Setelah diusir pemilik kapal dagang Meguma sepanjang malam mereka bersembunyi. Pada pagi hari saat keluar dari tempat persembunyian di kawasan pelabuhan mereka melihat sebuah perahu bermotor yang dikemudikan oleh seorang Cina. Mereka kemudian merampas kapal motor tersebut dan digunakannya untuk melarikan diri menuju Pulau Sambu. Saat sedang dalam perjalanan menuju Pulau Sambu kapal motor tersebut mengalami gangguan mesin. Nahas ini terjadi 13 Maret 1965 saat akan mendekati perbatasan teritori perairan Indonesia-Singapura mereka ditangkap oleh Polisi Peronda Laut Perairan Singapura dan dijebloskan di Penjara Changi. Namun sejak berpencar  Gani bin Aroeb menghilang entah ke mana.
Melalui proses pengadilan yang berlangsung sejak 4 Oktober 1965 hingga 20 Oktober 1965 oleh pengadilan High Court mereka dijatuhi hukuman pidana mati. Permintaan banding kepada Federal Court of Malaysia Kuala Lumpur 5 Oktober 1966 ditolak. Upaya kasasi juga ditolak oleh Badan Pengadilan Privy Caunsil yang berpusat di London. Demikian pula dengan permohonan ampunan kepada Presiden Singapura juga ditolak. Usman dan Harun tanggal 17 Oktober 1968 akhirnya dieksekusi mati di tiang gantungan di penjara yang sama.
Saat-saat terakhir menuju tiang gantungan di penjara Changi Usman dan Harun benar-benar menunjukkan sebagai sosok prajurit sejati. Dengan langkah dan sikap tegap, gagah mereka berjalan menuju tiang gantungan. Usman dan Harun menolak ditutup kedua matanya ketika petugas eksekutor akan menutup matanya dengan kain hitam. Tepat pukul 06.00 waktu setempat kedua anggota KKO ALÂ itu telah gugur di tiang gantungan penjara Changi.
Sebelum dieksekusi, seperti ditulis dalam suratnya baik Harun maupun Usman menyampaikan permohonan ampun kepada ibundanya. Kedua prajurit marinir itu begitu menyayangi dan mencintai ibundanya. Surat terakhirnya pun ditujukan kepada ibunda mereka...
"Mohon Ibunda, ampunilah segala dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan Ananda selama ini. Sudilah Ibundaku menerima ampunan dan salam sembah sujud dari Ananda yang terakhir ini. Tolong sampaikan salam kasih mesra ananda kepada seisi kaum keluarga. Ananda tutup surat ini dengan ucapan terima kasih dan SELAMAT Â TINGGAL UNTUK SELAMA-LAMANYA". (Harun Said Tohir Mahdar).
Surat Usman yang ditulis tanggal 16 Oktober 1968 juga dialamatkan kepada Ibundanya... "Berhubungan tuduhan nanda yang bersangkutan dengan nasib dalam rayuan memohon ampun kepada Pemerintah Republik Singapura tidak dapat dikabulkan maka ananda menghaturkan berita dan duka ke pangkuan Bunda dan semua keluarga di sini bahwa pelasanaan hukuman mati ke atas ananda telah diputuskan pada 17 Oktober 1968 hari Kamis Radjab 1388 ".
"Sebab itu sangat besar harapan ananda mengahaturkan sujud di hadapan Bunda, Mas Choenem, Mas Madun, Mas Chalim, Ju (baca Yu-panggilan kakak perempuan), Ju Khodijah dan Turijah pada sesepuh lainnya dari Purbalingga, Laren Bumiayu, Tawangsari Jatisaba, sudi kiranya mengihlaskan mohon ampun dan maaf atas semua kesalahan yang ananda sengaja mau pun tidak ananda sengaja. .
"Ananda di sana tetap memohonkan keampunan dosa dan kesalahan Bunda dan saudara semua di sana, dan mengihtiarkan sepenuh-penuhnya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa".... "Ananda harap dengan tersiarnya kabar yang menyedihkan ini tidak akan menyebabkan akibat yang tidak menyenangkan, bahkan sebaliknya ikhlas dan bersyukurlah sebanyak-banyaknya rasa karunia Tuhan yang telah menentukan nasib Ananda sedemikian mustinya."
"Sekali lagi Ananda mohon ampun dan maaf atas kesalahan dan dosa Ananda ke pangkuan Bunda, Mas Choenem, Mas Matori, Mas Chalim, Ju Rochajah, Ju Pualidi dan Rodijah, Turijah dan keluarga Tawangsari, Lamongan, Jatisaba Purbalingga, Laren Bumiayu".... Ananda, (Usman bin Hadji Ali)