Pertimbangan mengkonsumsi ganja untuk tujuan 'rekreasi terlarang' adalah menimbang antara mudarat atau manfaat. Di mana etika sosial budaya dan norma agama biasa dikedepankan.
Tapi menimbang legalisasi ganja sebagai komoditi ekpor, pertimbangan ekonomi seakan berdiri sendiri terdepan. Artinya orang lebih menghitung untung rugi daripada mempertimbangkan hal lain.
 [...], bila dikonsumsi zat ini menyerang kerja otak, [...]
Sebelum bicara lebih dalam mengenai pendayagunaan ganja sebagai komoditi, ada baiknya diawali dengan memahami apa yang disebut ganja. Tidak kalah pentingnya, apa pengaruhnya dari sisi sosial ekonomi, dan bagaimana negara memandang isu ini.
Tanaman ganja mengandung zat psikoaktif, bila dikonsumsi zat ini menyerang kerja otak sehingga pengguna akan mengalami gangguan kejiwaan (lihat: unodc.org). Gangguan tersebut dalam jangka pendek berupa berkurangnya kesadaran, akal, kepekaan (sosial) dan menurunnya respon dan fungsi dalam bermasyarakat dari pemakainya. Keadaan ini dikenal dengan istilah "mabuk".
Di dalam UU 35 tahun 2009, tanaman ganja dari seluruh genus cannabis termasuk ke dalam Narkotika Golongan I. Narkotika golongan ini dilarang diproduksi atau menjadi bagian dari produksi. Budi-dayanya dilarang selain untuk kebutuhan pengembangan ilmu pengetahuan, itupun dalam jumlah yang sangat terbatas dan harus seizin Menteri terkait.(lihat: http://e-pharm.depkes.go.id/front/pdf/UU352009.pdf).
Konsumsi zat psikoaktif dalam jangka panjang terbukti dapat mengakibatnya kecanduan dan gangguan jiwa permanen.
Atas dasar itu, penyalahgunaan ganja berpotensi mengancam kelangsungan hidup suatu bangsa. Kondisi ini terutama disebabkan oleh konsumsi berlebihan oleh segmen usia muda. Yaitu segmen generasi yang diharapkan menjadi sumber daya manusia suatu bangsa di masa yang akan datang.
[...] budi daya dan peredaran ganja diawasi ketat oleh negara.
Tidak berhenti di situ, dikarenakan sisa zat psikoaktif dapat mengendap di dalam tubuh manusia dalam waktu yang lama, maka orang tua pengkonsumsi zat ini berpotensi mewariskan cacat fisik dan mental pada keturunannya.
Jadi sangat masuk akal, jika budi daya dan peredaran ganja diawasi ketat oleh negara.
Adalah kenyataan, bahwa ganjabisa dibudi-dayakan sebagai bahan industri kosmetika dan farmasi. Namun, baik dalam keperluan kosmetika maupun terapi medis pasokan yang dibutuhkan tidak besar hingga harus menempuh cara intensifikasi dan extensifikasi pertanian.
Selain itu pasokan ganja banyak berasal dari perkebunan dalam ruangan. Dengan perkebunan dalam ruangan pengawasan jauh lebih mudah dan murah, dibanding di perkebunan terbuka. Ditambah lagi sekarang sudah banyak senyawa sintetik mirip dengan zat yang dikandung tanaman ganja.
Seperti contohnya dronabinol, zat antiemitic ini digunakan untuk meringankan rasa mual dan muntah-muntah pada pasien kemoterapi kanker. Senyawanya dihasilkan dari biji wijen, sehingga tidak diperlukan pengawasan ketat dari hulu ke hilir seperti pada pengawasan budi daya tanaman ganja.
Tak kalah pentingnya untuk dipertimbangkan, bahwa ketatnya pengawasan  mau-tidak mau harus melibatkan begitu banyak birokrasi yang berujung pada panjangnya rantai produksi. Keadaan ini membuka resiko kebocoran, yaitu selisih antara jumlah yang dihasilkan dari petani dan jumlah pasokan yang sampai ke tangan konsumen industri.
Patut diwaspadai, bahwa seiring dengan kebocoran ini terbuka juga ruang kemungkinan konsumsi ganja ke arah 'rekreasi terlarang'.
Lalu apa motif dari usulan legalisasi budi daya tanaman Narkotika Golongan I, yang resikonya masih sangat sulit diperkirakan? Sementara ini memang isu ekonomi tetap terdepan.
[...] banyak pasokan narkotika berasal dari daerah-daerah konflik, [...]
Tapi sekali lagi banyak faktor yang harus diperhatikan dalam mempertimbangkan legalisasi ganja. Di satu sisi, memang sebagai komoditi expor tanaman ganja bernilai tinggi. Tapi di lain sisi ongkos produksinya juga akan melambung tinggi seiring dengan resikonya. Belum lagi produk sintetisnya sudah banyak diproduksi dengan resiko yang jauh lebih rendah, membuat usulan legalisasi budi-daya tanaman ganja semakin kurang masuk akal.
Ada satu catatan menarik di sini, bahwa industri narkotika sering dekat industri senjata. Faktanya banyak pasokan narkotika berasal dari daerah-daerah konflik, seperti Afghanistan atau daerah Segitiga Emas, di mana pengawasan negara hampir tidak ada.
Bahkan kelompok religius radikal di Afghanistan juga ikut mengeruk keuntungan dari ekspor opium. Laporan UNODC, Badan PBB yang mengurusi masalah narkotika dan kejahatan, menunjukan lebih dari 90% opium yang beredar di dunia pada tahun 2011 berasal dari Afghanistan. Keuntungan yang masuk sebagian besar dipakai untuk menutup anggaran pembelian senjata.
Kini, menurut beberapa kolega yang mendalami gerakan separatis dan konflik bersenjata, dalam satu dasawarsa terakhir ada pergeseran sudut pandang terhadap budi daya narkotika di daerah konflik. Narkotika bukan hanya menjadi sumber pembiayaan pengadaan senjata, tapi narkotika itu sendiri sudah difungsikan sebagai senjata.
Lewat strategi membanjiri masyarakat musuh dengan narkotika, sumber daya manusianya sedikit atau banyak dapat dirusak. Dari sisi ekonomi perang dengan strategi ini lebih murah dan efektif, karena dapat menjatuhkan korban tanpa perlu menghamburkan peluru dan menyerang ke daerah musuh.
Ada lagi isu booming produksi senjata tidak mematikan (non-lethal weapon) yang memang membutuhkan pasokan etrahydrocannabinol dalam jumlah besar. Zat ini terkandung di dalam tanaman ganja.
Tapi semuanya masih spekulasi. Proses produksinya baru mencapai pengembangan dan masih belum jelas apakah akan dikeluarkan izin digunakan dan didagangkan.
Sebagai penutup, mari kita kembali ke wacana pembangunan ekonomi di satu daerah.
Adalah keniscayaan, bahwa perekonomian satu daerah harus dibangun dari bawah sebelum kesejahteraan masyarakatnya terangkat. Pembangunan ini, walau berskala mikro, memakan waktu dan biaya, karena juga harus membangun jaringan seperti dengan dinas terkait, pasar, transportasi, tenaga kerja terlatih dll. Sebagai awalan tentunya harus diperhitungkan agar tidak terlalu besar resikonya.
Dalam skala makro pembangunan ekonomi tetap harus berbentuk jaringan yang lebih luas, di mana satu daerah akan saling bergantung dengan dearah yang lain. Jadi tidak salah, kalau pembangunan ekonomi mensyaratkan keterbukaan dan tersediannya iklim yang bersahabat. Tujuan utamanya menjemput bola keluar untuk mengundang lebih banyak investasi masuk.
Membuka kesempatan investasi lebih masuk akal, karena ekonomi akan berkembang di banyak bidang, daripada terpaku menunggu legalisasi budi daya tanaman ganja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H