Sejak pengesahan UU ITE pada tahun 2011 dan mendapat revisi pada tahun 2016, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau disingkat UU ITE mendapat cuitan dari berbagai komentar positif dan negatif di masyarakat. Hal ini jelas karena pada pasal yang tertulis didalam UU ITE bertentangan dengan beberapa pasal seperti kebebasan berpendapat dan pelanggaran hak asasi manusia.
Jika kita menilik tujuan dari pembuatan UU ITE, dapat kita pahami bahwa UU ini dibuat untuk mengatur bagaimana masyarakat bermedia sosial sesuai dengan etika dan norma di masyarakat. Selain itu, UU ITE juga dibuat agar kejahatan di transaksi maupun media dapat dipidana agar menciptakan keamaan bagi pengguna elektronik. Tertuang dalam pasal 4e yang menjelaskan bahwa tujuan dari pemanfaatan teknologi dan transaksi elektronik guna memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara teknologi informasi. Undang-undang ite nyatanya telah memenuhi 3 nilai dasar hukum, yakni kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Lalu mengapa masih dituduh dengan sebutan pasal karet?
Presiden jokowi dalam pidatonya pada 15 februari yang disiarkan oleh kompasTV, menyampaikan pernyataannya terkait UU ITE yang dinilai meresahkan masyarakat. Pernyataan tersebut dilontarkan sebagai berikut
“Banyak masyarakat yang saling melaporkan, ada proses hukum yang dianggap kurang memenuhi rasa keadilan...... antara lain undang-undang ITE. Undang-Undang ITE yang bisa menimbulkan multitafsir harus diterjemahkan dengan hati-hati. (sehingga perlu) dibuat interpretasu resmi terhadap pasal-pasal (UU ITE) agar jelas (maksud dan tujuan).”
Alasan dari banyaknya penolakan uu ite di masyarakat adalah karena terdapat multitafsir dalam pasal-pasal yang ada, terkhusus di pasal 27. Seperti kasus Baiq Nuril, seorang guru honorer yang dilaporkan oleh keluarga kepala sekolah SMAN 7 Mataram karena dianggap telah mendistribusikan atau membuat dapat diaksesnya suatu dokumen elektronik yang melanggar kesusilaan. Padahal Baiq Nuril sedang membela dirinya dengan merekam percakapan mesum kepala sekolah sebagai bukti pelecehan terhadap dirinya.
Mahfud MD kemudian turut ikut menyampaikan pendapatnya di acara Rosi KompasTV bahwa terkait dengan pasal-pasal yang bermasalah memang diperlukan revisi. Revisi yang dimaksud tidak dengan menghapus, mengubah keseluruhan atau menghilangkan, namun dengan penambahan kata dikalimat-kalimat yang dianggap memiliki muatan multitafsir. Seperti yang dikatakan pak Mahfud bahwa pasal 27 dianggap pasal karet jika ditafsirkan secara tidak sesuai oleh penegak hukum karena hanya tertulis “bahwa setiap orang tanpa hak mendistribusikan.....” yang diakhiri dengan ancaman hukuman pidana. Akibat multitafsir tersebut, diperlukannya penambahan kalimat setelah mendistribusikan dengan kalimat “untuk diketahui oleh umum”. Sehingga jika hanya dibagikan kepada yang bersangkutan dan untuk pembelaan diri maka tidak dapat dipidana menggunakan pasal ini.
Bagaimana Urgensi dari UU ITE?
Perubahan dan perkembangan teknologi kian melesat, bahkan tiap menitnya dalam jam dapat memunculkan ide-ide dan informasi-informasi terkini di seluruh penjuru dunia. Perubahan yang cepat tersebut membawa masyarakat awam harus berubah menikuti zaman dengan berbagai macam platform di media sosial. Oleh karena itu masyarakat dituntut untuk cerdas dalam menerima berita maupun mengolah informasi-informasi elektronik. Hal ini diperlukan karena sisi negatif media yang bertabur dalam menyampaikan informasi seperti hoax, fitnah, dan ujaran kebencian.
Untuk mengatur hal-hal yang berada dalam dunia fana manusia, diperlukan etika dalam bermedia sosial. Etika yang dimaksud ialah etika dalam berkomentar, menyebarkan informasi dan menerima informasi dari berbagai pihak di media.
Pembuatan UU ITE sejalan dengan maksud agar dapat terciptanya keamanan bagi pengguna media sosial. Keamaan ini dapat menghindari hal-hal yang berada diluar perkiraan seperti kejahatan elektronik, ujaran kebencian, pencemaran nama baik hingga penyebaran informasi pribadi ke publik tanpa seizin dari pemilik.
Undang-undang ini seakan-akan mengancam para pengguna elektronik dalam berperilaku dan beretika baik di media agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan. Pembuatan undang-undang ini pun hasil dari aspirasi masyarakat dan bentuk amanat yang diberikan masyarakat bagi penegak hukum.
Jika berbicara ham yang terkekang oleh UU ITE, maka perlu kita dalami kembali atau menelaah kembali maksud dari kebebasan ham itu sendiri. Seperti yang tertera dalam pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”
Jelas disebutkan bahwa Ham bukanlah membebaskan manusia sebebas-bebasnya hingga tidak tunduk pada aturan. Ham menjamin manusia agar memiliki kebebasan yang menurutnya baik dan orang lain baik serta negara berperan untuk mengatur batasan-batasan yang dimaksud tersebut.***
Anggun Istiqomah, Mahasiswa Hukum Fakultas Syariah UIN Kiai Haji Achmad Shiddiq
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H