Sebelum membahas lebih lanjut, perlu dipahami apa yang dimaksud dengan istilah pekerja anak. Menurut ILO (2011), pekerja anak merujuk pada bentuk pekerjaan yang dapat merugikan anak-anak secara mental, fisik, sosial, atau moral. Pekerjaan semacam ini juga dapat mengintervensi kegiatan sekolah mereka, baik dalam bentuk penghapusan kesempatan bersekolah, tuntutan untuk meninggalkan sekolah sebelum waktunya, dan keharusan untuk menggabungkan aktivitas sekolah dengan pekerjaan berat dalam waktu lama. Namun, makna dari istilah "pekerja anak" ini memiliki batas, di mana berbagai aktivitas atau pekerjaan yang melibatkan partisipasi anak-anak tidak dapat dikatakan sebagai bentuk child labor sepanjang hal itu tidak berpengaruh negatif terhadap kesehatan atau mengganggu sekolah mereka. Oleh karena itu, memahami definisi suatu pekerjaan dapat dikatakan sebagai child labor juga bergantung pada konteks dan peraturan di negara tersebut. Sebagai contoh, mempekerjakan seorang idola K-Pop di bawah umur mungkin tidak selalu dianggap sebagai bentuk child labor karena tergantung pada perlakuan dan tuntutan yang diberikan oleh agensi terhadap sang idola.
Mengapa Agensi Mendebutkan Idola K-Pop di Bawah Umur?
Dalam 8 tahun terakhir, pasar industri musik K-Pop telah mengalami peningkatan yang signifikan, bahkan terhitung pesat selama masa pandemi Covid -- 19, menjadikan Korea Selatan sebagai pasar musik ke -- 6 dengan tingkat pertumbuhan tercepat di dunia pada 2020 (J. Kim & Kwon, 2022).
Apabila dilakukan analisis pertumbuhan pasar dengan framework BCG Matrix, industri musik K-Pop generasi pertama (1992 -- 2004) masih berada di level "Dogs" pada tahun awal K-Pop mulai dirintis karena pangsa pasar dan pertumbuhan pasar yang masih rendah saat itu. Sementara itu, berdasarkan Gambar 2., terlihat bahwa terjadi pertumbuhan hasil penjualan industri musik yang stabil di generasi ketiga (2012 -- 2017) dan keempat (2018 -- sekarang) sehingga kedua generasi ini bisa dikatakan sudah berada di level "Stars". Tingkat pertumbuhan industri musik Korea Selatan sempat mengalami fluktuasi di mana terjadi penurunan drastis hasil penjualan industri musik (-11.01%) di tahun 2020 akibat pandemi Covid-19, kemudian meningkat pesat (54%) pada 2021 akibat kurangnya ruang gerak offline sejalan dengan kebijakan lockdown dan pembatasan sosial berskala besar di Korea Selatan.
Pada Gambar 2., nilai ekspor industri musik Korea Selatan dalam rentang waktu yang diamati (2014 -- 2022) juga mengalami pertumbuhan yang signifikan dengan capaian tertinggi 927,6 juta dolar AS. Adanya ledakan penjualan album di Korea Selatan, khususnya album K-Pop, dalam satu dekade terakhir menunjukkan terdapat tren peningkatan nilai pasar di tiap tahunnya sehingga permintaan pasar akan industri musik K-Pop pun naik. Hal ini dapat menjadi alasan dibalik perilaku agensi K-Pop mendebutkan idola K-Pop di bawah usia 15 tahun yang memang dirasa memiliki segudang bakat untuk menaikkan pamor dan pendapatan perusahaan.
Risiko Debut sebagai Idola K-Pop di Usia Muda
Menjadi seorang idola K-Pop berarti harus siap dengan segala tekanan dari agensi, mulai dari tingkat persaingan yang kompetitif, sistem pelatihan yang ketat, dan tekanan untuk selalu tampil sempurna (Mysyk, 2023). Tak jarang, tekanan dalam durasi kerja dan training atau keharusan diet untuk menjaga berat badan ideal mengakibatkan banyak idola K-Pop mengalami stress, depressive disorder, extreme anxiety disorder, hingga menurunnya kesehatan fisik dan mental yang berujung pada tindakan bunuh diri. Berdasarkan data OECD, Korea Selatan menduduki peringkat pertama dengan tingkat bunuh diri tertinggi pada 2013 -- 2016 dan 2018 -- 2020 dibandingkan dengan negara anggota OECD lainnya (L. Kim et al., 2023). Tingginya angka bunuh diri di Korea Selatan disebabkan oleh berbagai faktor, seperti terlihat pada Gambar 3.
Berdasarkan grafik pada Gambar 3., sebagian besar kasus bunuh diri di Korea Selatan pada 2021 disebabkan oleh buruknya kesehatan mental, di mana kaum wanita (57%) lebih berisiko mengalami penyakit mental dibandingkan kaum pria (32.1%). Selain itu, penduduk Korea Selatan dengan rentang usia 11 -- 20 tahun dan 21 -- 30 tahun juga cenderung memiliki tingkat kesehatan mental yang buruk, ditunjukkan dengan tingginya capaian angka bunuh diri masing-masing sebanyak 58.6% dan 54.4%. Hal ini menunjukkan bahwa buruknya kesehatan mental menjadi penyebab utama tingginya kasus bunuh diri di Korea Selatan.
Risiko lain yang dikhawatirkan menimpa idola K-Pop di bawah umur, yaitu cyber violence. Tidak jarang idola K-Pop menjadi korban cyberbullying atau bahkan mengalami bullying dari sesama anggota trainee/grup mereka sendiri. Contohnya, pada 2022, ramai kasus Kim Garam, mantan anggota Le Sserafim, yang diisukan pernah menjadi pelaku bullying terhadap teman SMP nya, Yoo Eun Seo. Implikasinya, Kim Garam mengalami cyberbullying oleh netizen Korea dan internasional, bahkan di kalangan fans Le Sserafim sendiri. Dilansir dari Naver (2022), meski terbukti tidak bersalah, Hybe Labels, agensi yang menaunginya, memutuskan kontrak kerja eksklusif dengan Garam setelah 2 minggu debut di Le Sserafim.