Mendekati Hari Raya Imlek tanggal 25 Januari tahun ini, pikiran seringkali terbawa pada satu ganjalan sosial terhadap orang-orang Indonesia yang merayakannya.Â
Semestinya ganjalan itu kini sudah tidak ada lagi di muka bumi Indonesia. Namun sangat disayangkan, bahwa ia hingga kini tetap menjadi duri dalam daging.
Ganjalan itu bergema dari seruan sosial dengan kata 'pribumi'.
Terutama di masa sekarang, penyuaraan istilah ini sebagian besar bertujuan negatif, karena sering kali memperuncing perpecahan sosial.
Tulisan berikut ini khusus ditujukan untuk mengargumentasi istilah 'pribumi', dengan mengembalikannya ke makna asli. Kemudian darinya ditarik kesimpulan terhadap motif sosial, tentunya juga motif politik, ketika istilah itu digunakan pertama kali.
Rujukan Makna Kata
Dari bunyinya sudah dapat dikira bahwa istilah ini berasal dari bahasa Sanskerta atau Jawa Kuna.
Maka dari itu pendekatan kebahasaan di sini menggunakan satu kamus Sanskerta dari Sir Monier Monier-Williams versi online; leksikon standar kajian-kajian sanskerta.
Di samping itu, digunakan kamus Jawa Kuna Indonesia dari P.J. Zoetmulder keluaran PT Gramedia Pustaka Utama.
Metode yang digunakan adalah kajian tata bahasa Sanskerta terhadap kata majemuk (komposita) determinatif, antara tatpuruSa dan karmadhAraya.
Kajian ini merujuk pada buku tata bahasa Sanskerta karya Adolf Friedrich Stenzler (Elementarbuch der Sanskrit-Sprache, 1980), dengan perbandingan pada buku tata bahasa Sanskerta karya Manfred Mayrhofer (Sanskrit-Grammatik,1978).
Sebelum dimulai, karena kendala penulisan unicode di blog Kompasiana, berikut panduan alih transkripsi dari Sanskerta ke huruf latin:
'A', huruf 'a' dibaca panjang, seperti pada |karmadhAraya|.
'I', huruf 'i' dibaca panjang, seperti pada |prI|.
'U', huruf 'u' dibaca panjang, seperti |bhUmi|.
'R', huruf 'r' dibaca retrofleks, seperti pada |pR|.
'S', huruf 's' dibaca retrofleks, seperti pada |paribhASa|.
Kata pribumi terdiri dari penggabungan dua kata |pri| dan |bumi|.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online (https://kbbi.web.id) dan Kamus Jawa Kuna tidak ditemukan makna kata |pri| sebagai akar kata. Bila melihat dari bunyi akhir |~i| dari kata |pri| kemungkinan besar hubungannya dengan verba Sanskerta |prI| dengan arti to be pleased, to enjoy, sampai to love. Juga verba Sanskerta |pR| yang berarti to protect, to overcome atau to resist.
Dalam penggunaannya sebagai persona verba |prI| baik dalam bahasa Jawa Kuna maupun di bahasa Sanskerta menjadi |priya| artinya (orang) yang dicintai atau kekasih, juga dalam bahasa Sanskerta berarti serupa beloved, lover atau husband. Dasarnya mengarahkan perhatian ke bentuk persona, karena kata |pribumi| dalam bahasa Indonesia sering digunakan untuk menunjukan sekelompok orang.
'warga kampung/ daerah sekitar (setempat)'
Kemungkinan lain untuk |pri| dari komposita |pribumi| adalah prefiks Sanskerta |pari|, kemungkinan juga Jawa Kuna, artinya round atau around.
Kemungkinan ini didasari oleh kemiripan prefiks |pari| dengan |peri| bila membandingkan kata bahasa Indonesia |peribahasa| dengan |paribhASa| kata Jawa Kuna.
Di dalam bahasa Jawa Kuna |paribhASa| berarti bahasa yang benar dan baik. Maknanya ialah kata-kata yang diungkapkan berputar-putar hingga terdengar indah karena tidak langsung.
Kata ini juga terdapat di dalam bahasa Sanskerta yaitu nomina |paribhASA| artinya speech, discourse dan words.
Sampai di sini bisa ditarik tiga kemungkinan, bahwa kata |pri| bermakna (1) 'yang mencintai' atau 'yang memiliki keterikatan hati'. (2) 'yang mempertahankan' atau 'yang melestarikan' bila mengakar ke verba |pR|, (3) atau juga 'sekitar' bila menggunakan |pari| sebagai morfem awal.
Namun setelah ketiga kemungkinan tata bahasa ini didikusikan bersama dengan Prof. Dr. Robert Zydenbos, Jurusan Philologi Asia Selatan - Universitas Munchen, kemungkinan (1) sangat kecil penggunaannya. Karena gabungan komposita dengan akar kata kerja sangat tidak lazim.
Demikian juga kemungkinan (2); memang susunan dari persona dari |pR| yaitu |priya| terbalik, karena susunannya bukan DM (diterangkan-menerangkan) melainkan MD. Jadi komposita dengan |priya| harusnya |bumi|pri(ya)|.
Dengan demikian kemungkinan (1) dan (2) dapat dikatakan gugur. Tinggal sisanya, dan memang lebih logis, kemungkinan (3) yaitu |pari|. Sebagai prefiks, |pari| memang sering dipasangkan untuk memodifikasi makna kata di belakangnya.
Hingga di sini simpan dulu kemungkinan (3) untuk kemudian dipasangkan dengan kata berikutnya, yaitu kata |bumi|.
Dalam bahasa Jawa Kuna, sama seperti bahasa Sanskerta, ditulis sebagai |bhUmi| artinya sama, bumi, dunia atau tanah; earth, soil atau ground menurut kamus Sanskerta. Makna kata ini bahkan artinya juga mencakup territory dan country.
Tidak banyak yang mesti dijelaskan. Makna kata ini adalah bumi atau tanah, baik di bahasa Jawa Kuna, bahasa Sanskerta maupun bahasa Indonesia.
Dua kata ini |pari| dan |bhUmi| menjadi kata majemuk setelah digabungkan. Kemungkinan terserap ke dalam bahasa Indonesia setelah melalui proses 'salah ucap' atau 'tertelan' menjadi |pribumi|.
Bila istilah ini ditafsirkan menurut tata bahasa Sanskerta dilengkapi dengan makna dari bahasa Jawa Kuna, kurang lebih bermakna sebagai berikut:
'warga kampung/ daerah sekitar (setempat)'
Kata |pribumi| murni khazanah bahasa Indonesia, walau dibentuk dari kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta atau bahasa Jawa Kuna.
Hal ini dipastikan melalui kenyataan, bahwa tidak ditemukan kata majemuk |pribumi| di dalam kamus Sanskerta dan Jawa Kuna.
Dari kenyataan ini, ada fakta lain yang terungkap, bahwa kata |pribumi| bukanlah kata klasik.
Kata ini kemungkinan besar terbentuk pada saat bangsa ini memasuki zaman modern. Kelihatannya sejak awal kata |pribumi| menjadi satu istilah bemuatan sosial dan politik.
Dan yang terpenting adalah kenyataan, bahwa kata |pribumi| tidak mengindikasikan perbedaan etnis atau latarbelakang budaya sama sekali.
Menurut makna dasarnya jelas bisa dikatakan, bahwa setiap orang yang lahir dan hidup di bumi Indonesia adalah pribumi apapun hari raya dan hari besar agamanya.
Makna Seruan Pribumi Dulu dan Kini
Untuk menguraikan judul di atas mari kita kembali ke masa di mana kemungkinan kata 'pribumi' mulai digunakan.
Bila diambil patokan waktu seperti dijelaskan di atas, bahwa bangsa Indonesia mulai memasuki zaman modern. Saat itu pertemuan dengan bangsa Eropa sudah terjadi saat negeri ini menjadi bagian dari koloni Belanda.
Sementara ini ada persepsi, bahwa sebutan 'pribumi' digunakan oleh bangsa Eropa terhadap bangsa Indonesia pada saat itu.
Hanya saja hingga saat ini tidak ditemukan penggunaan kata 'pribumi' untuk menyebut warga setempat di dalam literatur-literatur sejarah berbahasa Belanda.Â
Dalam literatur tersebut bangsa Indonesia, atau Nusantara saat itu, disebut dengan kata inlander. Kata ini berarti orang (yang lahir di daerah) setempat. Masuk akal bila demikian, karena faktanya, kata 'pribumi' bukan berasal dari kosa kata bahasa-bahasa Eropa.
Fakta menarik selanjutnya adalah sebutan 'pribumi' ada untuk membedakan antara orang setempat dan orang bukan setempat.
Bila kenyataannya bangsa Eropa tidak menggunakan sebutan 'pribumi' terhadap warga setempat di Indonesia, dan kata 'pribumi' berasal dari bahasa Sanskerta atau Jawa Kuna, artinya ada kelompok lain yang menggunakan sebutan tersebut.
Orang-orang dari kelompok ini kemungkinan besar golongan terdidik, karena menguasai atau mengerti bahasa-bahasa tinggi, seperti Sanskerta atau Jawa Kuna.Â
Sebagai catatan, bahwa tidak semua lapisan masyarakat saat itu punya kesempatan untuk mempelajarinya. Mereka kemungkinan juga bukan warga pesisir di Nusantara, di mana bahasa Melayu lebih sering digunakan.
Dengan begitu hipotesanya sementara ini sebagai berikut; mereka adalah kelompok elit lokal yang di hadapan bangsa Eropa ingin dibedakan kelas sosialnya dari bangsanya sendiri, karena bagi pendatang Eropa semuanya sama saja - semuanya inlander. Jadi disinyalir mereka menyebut bangsanya sendiri dengan sebutan 'pribumi'.
Sejak itu, selain membedakan warga setempat dengan bangsa Eropa pendatang, sebutan 'pribumi' juga membedakan strata sosial.
Sangat disayangkan, karena pembedaan ini lebih digunakan untuk merendahkan bangsa sendiri.
Pada perkembangan berikutnya kata 'pribumi' juga kemungkinan bergema sebagai seruan demi kesetaraan sosial. Terutama pada awal abad ke-20, pada saat pemuda-pemuda Indonesia menemukan kesadaran atas kebangsaannya.
Pada masa itu bangsa ini mulai bangkit untuk lepas dari tekanan. Keinginan untuk bebas dari penindasan oleh bangsa lain begitu kuat.
Pembedaan 'pribumi' dengan bangsa Eropa bukan lagi untuk merendahkan bangsa sendiri, melainkan seruan politik pada seluruh anak bangsa untuk bangkit memperjuangkan kesetaraan diri dengan bangsa-bangsa lain di dunia ini.
Hingga sejauh ini cukup jelas, bahwa makna dari kata 'pribumi' sangat dibentuk dan dipengaruhi oleh struktur masyarakat pada zaman kolonial. Pada saat itu kata ini mulai masuk menjadi kosa kata dalam bahasa Indonesia yang masih disebut bahasa melayu.
Jadi, bila di dalam udara kemerdekaan ini ada seruan politik dengan membawa-bawa istilah 'pribumi', patut diwaspadai. Hal ini disebabkan, karena nuansa makna kata 'pribumi' tak jauh berubah dari masa lalu.Â
Mereka yang membawa-bawa kata 'pribumi' dalam kesempatan berbicara di muka umum, memberikan kesan sebagai usaha untuk memisahkan dirinya dari masyarakat Indonesia demi menaikan citra diri. Mirip seperti pada masa lalu saat menggunakan sebutan 'pribumi' untuk meninggikan strata sosialnya dengan merendahkan bangsanya sendiri.
Tapi jarang disadari bahwa seruan politik dengan bumbu kata 'pribumi' juga menyerukan perlawanan atas penindasan, yang di masa kini sering diterjemahkan sebagai penjajahan dalam bidang ekonomi. Maka sebagai kelompok yang harus diperangi seolah-olah mereka penjajah adalah mereka yang lebih beruntung perekonomiannya.
Akhirnya orang-orang Indonesia yang mencari peruntungan di dunia usaha akan kena getahnya. Sebagai pengusaha mereka akan segera dianggap selalu lebih beruntung ekonominya dan dengan begitu layak untuk dimusuhi. Mereka akan dikira seperti penjajah yang mengeruk peruntungan di negeri orang lain. Dengan kata lain, penggunakan sebutan 'pribumi' berpotensi memundurkan kemajuan berpikir masyarakat Indonesia kembali ke masa kolonial.
Konsekuensi kepentingan sepihak ini benar-benar harus dibayar mahal, yaitu dengan mengorbankan keragaman atau kebhinnekaan yang selama ini membentuk tanah air dan bumi, yang dipijak bersama, hingga disebut Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H