak cukup dideklarasikan, namun juga perlu dipertahankan. Sayangnya, dua bulan kemudian, kemerdekaan Indonesia di Semarang akan ditumpas Jepang dalam Pertempuran Lima Hari Semarang.

Pertama-tama, mari kita kembali kepada proklamasi kemerdekaan dan segala dampaknya. Proklamasi cepat disambut kaum nasionalis dengan pendirian pemerintahan-pemerintahan lokal di berbagai daerah. Pemerintahan daerah di Semarang berdiri pada 19 Agustus¹¹, yang dikepalai Wongsonegoro¹³.

Sementara itu, pada 22 Agustus 1945 di Jakarta, Badan Keamanan Rakyat (BKR) didirikan⁵, yakni cikal bakal TNI modern⁹. Pendirian BKR Jakarta pun segera diikuti dengan pembentukan BKR lokal⁵. BKR Semarang dibentuk pada 28 Agustus¹¹ yang terdiri dari para pemuda dan orang-orang bekas Heiho dan PETA (Pembela Tanah Air)⁵.

Selain BKR, berbagai kelompok pemuda dan badan kelaskaran juga didirikan¹³. Di Semarang sendiri, ada AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia), AMKA (Angkatan Muda Kereta Api), Barisan Banteng, Barisan Hizbullah, dan sebagainya¹¹ ¹³.

Pendirian pemerintahan lokal lalu disambung dengan berbagai usaha pihak Indonesia untuk merebut senjata dari pasukan Jepang sepanjang September — Oktober 1945 di seluruh Jawa⁹. Usaha perebutan senjata ini sebenarnya telah “dipermudah” pihak Jepang⁸. Contohnya, kebijakan Satuan Darat Ke-16 Jepang (yang berkuasa atas Jawa) sejak September 1945 adalah untuk menyerahkan urusan keamanan kepada pihak Indonesia⁸.

Meski demikian, pelaksanaan dari kebijakan ini berbeda-beda oleh pasukan-pasukan Jepang di lapangan⁸, yang berdampak pada jalannya perebutan senjata oleh pihak Indonesia. Sebagai contoh, pasukan Jepang merebut Bandung dari tangan Indonesia setelah diprovokasi pihak pemuda pada tanggal 10 Oktober¹ ⁸. Sebaliknya, Sudirman, kepala BKR wilayah Banyumas, memperoleh ribuan senjata dari Jepang tanpa perlawanan¹².

Di tengah puluhan konflik lokal antara militer Jepang dengan pejuang Indonesia, ada ratusan ribu interniran dan tahanan perang Sekutu yang tersebar di seluruh Jawa³. Para interniran ini ialah warga sipil Belanda³, sedangkan tahanan perang Sekutu berkebangsaan Inggris, Belanda, Australia, dan lainnya.

Untuk Semarang sendiri, ada ribuan interniran Sekutu di sana, sementara ada belasan ribu interniran di Ambarawa dan Banyubiru⁴. Sekutu membentuk RAPWI, atau Recovery of Allied Prisoners of War and Internees, untuk mengurus para interniran tersebut⁴. Sejumlah kecil personel RAPWI diterjunkan ke Magelang pada 18 September 1945 di bawah pimpinan Wing Commander Tull dari RAF, angkatan udara Inggris¹⁰.

Unit RAPWI tersebut kemudian bekerja sama dengan pasukan Jepang untuk mengamankan puluhan ribu interniran di wilayah Semarang dan Ambarawa, dengan unit RAPWI Semarang di bawah komando Kapten Wishart¹⁰. Dengan kedatangan RAPWI, keamanan para interniran Sekutu juga jadi perhatian Jepang¹⁰.

Maka, mungkin demi menjaga ketenangan lokal, ketika BKR Semarang meminta senjata dari pihak Jepang, Mayor Jenderal Nakamura (komandan Jepang di Jawa Tengah) memberi izin pada garnisun Jepang di Semarang untuk menyerahkan ratusan senjata bagi pihak Indonesia¹⁰.

Sebelum melanjutkan, agaknya lebih tepat apabila kita bahas mengenai garnisun Jepang di Semarang, yaitu Kido Butai. Tak seperti asumsi awal oleh beberapa sejarawan, Kido Butai bukanlah pasukan elit¹⁰, melainkan hanyalah suatu batalyon pelatihan khusus² yang kebetulan turut ditugaskan menjaga Semarang. Unit tersebut sepertinya dinamakan Kido Butai sebab unit tersebut dipimpin oleh seorang perwira, Mayor Kido Shinichiro¹⁰.

Kembali ke Semarang, sebenarnya para pemuda sudah mulai merampas sejumlah senjata dari Jepang sejak akhir September¹¹, dengan jumlah yang cukup signifikan. Kido Butai sendiri tidak dilucuti, tapi sesuai dengan izin Nakamura yang telah disebutkan sebelumnya, Kido Butai pun menyerahkan 660–700 pucuk senapan bekas PETA kepada BKR dan pemuda Semarang pada tanggal 4 dan 5 Oktober¹⁰.

Sangat disesalkan bahwa para pemuda dan rakyat masih lapar senjata¹⁰. Maka, beberapa hari setelah mereka sukses merebut puluhan ribu amunisi senapan², para pemuda memaksa Kido agar Kido Butai dilucuti dan senjatanya diberikan kepada mereka¹⁰. Oleh karenanya, pada hari itu juga, tanggal 12 Oktober 1945, Kido pun pergi ke Magelang untuk membahas masalah ini dengan Mayjen Nakamura¹⁰.

Berlawanan dengan sikap Jepang sebelumnya, permintaan senjata kali ini ditolak Jepang¹⁰. Penolakan ini berdasar pada argumen Mayor Kido bahwa senjata Jepang tidak seharusnya diserahkan begitu saja¹⁰. Penyerahan senjata adalah hal yang tabu di mata militer Jepang sebab senjata mereka adalah kepunyaan sang Kaisar¹⁰.

Sebaliknya, senjata yang sebelumnya diserahkan Kido Butai merupakan senjata bekas PETA di Semarang¹⁰. PETA dan Heiho, yakni unit-unit militer Indonesia di bawah kendali Jepang, telah dilucuti dan dibubarkan pasukan Jepang tak lama setelah kekalahan Jepang¹². Senjata PETA sendiri berasal dari persenjataan KNIL, yaitu militer Hindia Belanda, yang dirampas Jepang; penyerahan senjata pada tanggal 4 dan 5 Oktober tersebut adalah penyerahan senjata bekas PETA, bukan Jepang¹⁰.

Berbekal argumen tersebut, Kido memaksa Mayjen Nakamura berpikir ulang¹⁰. Akhirnya, Nakamura meminta pendapat markas militer Jepang di Jakarta mengenai masalah penyerahan senjata Jepang ini¹⁰. Permintaan Nakamura pun segera dijawab; markas militer Jepang melarang adanya penyerahan senjata¹⁰. Larangan tersebut bahkan mengizinkan penggunaan kekuatan militer demi menghentikan perebutan senjata ini¹⁰.

Kido, agaknya puas dengan keputusan pimpinan Jepang di Jakarta², segera kembali ke Semarang¹⁰. Argumen Kido inilah yang menjadi alasan pribadi Kido dalam serangannya terhadap Semarang¹⁰. Pastinya, larangan penyerahan senjata memberikan izin yang dibutuhkan Kido¹⁰, dan ia juga khawatir pada nasib para interniran Sekutu yang terancam oleh para pemuda², tapi provokasi dari pihak pemudalah yang menjadi alasan utama mengapa Kido menyerang Semarang.

Sehari kemudian, pada tanggal 13, Mayjen Nakamura ditawan para pejuang Indonesia¹⁰. Malamnya, suatu rapat Angkatan Muda Republik Indonesia diadakan di Semarang, di mana mereka membulatkan tekad untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia⁵.

Besoknya, AMRI bersama BKR menangkap baik orang-orang yang tertuduh NICA⁵ maupun para anggota RAPWI¹⁰. Mereka juga menangkap ratusan warga sipil Jepang dan sebagian dari orang-orang sipil ini lantas dipenjarakan di Penjara Bulu¹⁰. Eskalasi dan provokasi ini memperkuat niat Kido dalam merebut kembali Semarang; pada hari yang sama, ia merampungkan rencana Pertempuran Semarang¹⁰.

Kini kita akan beralih sebentar kepada dr. Kariadi, yang terkenal sebab ia ditembak oleh orang Jepang ketika sang dokter sedang memastikan rumor diracuninya suatu sumur air di Semarang¹⁰ ¹¹. Faktanya, sumur mana yang sebenarnya Kariadi tuju tak jelas, karena sumber-sumber yang ada saling membantah satu sama lain¹⁰.

Kejadian yang pasti hanyalah bahwa ia ditembak di Jalan Pandanaran pada 14 Oktober, sebelum tengah malam¹¹. Mengapa ia ditembak tidak jelas, tapi kematiannya kayaknya terkait dengan sebuah kejadian lain di jalan tersebut¹⁰.

Ternyata, pada malam yang sama, Polisi Istimewa Indonesia sedang mencoba memindahkan 300-an orang sipil Jepang¹⁰. Orang-orang Jepang tersebut telah mendengar kabar jika Kido Butai akan menyerang, sehingga mereka lantas melawan Polisi Istimewa¹⁰. 

Walau awalnya berbekal senjata seadanya, mereka sukses memperoleh beberapa senjata api¹⁰. Sepertinya penembakan dr. Kariadi terjadi di tengah kerusuhan ini. Akhirnya, orang-orang Jepang itu kabur ke tangsi Kido Butai di Jatingaleh, selatan Semarang¹⁰.

Sampailah kita pada tengah malam antara tanggal 14 dan 15 Oktober 1945, di mana Mayor Kido dan pasukannya sudah siap merebut Semarang dari tangan Republik. Akan tetapi, sebelum beranjak untuk mengulas pertempurannya, ada baiknya apabila kita bahas kekuatan pihak Jepang dan juga Indonesia terlebih dahulu.

Berapa banyak prajurit Jepang di Semarang pada saat itu sebenarnya kurang jelas. Diketahui bahwa ada unit militer lain bernama Yagi Butai di Semarang, yang dipimpin Mayor Yagi dan berkekuatan 675 prajurit¹¹. Kekuatan Kido Butai sendiri dapat diperkirakan hanya berjumlah 112 prajurit¹⁰.

Selain itu, ada satu kompi di bawah pimpinan Kapten Yamada dengan 101 prajurit¹⁰, satu peleton Jepang dari Cepiring¹⁰ (berjumlah 60 prajurit⁷), serta unit Kempeitai Semarang yang kira-kira berkekuatan 40-an prajurit¹⁰ ¹². Sebagai tambahan, menurut sebuah jurnal oleh Prof. Han Bing Siong, ada sekitar 600-an personel nonmiliter Jepang bersenjatakan bambu runcing yang ikut bertempur¹⁰ ¹¹. Merangkum berbagai sumber yang ada dan segala kesimpangsiurannya, sepertinya kekuatan tempur Jepang di Semarang berjumlah 988–1,000 prajurit dan 600-an personel sipil.

Di sisi yang lain, kekuatan tempur Indonesia juga sulit ditaksir. Kido Butai memberikan perkiraan sementara bahwa di Semarang ada sekitar 600-an anggota BKR, 700-an polisi Indonesia, serta 1,200-an pemuda¹⁰ ¹¹. Perkiraan BKR menurut Kido Butai sepertinya agak rendah, sebab PETA dan Heiho di Semarang dulunya berjumlah 1,600-an personel¹⁰. Jumlah pemuda di Semarang dapat mencapai 4,700-an orang, karena perkiraan kasar Kido Butai atas kekuatan tempur Indonesia di Semarang berjumlah 7,000 personel¹¹.

Selain itu, ratusan atau bahkan ribuan BKR dan pemuda dari luar Semarang juga turut bertempur di sekitar Semarang¹¹. Oleh karenanya, kekuatan tempur Indonesia di Semarang kira-kira berjumlah 3,500–7,000 personel, di mana ada 1,600-an anggota BKR, 700-an polisi, dan 1,200–4,700 pemuda. Jika ditambahkan dengan bantuan dari luar Semarang, totalnya kekuatan tempur Republikan di Semarang bisa mencapai lebih 10,000 personel.

Serangan Kido dimulai pada jam tiga pagi, tanggal 15 Oktober 1945 ¹⁰. Rencana serangan Kido sederhana: pasukan sayap kiri yang lebih besar akab menyerang bagian barat Semarang, sedangkan sayap kanan yang dipimpin Kapten Sato akan menyerbu bagian timur Semarang¹⁰. Serangan sayap kiri Jepang bergerak cepat ke arah utara; alhasil, pada siang itu juga, Gubernur Wongsonegoro berhasil ditawan Jepang¹⁰. 

Sebaliknya, serangan sayap kanan Jepang bergerak dengan lebih lambat¹⁰, meski hal ini agaknya disengaja. Karena kemah-kemah interniran Sekutu berada di bagian timur Semarang, serangan Jepang yang lebih kuat di bagian barat diharapkan bisa mengalihkan perhatian pihak Indonesia agar pasukan Kapten Sato lebih mudah mengamankan interniran Sekutu¹⁰.

Merespon serangan Jepang ini, satuan-satuan BKR, polisi, dan pemuda melawan dengan sengit. Amarah pemuda pun meluap. Sekitar 25 pemuda Indonesia pun mengunjungi Penjara Bulu pada malam 15 Oktober¹¹. Di penjara itu, ada sekitar 900 tawanan Belanda¹¹, tetapi target para pemuda ini ialah ratusan tawanan sipil Jepang di sana² ¹⁰. Pemuda-pemuda itu kemudian membantai para tawanan Jepang tersebut¹ ¹⁰ ¹¹. Sekitar 100–150 orang Jepang tewas¹ ⁸ ¹⁰ ¹¹, puluhan hilang¹ ⁸, dan belasan luka-luka¹⁰.

Besoknya, pasukan Jepang akhirnya mencapai Penjara Bulu² ¹⁰. Kedatangan pasukan Jepang yang membasmi pemuda di Penjara Bulu segera disambut dengan sorak-sorai dari ratusan tawanan Belanda². Meski Anderson mencatat bahwa sepertinya keganasan Jepang meluap setelah mereka tahu akan pembantaian Penjara Bulu¹, menurut catatan Siong, tingkah laku Jepang sudah ganas sejak awal, walau tak semua tahanan mereka bunuh dan anak-anak serta remaja mereka lepas¹⁰.

Pertempuran terus berlanjut dengan sengit. Pada sore hari, 15 Oktober 1945, kurang lebih 600-an orang sipil Jepang dipersenjatai dengan bambu runcing dan diperintahkan oleh Kido untuk ikut bertempur¹⁰. Dalam waktu tiga hari, serangan Jepang cepat bergerak ke arah utara dan sukses menguasai sebagian besar Semarang¹¹. Selain membunuh banyak tawanan Indonesia, pasukan Jepang juga membakar Kampung Batik Wedusan, yang membumihanguskan 250 rumah¹¹. Membalas keganasan ini, para pejuang Indonesia balik membunuh puluhan atau bahkan ratusan warga sipil Jepang¹ ¹¹. Perlawanan BKR dan pemuda Semarang masih tetap berlangsung, sementara ratusan BKR dan pemuda dari berbagai arah mencoba mendobrak pertahanan pasukan Kido¹¹. Meski begitu, usaha-usaha ini dengan mudah dihambat dan dipatahkan di barat dan selatan Semarang oleh pasukan Jepang, sedangkan pertempuran berkecamuk dengan hebatnya di bagian timur dan timur laut Semarang, di mana BKR dan pemuda dari arah Demak dan Pati menyerang Semarang¹¹.

Negosiasi agar diadakannya suatu gencatan senjata antara pihak Indonesia dan Jepang sebenarnya telah diusahakan sejak 16 Oktober² ¹¹, tetapi terus-menerus gagal. Kegagalan ini disebabkan keinginan pihak Jepang agar pihak Indonesia menyerahkan senjata mereka kembali ke pasukan Jepang¹¹.

Tentunya pihak Indonesia tak sudi dan pastinya menolak¹¹. Penolakan ini lalu dibalas dengan ancaman Jepang, yakni bahwa mereka akan mengebom Semarang¹¹. Tidak diketahui apakah ini hanyalah gertak belaka atau ancaman nyata; tapi apapun itu, tiba-tiba, pasukan Inggris-India akhirnya mendarat di Semarang¹¹.

HMS Glenroy berlabuh di Semarang pada pagi hari¹¹, 19 Oktober 1945. Kapal Inggris (jenis Landing Ship, Infantry³) ini mendaratkan Batalyon 3/10 Gurkha³ yang dipimpin Kolonel Edwardes⁴. Kedatangan batalyon Inggris-India ini segera meredam pertempuran¹¹, yang kira-kira berhenti pada jam dua siang hari itu juga¹³. 

Keesokan harinya, konferensi antara pihak Indonesia, Jepang, dan Inggris di Hotel Du Pavilion akhirnya menghasilkan suatu kesepakatan gencatan senjata¹¹. Suatu pertemuan tambahan juga digelar pada 21 Oktober 1945, dengan kesepakatan kalo pasukan Jepang harus melepaskan seluruh tawanan Indonesia, dan pasukan Jepang di Semarang akan dilucuti oleh pasukan Inggris-India⁶.

Ratusan, dan ribuan, korban berjatuhan di kedua pihak. Berbagai sumber sepakat bahwa sekitar 2,000 pejuang dan rakyat Indonesia tewas¹ ⁵ ⁹ ¹³. Jumlah korban luka di pihak Indonesia tak pasti; walau, menilik dari proporsi korban tewas dan hilang terhadap korban luka di pihak Jepang, bisa diasumsikan bahwa ada setidaknya ratusan korban luka di pihak Indonesia. Kido Butai menaksir bahwa ada sekitar 40-an prajurit Jepang yang tewas, 40-an luka-luka, dan 210-an hilang¹⁰, sedangkan ada sekitar 140–250 tawanan sipil Jepang yang tewas, hilang, dan luka-luka¹ ¹⁰.

Semarang akan menjadi batu loncatan Inggris dalam mengamankan interniran Sekutu di Ambarawa dan Magelang⁴. Pasukan Jepang di Semarang di kemudian hari akan bertempur bahu-membahu bersama pasukan Inggris-India di Semarang, Magelang, dan Ambarawa² ³ ⁴ ⁸ ¹⁰. 

Dengan penguasaan Kido atas Semarang, kedatangan Inggris yang mengakhiri Pertempuran Lima Hari Semarang berarti Semarang langsung diduduki Sekutu tanpa ada perlawanan yang berarti. Hal ini memampukan gerakan Sekutu ke Jawa Tengah, seperti Magelang, Ambarawa, Banyubiru, dan Ungaran, serta

Referensi
1. Anderson, BRO, 1972. Java in a Time of Revolution, Occupation and Resistance: 1944–1946. New York: Cornell University Press.
2. Connor, SB, 2015. Mountbatten’s Samurai: Imperial Japanese Forces under British Control, 1945–1948 [Kindle]. Inggris: Seventh Citadel.
3. Kirby, SW, 1969. The War Against Japan, Volume V: The Surrender of Japan [Kindle]. Inggris: Her Majesty’s Stationery Office.
4. McMillan, R, 2005. The British Occupation of Indonesia 1945–1946. Oxon: Routledge.
5. Nasution, AH, 1977. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 1: Proklamasi, Bandung: DISJARAH-AD.
6. Nasution, AH, 1977. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 2: Diplomasi atau Bertempur, Bandung: DISJARAH-AD.
7. Ness, L, 2014. Rikugun: Guide to Japanese Ground Forces 1937–1945, Volume 1. Solihull: Helion & Company.
8. Remmelink, WGJ, 1978. “The Emergence of the New Situation: the Japanese Army on Java after the Surrender”. Militaire Spectator 147–2: 49–66.
9. Sedjarah Militer Kodam VII/Diponegoro, 1968. Sedjarah TNI-AD Kodam VII/Diponegoro. Semarang: Jajasan Penerbit Diponegoro.
10. Siong, HB, 1996. “The Secret of Major Kido; The Battle of Semarang, 15–19 October 1945”. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 152: 382–428. [doi: 10.1163/22134379–90003005].
11. Panitia Penyusunan Sejarah Pertempuran Lima Hari di Semarang, 1977. Sejarah Pertempuran Lima Hari Semarang. Semarang: Suara Merdeka.
12. Post, P [penyunting], 2010. The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War. Leiden: Koninklijke Brill NV.
13. Purwantana, PK, 1976. “Segi Koordinasi Pertempuran Lima Hari Semarang”. Bulletin Yaperna, 3–15: 3–20.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun