Mohon tunggu...
Hippie Hippo
Hippie Hippo Mohon Tunggu... -

Bukan hanya tubuh saja yang besar, hati dan jiwa pun BESAR

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Beda

31 Desember 2013   01:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:20 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Hujan perlahan berhenti walau masih menyisakan rintik dan kilatan petir, di sambung dengan gemuruh guntur. Aku masih berdiri di pojok samping gereja, tempatku berteduh dari guyuran hujan. Kusambut ajakan dari beberapa orang hanya dengan senyum dan anggukan kepala. Satu per satu mereka masuk dan melakukan tanda salib lalu berkumpul untuk menunggu ibadah dimulai. Pemandangan dan suasana yang indah.

"Ibu, taruh saja payungnya di sini atau berikan saja padaku. Ibu segera masuk dan cari tempat duduk," kata seorang jemaat wanita yang datang bersama ibunya. Seulas senyum tersungging di bibir keriput si Ibu, tanpa kata dilipatnya payung lalu menaruhnya di dekat pilar tak jauh dari pintu masuk tempatku berdiri. Wanita dua generasi yang sama-sama cantik, si anak yang tegas dan ibu yang penuh kelembutan.

Lalu datanglah dua orang remaja, mungkin sepasang kekasih karena tak kulihat kemiripan fisik dan wajah mereka. Keduanya terlihat agak canggung dan malu-malu. Senyumku mengembang melihat gerak-gerik mereka. Oh... anak muda, ngedate gaya baru rupanya. Tapi tak apalah, ngedate sambil ibadah lebih baik daripada pergi ke tempat-tempat sepi tanpa pengawasan orang dewasa.

Tak lama sepasang suami istri datang bersama anak-anak mereka yang masih kecil, satu digandeng olah ibunya dan satunya terlelap dalam dekapan hangat sang ayah. Suami istri itu saling berpandangan dan tersenyum sebelum memasuki gereja. Entah kenapa aku ikut tersenyum melihat mereka.

Tanpa bisa ditahan mataku memanas tapi senyum masih tersungging walau sedikit demi sedikit lengkungan itu berubah menjadi garis lurus yang kaku. Kuambil napas panjang agar lega rongga dada yang seakan terisi batu. Aku mengingat kamu dan anakmu.

"Trish, aku bukan sedang mencari istri tapi ibu bagi anakku. Aku bukan lagi remaja yang mengejar romansa. Aku... ah.. kita sudah dewasa." Katamu sambil meluruskan punggung di bangku taman, mengamati Kayla yang bermain ayunan bersama anak-anak lain yang sedang menikmati senja di taman kota. Aku hanya terdiam memandang lelah yang tergurat di wajahmu lalu tanganmu menggenggam erat jemariku. Dan seperti biasa, kita menikmati waktu dalam diam.

Tak hanya sekali kau bagi mimpimu tentang keluarga kecil yang bisa kau ajak berdoa bersama-sama ke gereja, melayani bersama. Hanya senyum yang bisa aku berikan lalu kuusap kepalamu dengan lembut dan kukecup pelipismu sekilas. Cita-cita yang sebenarnya sederhana tapi untuk kita agak susah untuk mewujudkannya karena kita berbeda.

Aku tak tahu kapan perasaan di antara kita mulai tumbuh. Mungkin karena kita terbiasa menghabiskan malam mengobrol di chat Facebook sebelum tidur? Percakapan basa basi yang meningkat pada ketergantungan kepada masing-masing. Percakapan-percakapan yang tidak mungkin kita lakukan ketika kita berkumpul dengan teman-teman di klub buku, tempat dimana aku dan kamu pertama bertemu.

Tak terasa hujan pun reda, aku harus segera pulang. Pun acara di gereja kecil itu segera dimulai, tak enak aku berdiri di sana terlalu lama. Terdengar pujian dinyanyikan oleh para jemaat dengan syahdu mengiringi tapak kakiku berjalan perlahan menjauh dan di antara tetesan airmata, kupanjatkan doa untukmu, semoga Yang Maha Kuasa segera menunjukkan jalan untuk kita.

“Trish, aku rasa aku menemukan ibu untuk Kayla dan aku sedang jatuh cinta.” Kata-katamu barusan membuat mukaku memanas dan dadaku berdebar kencang. Mungkin pipiku sudah merona serupa warna senja hari itu. Meskipun lebih dari setahun kita bersama tapi debar-debar kecil itu tak pernah lupa untuk singgah di dadaku tiap kali kita bertemu.

Senyum terulas di bibirku sampai saat seorang wanita datang menghampiri kita. Wanita semampai dengan rambut sepunggung, hitam manis dengan mata berbinar. Tanpa canggung dia duduk di sampingmu sambil menggelayut manja di lenganmu. Aku hanya menatap bingung sambil berusaha menata hati karena aku tak mengenalnya.

“Trisha, perkenalkan ini Sandra. Sandra, ini Trisha teman baikku.” Kuulurkan tangan pada wanita itu sambil berusaha mengucap sepatah dua patah kata walau tenggorokanku terasa tercekik seiring debar jantungku yang mulai menggila. Pikiranku kacau, berbagai macam prasangka berlalu lalang demi mendengar kata “teman baik” dari mulutmu. Teman baik?

Petang itu kulalui dengan tidak nyaman karena melihat wanita itu selalu bermanja-manja padamu. Seharusnya aku yang di sampingmu, bukan dia. Protes yang hanya terlontar di dalam hati. Teman baik? Dua kata itu berputar-putar di kepalaku. Aku bingung. Sedih dan marah. Tapi pada siapa?

Rupanya petang itu merupakan kali terakhir kita bersama. Tak ada lagi jalan-jalan sore bersama Kayla ke taman kota di akhir minggu. Tak ada lagi panggilan di jam makan siang di telepon genggamku. Tak satu pun SMS manis atau pesan di inbox Facebook kuterima seperti biasanya. Kau menghilang begitu saja. Tanpa kata-kata…

Mungkin ini jawaban dari doa yang kupanjatkan di luar gereja tempo hari. Tuhan mungkin telah menunjukkan jalan kepadaku, jalan yang berbeda, jauh dari pengharapanku. Sudahlah, kita sejak awal memang berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun