Berdasarkan Gambar 4., terlihat bahwa pada 2022, mayoritas siswa di Korea Selatan mengalami kejahatan siber dalam bentuk pelecehan verbal (33.3%), disusul dengan pencemaran nama baik (16.1%), dan cyberstalking (7.7%) dalam tiga posisi teratas. Proses digitalisasi yang pesat menjadi momentum bagi oknum tertentu untuk saling menyerang dan merendahkan satu sama lain, tak terkecuali idola K-Pop yang juga menjadi sasaran. Selain itu, anak-anak muda juga tidak lepas dari bentuk pelecehan seksual secara online (6.1%), tidak terkecuali idola K-Pop.
Di dalam memproduksi lagu, bagian manajemen artis dari suatu agensi biasanya akan memilih lagu, koreografi, dan kostum yang akan digunakan oleh idolanya (Saeji, 2013). Tidak jarang, para stylist memberikan kostum yang terlalu mengekspos bagian tubuh para idola K-Pop, tak terkecuali mereka yang masih di bawah umur. Begitu pula dengan choreography mereka yang terkadang mengandung gerakan tidak senonoh. Contohnya saja, girl group Le Sserafim yang sering menuai kontroversi di kalangan penggemar K-Pop karena sering memasukkan gerakan seksi dan provokatif dalam choreography mereka -- twerking dalam "Fearless", crawling dalam "Unforgiven" -- meski salah satu anggotanya, Hong Eunchae, masih berada di bawah usia legal. Maraknya tren penggunaan underwear sebagai outfit luar, bahkan di kalangan idol K-Pop di bawah umur juga dikhawatirkan menjadi objektifikasi seksual oleh penggemarnya.
Alasan Anak-Anak Muda Korea Selatan ingin Debut sebagai Idola K-Pop
Idola K-Pop sejatinya merupakan produk budaya hasil dari sistem training perusahaan hiburan, di mana para anak muda dipilih melalui audisi, baik domestik maupun global, untuk kemudian diharuskan menjalani pelatihan menyanyi, menari, bahasa asing, pemodelan, hingga akting selama beberapa tahun (Lee & Zhang, 2020). Anak muda di Korea Selaatan sejatinya sangat menyadari fakta kelam industri K-Pop, ketatnya persaingan trainee di sana, serta berbagai risiko menjadi korban cyberbullying, online abusing, sexual harassment, cyberstalking, dan kejahatan lainnya (Saeji et al., 2020). Lalu, mengapa mereka tetap ingin menjadi seorang idola K-Pop?
Para idola K-Pop dikenal memiliki kemampuan serba bisa dan telah meraih kesuksesan di pasar domestik dan global belakangan ini -- sebut saja BTS, Stray Kids, EXO, BLACKPINK. Implikasinya, para idola K-Pop dipandang sebagai aset nasional yang berharga sehingga mengarah pada peningkatan jumlah anak muda yang ingin berkarir sebagai idola K-Pop. Berdasarkan laporan hasil survei Reuters (2015), sebanyak 21% penduduk pra -- remaja di Korea Selatan memilih idola K-Pop sebagai karir impian teratas mereka (Park, 2015). Bahkan, banyak yang rela mengeluarkan uang untuk mengikuti les vokal dan tari agar dapat meningkatkan peluang lolos audisi di agensi K-Pop ternama, seperti SM Ent., YG Ent., dan JYP Ent.
Asumsi lain yang dapat menjadi dasar dibalik kesediaan anak muda debut sebagai idola K-Pop di bawah umur, yaitu adanya kemungkinan menganggur di kemudian hari. Meski memiliki latar belakang pendidikan tinggi dan kemampuan yang mumpuni, banyak anak muda di Korea Selatan yang menganggur atau hanya menjadi pekerja tidak tetap saja (OECD, 2019). Hal ini disebabkan oleh rendahnya kesediaan untuk menempuh pendidikan sembari bekerja. Merujuk pada data OECD (2019), dari 8 pelajar Korea Selatan, kurang dari satu orang yang memutuskan untuk bekerja part-time. Selain itu, sebanyak 4,4% warga usia 15 -- 29 tahun di Korea Selatan juga cenderung memilih untuk mengambil pendidikan lanjutan, baik formal maupun informal, atau menghabiskan waktu yang lama guna mempersiapkan diri menghadapi seleksi rekrutmen kerja daripada bekerja dengan gaji rendah atau diterima di pasar tenaga kerja yang sangat tersegmentasi (OECD, 2019).
Pada Gambar 5., terlihat bahwa terdapat peningkatan angka pengangguran di kalangan kaum muda Korea Selatan, khususnya kategori NEET (Not in Employment, Education, or Training). Persentase tingkat pengangguran di kalangan kaum muda Korea Selatan, khususnya kategori NEET memang cenderung stabil di skala 10 % -- 13% selama 2011 -- 2021, tetapi menunjukkan peningkatan yang signifikan sejak 2015 dengan capaian tertinggi di tahun 2020 sebesar 13.31%. Hal ini juga sesuai dengan laporan OECD (2019) yang menyatakan bahwa lulusan sarjana di Korea Selatan memang cenderung menjadi seorang NEET daripada mereka yang tingkat pendidikannya lebih rendah, di mana angka NEET mencapai 18,4% pada 2017. Melalui analisis ini, dapat diasumsikan bahwa anak-anak muda di Korea Selatan mungkin berpikir dengan menjadi idola K-Pop, setidaknya mereka dapat menghasilkan uang dan terhindar dari risiko menjadi seorang pengangguran di usia muda.
Lee Seung Gi Crisis Prevention Act sebagai Bentuk Perlindungan
Pemerintah Korea Selatan telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk melindungi dan mencegah para idola K-Pop di bawah umur dari segala bentuk risiko eksploitasi oleh perusahaan hiburan yang menaungi mereka. Contohnya, berdasarkan laporan dari Yonhap News Agency pada 21 April 2023 lalu, Komite Budaya, Olahraga, dan Pariwisata Majelis Nasional Korea Selatan diwakili oleh Lim Jong-seong, salah satu anggota partai demokratis, telah mengajukan amandemen pada beberapa pasal dalam Popular Culture and Arts Industry Development Act yang sekaligus disahkan pada bulan itu (Pratiwi, 2023). Amandemen undang-undang yang juga dikenal sebagai Lee Seung-gi Crisis Prevention Act ini mengatur jam kerja maksimal para pekerja dari berbagai kelompok usia untuk mencegah terjadinya eksploitasi kontrak kerja, khususnya bagi pekerja berusia < 15 tahun. Langkah amandemen UU ini sendiri terinspirasi dari kasus Lee Seung-gi yang menandatangani "kontrak budak" dan tidak pernah dibayar oleh agensi lamanya, Hook Entertainment, atas produksi album dan musik digital selama 18 tahun berkarir sebagai seorang "penyanyi" (Susan-Han, 2023).
Dalam pengajuan amandemen UU tersebut, terjadi perubahan atas kebijakan batas waktu kerja maksimal para pekerja di industri hiburan, yang awalnya 35 jam/minggu (usia < 15 tahun) dan 40 jam/minggu (usia > 15 tahun) menjadi 25 jam/minggu (usia < 12 tahun), 30 jam/minggu (12 -- 15 tahun), dan 35 jam per minggu untuk pekerja berusia > 15 tahun (Malleck, 2023). Selain jam kerja, amandemen UU ini juga mengatur tentang: (1) perlindungan hak asasi pekerja hiburan atas pendidikan, kesehatan, dan keselamatan, terutama bagi para idola K-Pop di bawah umur, (2) kewajiban agensi hiburan untuk melaporkan pendapatan artisnya secara transparan minimal 1 tahun sekali guna mencegah risiko kerugian bagi sang artis akibat kontrak kerja yang eksploitatif, serta (3) kontrak kerja yang dibuat harus menyertakan detail ketentuan remunerasi dan pengeluaran (Malleck, 2023).
Adanya kebijakan yang baru ini tentu memberikan efek positif bagi industri K-Pop, khususnya terkait kesejahteraan fisik dan mental para pekerjanya. Kebijakan ini juga menjamin pemenuhan hak atas pendidikan para idola K-Pop, mengingat banyak idola K-Pop yang terpaksa berhenti sekolah karena jadwal latihan dan kerja mereka yang sangat padat -- sebut saja BLACKPINK's Rose, NCT's Doyoung, dan NCT's Jaemin. Meskipun demikian, lima asosiasi K-Pop, yaitu Korea Entertainment Producer's Association, Korea Music Content Association, Record Label Industry Association of Korea, Korea Management Federation, dan Recording Industry Association of Korea, merasa bahwa kebijakan tersebut akan menghambat kemajuan industri K-Pop. Mereka berpendapat bahwa pengurangan jam kerja para idola K-Pop di bawah umur berimplikasi terhadap latihan koreografi tanpa anggota underage karena limitasi waktu kerja sehingga aktivitas grup yang mengombinasikan anggota dari berbagai kalangan usia menjadi terbatas (Chahayani, 2023). Padahal, kesejahteraan para idola K-Pop merupakan kunci utama di dalam keberlangsungan grup itu sendiri di mana tindakan pemberian perlindungan bagi para pekerja di bawah umur, terutama idola K-Pop dalam konteks ini, merupakan tanggung jawab yang harus diemban oleh masyarakat, pemerintah, dan para pelaku industri hiburan.