[caption id="attachment_322400" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption]
Changi Prison 14 Oktober 1968, Dihaturkan Yang Mulia Ibundku, Aswiani binti Bang, Yang Diingati Siang dan Malam....
"Ibunda yang dikasihani, surat ini berupa surat terakhir dari ananda Tohir. Ibunda, sewaktu ananda menulis surat ini, hanya tinggal beberapa waktu saja ananda dapat melihat dunia yang fana ini. Pada tanggal 14 Oktober 1968 rayuan ampun perkara ananda kepada Presiden Singapura telah ditolak, jadi mulai dari hari ini ananda hanya tinggal menunggu hukuman yang akan dilaksanakan tanggal 17 Oktober 1968 " .
"Mohon Ibunda, ampunilah segala dosa-dosa dan kesalahan ananda selama ini. Sudilah Ibundaku menerima ampunan dan sembah sujud dari ananda yang terakhir ini. Tolong sampaikan kasih mesra ananda kepada seisi kaum keluarga. Ananda tutup surat ini dengan ucapan terimakasih dan selamat tinggal untuk selama-lamanya. Amin."  (petikan surat Harun Said Tohir Mahdar).
Penggalan kalimat ini ditulis oleh Harun Said Tohir Mahdar sewaktu kedua prajurit KKO AL ini dipenjarakan Changi Prison (penjara Changi). Harun menuliskan surat itu tanggal 14 Oktober 1968 sehari setelah permohonan ampunan dan kasasinya ditolak. Sedang Usman menulis surat untuk Bundanya pada tanggal 16 Oktober 1968 setelah diberi tahu permohonan ampunannya ditolak oleh Presiden Singapura, yakni satu hari menjelang eksekusi  mati dengan cara digantung.
Changi Prison 16 Oktober 1968, Dihaturkan Bunda ni Haji Mochamad Ali, Tawangsari
"Ananda berharap dengan tersiarnya kabar yang menyedihkan ini tidak akan menyebabkan akibat yang tidak menyenangkan bahkan sebaliknya ikhlas dan bersyukurlah sebanyak-banyaknya rasa karunia Tuhan yang telah menentukan nasib ananda sedemikian mustinya". (petikan surat Usman Djanantin).
Melalui surat yang ditujukan kepada Ibundanya, Usman dan Harun sudah  pasrah dan ikhlas dengan apa yang akan dihadapinya, yakni hukuman mati di tiang gantungan. Bahkan sebagai prajurit sejati mereka begitu tegar menghadapi ajal.
Dalam bagian lain suratnya Harun mengungkapkan kepada Ibunya...., "Dihaturkan Yang Mulia Ibundaku Aswiani binti Bang Yang diingati siang dan malam".... "Hukuman yang akan diterima oleh ananda adalah hukuman digantung sampai mati. Di sini Ananda harap kepada Bunda supaya bersabar karena setiap kematian manusia adalah tidak siapa yang boleh menentukan. Satu-satunya yang menentukan ialah Tuhan Yang Maha Kuasa dan setiap manusia yang ada di dalam dunia ini tetap kembali kepada Illahi. "
Tolak Matanya Ditutup
Usman dan Harun dua prajurit KKO AL akhirnya dieksekusi pada pagi hari tanggal 17 Oktober 1968 di Penjara Changi, Singapura, penjara  di mana hampir 3 tahun mendekam sejak ditangkap Polisi Peronda laut Singapura 13 Maret 1965. Usman, Harun dan seorang sukarelawan Dwikora tanggal 10 Maret 1965 meledakkan bom di Mac Donald House di kawasan Orchad Road. Selain menewaskan 6 orang dan melukai puluhan korban, ledakan bom itu juga mengakibatkan kerusakan puluhan toko dan kendaraan roda empat. Usman dan Harun berusaha menghilangkan jejak. Mereka  menyamar sebagai anak kapal dagang  dan sempat menumpang kapal dagang Meguma. Akan tetapi pada malam harinya tanggal 12 Maret 1965, pemilik kapal dagang Meguma, Kie Hok mengusir mereka karena takut ketahuan petugas keamanan Singapura.
Setelah diusir pemilik kapal dagang Meguma sepanjang malam mereka bersembunyi. Pada pagi hari saat keluar dari tempat persembunyian di kawasan pelabuhan mereka melihat sebuah perahu bermotor yang dikemudikan oleh seorang Cina. Mereka kemudian merampas kapal motor tersebut dan digunakannya untuk melarikan diri menuju Pulau Sambu. Saat sedang dalam perjalanan menuju Pulau Sambu kapal motor tersebut mengalami gangguan mesin. Nahas ini terjadi 13 Maret 1965 saat akan mendekati perbatasan teritori perairan Indonesia-Singapura mereka ditangkap oleh Polisi Peronda Laut Perairan Singapura dan dijebloskan di Penjara Changi. Namun sejak berpencar  Gani bin Aroeb menghilang entah ke mana.
Melalui proses pengadilan yang berlangsung sejak 4 Oktober 1965 hingga 20 Oktober 1965 oleh pengadilan High Court mereka dijatuhi hukuman pidana mati. Permintaan banding kepada Federal Court of Malaysia Kuala Lumpur 5 Oktober 1966 ditolak. Upaya kasasi juga ditolak oleh Badan Pengadilan Privy Caunsil yang berpusat di London. Demikian pula dengan permohonan ampunan kepada Presiden Singapura juga ditolak. Usman dan Harun tanggal 17 Oktober 1968 akhirnya dieksekusi mati di tiang gantungan di penjara yang sama.
Saat-saat terakhir menuju tiang gantungan di penjara Changi Usman dan Harun benar-benar menunjukkan sebagai sosok prajurit sejati. Dengan langkah dan sikap tegap, gagah mereka berjalan menuju tiang gantungan. Usman dan Harun menolak ditutup kedua matanya ketika petugas eksekutor akan menutup matanya dengan kain hitam. Tepat pukul 06.00 waktu setempat kedua anggota KKO ALÂ itu telah gugur di tiang gantungan penjara Changi.
Sebelum dieksekusi, seperti ditulis dalam suratnya baik Harun maupun Usman menyampaikan permohonan ampun kepada ibundanya. Kedua prajurit marinir itu begitu menyayangi dan mencintai ibundanya. Surat terakhirnya pun ditujukan kepada ibunda mereka...
"Mohon Ibunda, ampunilah segala dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan Ananda selama ini. Sudilah Ibundaku menerima ampunan dan salam sembah sujud dari Ananda yang terakhir ini. Tolong sampaikan salam kasih mesra ananda kepada seisi kaum keluarga. Ananda tutup surat ini dengan ucapan terima kasih dan SELAMAT Â TINGGAL UNTUK SELAMA-LAMANYA". (Harun Said Tohir Mahdar).
Surat Usman yang ditulis tanggal 16 Oktober 1968 juga dialamatkan kepada Ibundanya... "Berhubungan tuduhan nanda yang bersangkutan dengan nasib dalam rayuan memohon ampun kepada Pemerintah Republik Singapura tidak dapat dikabulkan maka ananda menghaturkan berita dan duka ke pangkuan Bunda dan semua keluarga di sini bahwa pelasanaan hukuman mati ke atas ananda telah diputuskan pada 17 Oktober 1968 hari Kamis Radjab 1388 ".
"Sebab itu sangat besar harapan ananda mengahaturkan sujud di hadapan Bunda, Mas Choenem, Mas Madun, Mas Chalim, Ju (baca Yu-panggilan kakak perempuan), Ju Khodijah dan Turijah pada sesepuh lainnya dari Purbalingga, Laren Bumiayu, Tawangsari Jatisaba, sudi kiranya mengihlaskan mohon ampun dan maaf atas semua kesalahan yang ananda sengaja mau pun tidak ananda sengaja. .
"Ananda di sana tetap memohonkan keampunan dosa dan kesalahan Bunda dan saudara semua di sana, dan mengihtiarkan sepenuh-penuhnya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa".... "Ananda harap dengan tersiarnya kabar yang menyedihkan ini tidak akan menyebabkan akibat yang tidak menyenangkan, bahkan sebaliknya ikhlas dan bersyukurlah sebanyak-banyaknya rasa karunia Tuhan yang telah menentukan nasib Ananda sedemikian mustinya."
"Sekali lagi Ananda mohon ampun dan maaf atas kesalahan dan dosa Ananda ke pangkuan Bunda, Mas Choenem, Mas Matori, Mas Chalim, Ju Rochajah, Ju Pualidi dan Rodijah, Turijah dan keluarga Tawangsari, Lamongan, Jatisaba Purbalingga, Laren Bumiayu".... Ananda, (Usman bin Hadji Ali)
Pesan Tersirat
Ada tersirat pesan yang dapat dtangkap dari surat Usman dan Harun dalam surat yang dituliskan untuk ibundanya itu. Pesan tersebut dikiranya dapat dicontoh oleh Presiden dan pejabat Negara Indonesia yakni sikap  tegas Presiden Singapura kala itu yang menolak ampunan kedua prajurit KKO AL tersebut. Dalam suratnya ia mengabarkan kepada Ibu dan keluarganya bahwa rayuan memohon ampun kepada Pemerintah Republik Singapura tidak dapat dikabulkan, dan pelaksanaan hukuman mati telah diputuskan dilaksanakan pada 17 Oktober 1968.
Dalam konteks konflik Indonesia-Singapura yang terpicu pemberian nama KRI USMAN HARUN dan perspektif perubahan geopolitik di kawasan Asean dan Asia pada umum yang sangat dinamis. Bukan tidak mungkin konflik ini akan semakin panjang dan meluas yang berpotensi mengundang kekuatan-kekuatan global ke Asia khususnya Asia Tenggara lebih khusus lagi ke kawasan Selat Melaka. Sebab kawasan dan perairan Selat Malaka  sangat strategis baik dari aspek ekonomi maupun militer. Isu yang beredar bahwa kekuatan-kekuatan global sedang mengincar kawasan Selat Malaka untuk dijadikan basis militer bukan sekedar isu belaka.
Pemerintah Indonesia kali ini harus bersikap tegas kepada Singapura. Jangan sampai negara besar seperti Indonesia justru bersikap lemah, lembek menghadapi sikap Singapura atau dengan gampangnya didikte negara tetangga yang cenderung kerap menggunakan isu-isu yang bernada provokatif dan memancing-mancing reaksi agar Indonesia terpancing karena mereka tahu sikap dan karakter Indonesia yang "hanya" reaktif, sesaat. (hindharyoen nts, jurnalis, dari: sobekan kalender Korps Marinir, Agustus 2003).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H