Mohon tunggu...
Hindharyoen Nts
Hindharyoen Nts Mohon Tunggu... profesional -

Jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepotong Daun Telinga

2 Oktober 2013   12:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:06 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

MATAHARI baru saja beringsut melewati ubun-ubun, di siang yang panas ketika sepotong daun telinga, terlepas dan meluncur seperti kleyang, terkulai di lantai. Darah segar mengucur dari pangkal telinga. Tetesan darah mebentuk noda merah di jubin tegel kusam yang permukaanya sudah terkelupas. Aringanu... melolong, meraung....... kesakitan. Ampunn....teriaknya. Ia baru saja kehilangan daun telinga kanannya yang putus digigit laki-laki berambut bros. Dengan gerakan reflek, tangan kanannya lantas menutupi pangkal telinganya yang berdarah-darah. Telapak tangan kirinya pun solider ditumpangkan ke punggung telapak tangan kanannya agar darah berhenti mengucur. Sia-sia. Darah tidak mau kompromi. Baju yang sudah kusam pun kena cipratan darah segar....

Beberapa saat ia masih saja meraung-raung menahan sakit. Dua ekor capung, satu berwarna merah satunya biru yang sedang bercengkerama, melesat menjauh, kaget mendengar teriakan Aringanu. Lolongannya begitu menyayat. Tapi tidak satu orang pun tergerak menolongnya. Orang-orang yang melihat kejadian itu sebenarnya ingin menolong tapi tidak berani. Tidak mungkin.

Aku yang pada saat itu melihat peristiwa dari jarak beberapa langkah juga tidak ambil resiko menolongnya. Menolong jelas tidak berani. Menolong, sama artinya dengan bunuh diri. Urusannya akan menjadi sangat panjang. Dan tidak berujung. Pegawai kantor Kecamatan yang melihat kejadian itu pun cuma dapat menghela nafas sambil mengelus dada. Ada yang menutup mulut dengan telapak tangannya. Ada pula yang langsung lari setelah melihat darah membasahi baju laki-laki malang tersebut. Beberapa orang masih melihat kejadian itu lebih jauh, melongokkan kepalanya dari jendela yang bagian bawahnya tertutup gordyn.

Pria rambut bros berpostur tinggi besar yang sedari tadi berdiri hanya berjarak selangkah dan berhadap-hadapan dengan Aringanu, tetap bergeming. Wajahnya tanpa ekspresi, dingin. Kedua tangannya malangkerik (berkacak pinggang). Matanya terus menatap tanpa berkedip ke arah Aringanu. "Ambil....", orang berambut bros dan berseragam yang baru saja menggigit daun telinga hingga putus itu membentak. Sambil terus menutupi pangkal telinganya, Aringanu menbungkuk, lalu memungut daun telinganya, kemudian memasukkannya ke dalam saku baju. Darah membasahi saku bajunya. Pria rambut cepak itu membentak lagi... dan dengan suara menggelegar memerintahkan Ari masuk ke gedung. "Plaaakkk....! Ia masih sempat melayangkan sebuah tamparan ke wajah Ari, sebelum ia melangkahkan kakinya masuk ke gedung tua bekas kediaman Bupati Banyumas. Gedung tua itu memang dijadikan tempat interogasi. Dari raut wajah dan pakaiannya, Aringanu tampaknya berasal dari rakyat kebanyakan. Ia adalah satu dari ratusan ribu orang Indonesia pasca peristiwa Gerakan 1 Oktober (Gestok) 1965 yang dicap komunis dan disekap sebagai tahanan politik (tapol) komunis.

****
ADA banyak orang, laki perempuan, tua muda yang kala itu diinterogasi di gedung tua peninggalan Belanda. Selain dijadikan kamp konsentrasi tapol Komunis, kota lama Banyumas pernah dijadikan tempat penahanan pemberontak PRRI/Permesta. Mereka ditempatkan di gedung yang sama yakni di bekas gedung kediaman Residen Banyumas. Tempat interogasi orang-orang yang dituduh komunis, aktivis organisasi sayap onderbouw PKI, sampai orang yang sebenarnya tak tahu apa-apa dan tidak ada sangkut pautnya dengan PKI serta Gestok dipusatkan di gedung bekas rumah Bupati Banyumas.

Sejak ibu kota Banyumas dipindahkan ke Purwokerto tahun 1936, gedung tua rumah bupati tidak dipakai lagi. Gedung peninggalan Belanda itu sampai masih kokoh. Kualitas bangunannya super, barangkali karena uang yang digunakan membangun gedung itu tidak dikorupsi. Tidak ada pejabat yang merangkap menjadi tukang sunat anggaran, minta fee atau gratifikasi, apalagi praktik lobi toilet.

Di bagian kiri gedung utama terdapat bangunan kantor asisten wedana (sekarang camat). Camat Banyumas kala itu dijabat Mas Soegito. Keluargaku dengan delapan berasaudara tinggal di salah satu gedung tua yang jaraknya hanya sekitar duapuluh langkah dari gedung tua itu. Tapi masih dalam satu komplek dengan rumah bupati. Oleh karenanya dengan leluasa aku dapat melihat jalannya interogasi dari jarak dekat. Kapan saja aku mau. Bisa pagi, siang sampai petang. Menjelang petang, usai interogasi petugas dengan selang menyemprotkan air leding untuk membersihkan darah yang membasahi lantai. Bau anyir darah manusia yang bercampur menusuk hidung.

Di sebelah barat tempat Aringanu digigit telinganya, terdapat halaman yang penuh ditumbuhui ilalang. Di halaman ada pohon duwet. Umurnya sudah seratusan tahun lebih. Sampai sekarang pohon duwet itu masih ada. Konon pada malam sering ada penampakan hantu berwujut seorang kakek yang duduk bersandar di batang pohon duwet tersebut. Cerita itu membuat membuat bulu roma bergidik. Sama bergidiknya jika mendengar lolongan dan raungan tapol yang kesakitan ditendang, digampar, dipukul dengan balok kayu atau kursi kayu.

Di belakang gedung rumah dinas bupati terdapat dua sumur berdiameter kurang dari setengah meter. Kedalamannya konon tidak terhingga. Sekarang sumurnya tinggal satu, sumur satunya sudah ditutup. Pasca Gestok sumur itu dikeramatkan orang. Malam hari banyak orang "nyemedi" di situ untuk minta nomor judi kasino.

Waktu itu di Indonesia sedang dilanda judi kasino. Lucu dan konyol, kacau memang. Pada hari-hari tertentu Selasa dan Jumat Kliwon, di sekeliling pagar sumur, pecandu judi kasino meletakkan sesaji minta nomor. Padahal sumur tersebut sebenarnya dibuat untuk sumber air branwir (pemadam kebakaran) dan menditeksi banjir. Apabila turun hujan lebat beberapa jam dan elevasi air sumur tinggi pertanda akan banjir.

Pasca Gestok kehidupan rakyat memang kacau balau, perjudian merajalela, curiga-mencurigai waktu menjadi menu utama pokok. Predikat ekstrim kiri menjadi sebutan menakutkan sekaligus dijadikan alat untuk menyingkirkan orang yang tidak disukainya. Sampai tahun 1968, yang aku ingat orang makan nasi jagung atau bulgur. Pulang sekolah aku ditugasi menggiling jagung pipil untuk makan malam. Tersiar sas-sus yang sampai ke telinga rakyat, beras impor yang sudah di pelabuhan Tanjung Priok konon kabarnya sengaja dibuang ke laut. Untuk membangun opini, Bung Karno tidak becus memimpin sehingga pendiri Republik ini tersudut dan pantas disingkirkan. Entah benar atau tidak namanya saja desas-desus

****


PERISTIWA orang menggigit telinga sampai putus dengan cepat tersebar luas dan menjadi pembicaraan ramai. Orang-orang pasar penasaran ingin tahu siapa orang yang menggigit telinga,hingga putus. " Kayak apa sakitnya. Dijewer saja sakit. Apalagi digigit sampai putus", beberapa bakul sayur bertanya sambil bisik-bisik. Penderitaan yang dialami Aringanu adalah bagian kecil dari episode menyedihkan nasib banyak anak bangsa yang tiada berujung gara-gara cap komunis.

Di tempat pembuangan penuh penderitaan di Pulau Buru, Nusakambangan, Plantungan atau di mana saja sesuka-sukanya tapi tidak pernah ada pengadilan. Suatu siang sepulang sekolah aku melihat seorang laki-laki yang sedang diinterogasi dihantam kepalanya dengan kursi. Begitu kerasnya hantaman tersebut membuat orang tadi menjerit-jerit .....kesakitan. Kursi dari dari kayu patah berantakan. Aku sangat miris melihat kejadian itu.

Di lain hari aku melihat seorang laki-laki yang dibentak-bentak dan disuruh mengangkat satu kaki kanannya. Orang yang dihadapannya kemudian menindih jempol kakinya dengan salah satu ujung kaki kursi. Orang yang sedari pagi menginterogasi laki-laki itu kemudian duduk sambil menghentakkan tubuhnya ke atas kursi. Keruan laki-laki tersebut meraung-meraung.... Sakit... tapi mereka masih cukup beruntung karena tidak kehilangan daun telinganya. Berbulan-bulan menyaksikan jalanya interogasi membuat rasa kemanuasian terusik, juga miris akan tetapi tidak dapat berbuat apa-apa.

Aku sering bahkan amat sering mengintip jalannya intrograsi lewat jendela di bagian barat gedung utama. Jadi tahu apa yang sedang terjadi di dalam gedung. Saya sering melihat perempuan dipukuli, dijambak rambutnya, ditempeleng, ditampar sampai menjerit-jerit..... Tapi ada juga yang ndak diapa-apakan, kaum perempuan. Entah apa alasannya, kenapa ada diskriminasi. Perempuan yang terhindar dari kekerasan fisik itu umumnya berwajah cantik. bening.... Dari cara berdandannya yang rapih mereka mungkin anggota CGMI, mahasiswi. Mungkin karena tidak ditemukan bukti keterlibatannnya sehingga mereka lolos dan memperoleh perlakukan berbeda. Saat mengintip jalannya interogasi sering ada kejadian lucu. Sitti Roekijah, almarhum ibuku jika melihat aku sedang mengintip akan lari tergopoh-gopoh ke arahku. Ditarikya baju atau celena pendekku supaya turun sambil menggiring hingga masuk rumah.

Kejadian itu selalu berulang-ulang apabila ibu melihat aku sedang berdiri berpegangan tembok tebal, mengintip jalannya interogasi. Setiap ingat peristiwa ini aku ketawa sendiri... Aku tidak pernah kapok dan selalu ingin tahu jalannya interogasi dari jendela. Almarhum ibuku juga tidak pernah berhenti menarik bajuku setiap kali melihat aku mengintip jalannya pemeriksaan. Ibu sangat takut aku kenapa-kenapa.Kasihan Ibu. Sejatinya aku sangat sedih bahkan miris, menyaksikan orang-orang yang belum tentu bersalah diperlakukan secara tidak manusiawi.

Aku sangat mengenal dan memang kenal pria berpostur tinggi besar yang menggigit daun telinga Aringanu karena pria itu kolega bapakku. Ia beberapa kali menendang dan menggampar. Puncak penderitaan Aringanu terjadi ketika daun telinganya digigit sampai putus.....

Biasanya tahanan yang terluka dan perlu perawatan termasuk tapol yang kehilangan daun telinga di bawa ke Rumah Sakit Banyumas, sebuah rumah sakit tua yang didirikan Belanda tahun 1924. Jarak antara rumah sakit dengan rumah tahanan tersebut hanya dibatasi selokan penangkal banjir. Di rumah sakit ini laki-laki yang kini hanya punya telinga kiri tidak sendirian. Banyak tapol yang dirawat di rumah sakit tersebut. Ada yang hidungnya patah, bahkan teriris, ada yang kepalanya bocor, yah macam-macam luka.

Berbulan-bulan menyaksikan tragedi kemanusiaan itu. Aku hanya bisa membayangkan betapa beratnya penderitaan mereka. Orang-orang yang belum tentu bersalah. Hampir semua orang yang dilabel PKI di mana pun mereka ditahan mengalami penderitaan yang berat, fisik mau pun batin.

****

INTEROGASI terhadap tapol rutin berlangsung dari pagi hingga menjelang magrib. Sesudah diinterogasi mereka diangkut dengan truk dan dikembalikan ke kamp konsentrasi tapol di bekas gedung karesidenan yang jaraknya hanya sekitar satu kilometrer ke arah selatan dari alun-alun Banyumas. Tidak semua dari mereka dikemabalikan ke tahanan. Mereka yang dikembalikan ke rumah tahanan termasuk orang yang beruntung karena tidak sedikit yang tidak kembali ke tahanan dan tidak jelas nasibnya.

Salah satu anggota tim interogasi adalah paman jauhku. Ketika ada kesempatan ngobrol saya memberanikan diri untuk bertanya mengenai tapol yang tidak dipulangkan ke rumah tahanan tapi di bawa ke arah barat dari Kota Banyumas. Pamanku tentu saja bungkam, tidak mau menjawab pertanyaanku tersebut. Aku sudah menduga. Rupa-rupanya paman melakukan gerakan tutup mulut, kerena tugas. Sampai sekarang pertanyaan tersebut tidak pernah terjawab.

Di tengah masyarakat tersebar gunjingan, tapol yang diangkut truk ke arah barat itu akan dibawa ke tepian Sungai Serayu di wilayah Desa Cindaga kecamatan Rawalo. Sudah barang tentu bukan untuk mandi-mandi dan berenang di sungai yang bermuara di samodera Indonesia itu. Untuk apa mereka di bawa ke tepian sungai Serayu masih menjadi misteri, sampai sekarang. Misteri Cindaga adalah secuil misteri dari sebuah misteri besar Gestok 1965.....

Dalam kumpulan cerita pendek CINDAGA (2012) Penulis Banyumas, cerpenis Setyanto Salim dalam cerpen bertajuk sama, CINDAGA menceritakan perbincangan antarwarga Desa Cindaga di sebuah pasar di desa tersebut....." Bakul-bakul di pasar tidak menjual ikan hasil tangkapan di Sungai Serayu. Tidak ada yang mau membelinya" , kata mereka. "Ikan dan udang Sungai Serayu gemuk-gemuk karena makan bathang (tubuh) manusia," jelas mereka. Apakah ini jawaban dari pertanyaan tentang misteri para tapol yang diangkut dengan truk menuju jembatan Cindaga yang dirancang Bung Karno dan melintasi Serayu untuk selanjutnya dijadikan makanan ikan dan udang di kali tersebut ...? (Hindharyoen nts, dari sepotong kisah nyata)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun