Selapis masyarakat golongan pedagang dan industrialis tiba-tiba jumlahnya turun drastis, ikut angkat kaki bersamanya aset-aset yang perjuangkan untuk Indonesia.
Pada saat itu tak satupun ke-primordial-an mampu membendung keruntuhan kebangsaan yang selama ini dibangun.
Ide negara kebangsaan, kalau diibaratkan, pasti bukan seperti 'kakek renta' di hadapan 'darah muda' globalisasi. Bersamanya batas politis suatu negara mulai tidak lagi bisa menghambat lalulintas manusia, melainkan sudah harus jadi orang tua bijak dan matang pengalaman menghadapi keterbukaan dan perubahan.
Setiap usaha untuk mengisolasi hakekat dasar manusia dalam mengekspresikan pandangannya pada ruang hidup akan berujung pada konflik.
Dalam konteks pemerintahan yang mengatur akan frustasi kalau tidak memberikan perintah atau menghukum dan yang diatur hidup resah kalau tidak melawan.Â
Kasus-kasus konflik antar etnis seperti di bekas negara Yugoslavia salah satu faktornya adalah pemaksaan kepentingan supremasi budaya atas kekuasaan.
Sebaliknya pembebasan keragaman kehidupan berbudaya yang diatur dalam skala nasional jelas menambah kekayaan dan kekuatan negara atas kesatuan dengan azas saling tarik menarik dan melengkapi kekurangan. Prinsipnya, manusia dan budaya akan selalu membentuk cara untuk bertahan hidup melalui proses.
Budaya manapun bersifat kreatif/mencipta, bukan destruktif/menghancurkan. Meskipun budaya akan selalu membentuk batasan bila bertemu yang lain' atau asing', sifatnya hanya akan selalu berasosiasi pada pijakan bagaimana hidup berdampingan.
Seperti kutipan lengkap kitab Sutasoma terbitan sekitar abad 14, karya Mpu Tantular, pupuh 139, bait 5 ini:
"RwAneka dhAtu winuwus Buddha Wiswa,
BhinnEki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Ziwatatwa tunggal,
BhinnEka tunggal ika tan hana dharma mangrwa."
Tafsirnya kira-kira: