Kini kita akan beralih sebentar kepada dr. Kariadi, yang terkenal sebab ia ditembak oleh orang Jepang ketika sang dokter sedang memastikan rumor diracuninya suatu sumur air di Semarang¹⁰ ¹¹. Faktanya, sumur mana yang sebenarnya Kariadi tuju tak jelas, karena sumber-sumber yang ada saling membantah satu sama lain¹⁰.
Kejadian yang pasti hanyalah bahwa ia ditembak di Jalan Pandanaran pada 14 Oktober, sebelum tengah malam¹¹. Mengapa ia ditembak tidak jelas, tapi kematiannya kayaknya terkait dengan sebuah kejadian lain di jalan tersebut¹⁰.
Ternyata, pada malam yang sama, Polisi Istimewa Indonesia sedang mencoba memindahkan 300-an orang sipil Jepang¹⁰. Orang-orang Jepang tersebut telah mendengar kabar jika Kido Butai akan menyerang, sehingga mereka lantas melawan Polisi Istimewa¹⁰.
Walau awalnya berbekal senjata seadanya, mereka sukses memperoleh beberapa senjata api¹⁰. Sepertinya penembakan dr. Kariadi terjadi di tengah kerusuhan ini. Akhirnya, orang-orang Jepang itu kabur ke tangsi Kido Butai di Jatingaleh, selatan Semarang¹⁰.
Sampailah kita pada tengah malam antara tanggal 14 dan 15 Oktober 1945, di mana Mayor Kido dan pasukannya sudah siap merebut Semarang dari tangan Republik. Akan tetapi, sebelum beranjak untuk mengulas pertempurannya, ada baiknya apabila kita bahas kekuatan pihak Jepang dan juga Indonesia terlebih dahulu.
Berapa banyak prajurit Jepang di Semarang pada saat itu sebenarnya kurang jelas. Diketahui bahwa ada unit militer lain bernama Yagi Butai di Semarang, yang dipimpin Mayor Yagi dan berkekuatan 675 prajurit¹¹. Kekuatan Kido Butai sendiri dapat diperkirakan hanya berjumlah 112 prajurit¹⁰.
Selain itu, ada satu kompi di bawah pimpinan Kapten Yamada dengan 101 prajurit¹⁰, satu peleton Jepang dari Cepiring¹⁰ (berjumlah 60 prajurit⁷), serta unit Kempeitai Semarang yang kira-kira berkekuatan 40-an prajurit¹⁰ ¹². Sebagai tambahan, menurut sebuah jurnal oleh Prof. Han Bing Siong, ada sekitar 600-an personel nonmiliter Jepang bersenjatakan bambu runcing yang ikut bertempur¹⁰ ¹¹. Merangkum berbagai sumber yang ada dan segala kesimpangsiurannya, sepertinya kekuatan tempur Jepang di Semarang berjumlah 988–1,000 prajurit dan 600-an personel sipil.
Di sisi yang lain, kekuatan tempur Indonesia juga sulit ditaksir. Kido Butai memberikan perkiraan sementara bahwa di Semarang ada sekitar 600-an anggota BKR, 700-an polisi Indonesia, serta 1,200-an pemuda¹⁰ ¹¹. Perkiraan BKR menurut Kido Butai sepertinya agak rendah, sebab PETA dan Heiho di Semarang dulunya berjumlah 1,600-an personel¹⁰. Jumlah pemuda di Semarang dapat mencapai 4,700-an orang, karena perkiraan kasar Kido Butai atas kekuatan tempur Indonesia di Semarang berjumlah 7,000 personel¹¹.
Selain itu, ratusan atau bahkan ribuan BKR dan pemuda dari luar Semarang juga turut bertempur di sekitar Semarang¹¹. Oleh karenanya, kekuatan tempur Indonesia di Semarang kira-kira berjumlah 3,500–7,000 personel, di mana ada 1,600-an anggota BKR, 700-an polisi, dan 1,200–4,700 pemuda. Jika ditambahkan dengan bantuan dari luar Semarang, totalnya kekuatan tempur Republikan di Semarang bisa mencapai lebih 10,000 personel.
Serangan Kido dimulai pada jam tiga pagi, tanggal 15 Oktober 1945 ¹⁰. Rencana serangan Kido sederhana: pasukan sayap kiri yang lebih besar akab menyerang bagian barat Semarang, sedangkan sayap kanan yang dipimpin Kapten Sato akan menyerbu bagian timur Semarang¹⁰. Serangan sayap kiri Jepang bergerak cepat ke arah utara; alhasil, pada siang itu juga, Gubernur Wongsonegoro berhasil ditawan Jepang¹⁰.
Sebaliknya, serangan sayap kanan Jepang bergerak dengan lebih lambat¹⁰, meski hal ini agaknya disengaja. Karena kemah-kemah interniran Sekutu berada di bagian timur Semarang, serangan Jepang yang lebih kuat di bagian barat diharapkan bisa mengalihkan perhatian pihak Indonesia agar pasukan Kapten Sato lebih mudah mengamankan interniran Sekutu¹⁰.