Para mantan pimpinan Divisi Banteng yang merasa berjasa untuk Republik di era revolusi dan Pemerintah Darurat Republik Indonesia kecewa ketika Soekarno tidak menggubris tuntutan otonomi yang luas bagi daerah. Pemimpin Divisi Banteng kemudian mengorganisir reuni. Kelanjutan dari reuni ini adalah pembentukan Dewan Banteng yang kemudian mengambil alih kekuasaan Gubernur Sumatera Tengah oleh Komandan Brigade Banteng Letkol Ahmad Husein Desember 1956 di Bukittinggi.
Dalam rangka menentang Soekarno ini, isu antikomunisme dijadikan wacana, meskipun sebagian pengurus cabang PKI daerah mendukung Dewan Banteng. Bak gayung bersambut, gerakan ini kemudian disokong pula oleh tokoh-tokoh Minang di Jakarta, yaitu Natsir dan Assa’at yang kecewa terhadap Soekarno.
Para pemimpin Masyumi lainnya - Syafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap - turut pula bergabung. Akhirnya Sumatera Barat jatuh ke dalam skenario para pembangkang dari Jakarta, yaitu Zulkifli Lubis dan Sumitro Djojohadikusumo yang gencar mengampanyekan gerakan antikomunis atau PKI untuk menentang Soekarno.
Ketika perlawanan ini telah melibatkan tokoh politik dan militer dari Jakarta, serta tercium melibatkan kekuatan asing yaitu Amerika, Soekarno bertindak cepat.
Kota-kota utama Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yaitu Pekanbaru dan Padang dibom dan langsung dikuasai militer pusat yang dipimpin Kolonel Ahmad Yani. Sejak kedua kota itu jatuh, umur Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) secara militer tinggal menghitung hari.
Kalahnya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) berarti kalahnya orang Minang. Dengan sendirinya, konsep Minang tentang Indonesia merdeka yang egaliter dan menjunjung otonomi juga rontok. Harga diri orang Minang sebagai benteng Republik dan penyumbang elite terbanyak di pentas politik nasional juga hancur.
Kekalahan itu meninggalkan kepedihan di hati rakyat Minang dan elitenya. Setelah Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) kalah dan banyaknya pejabat sipil dan militer dari Jawa tumpah ke Sumatera Barat, Audrey menggambarkan Sumatera Barat seperti daerah taklukan. Orang Sumatera Barat diperlakukan sebagai warga negara kelas dua (hal 360).
Dikala G30S meletus, jagad politik masyarakat Minang kembali jungkir balik. Kekerasan, pembunuhan, dan penangkapan membuncah. Keadaan kian genting setelah Mayor Imam Suparto (Kepala Penerangan Kodam 17 Agustus) kembali dari Jakarta, memerintahkan media lokal menyebarkan pamflet anti-PKI tanggal 6 Oktober 1965 (hal 380).
Sejak ini kekuatan radikal yang menentang pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang sebelumnya dianggap pendukung setia pusat, sontak menjadi musuh pemerintah, lantas diburu. Sementara ”para pemberontak” menjadi bagian dari politik baru, kemudian terlibat dalam pengganyangan komunis.
Setelah melalui hari yang berdarah-darah dalam dua gelombang, untuk memulihkan harga diri dan menghidupkan perekonomian daerah, elite-elite Sumatera Barat mulai meninggalkan medan tarung politik, dan berupaya memasuki medan pembangunan ekonomi.
Dipimpin Harun Zain - seorang ekonom dari Barkley - sebagai gubernur, Sumatera Barat menyerah bungkuk kepada Jakarta. Di tangan Zain dan beberapa gubernur setelahnya, Sumatera Barat memang mendapatkan hal yang secara lahiriah menakjubkan, dan beberapa kali mendapat anugerah Adipura. Untuk keberhasilan itu, para mantan gubernur Sumatera Barat pun naik kelas menjadi menteri Soeharto.