Mohon tunggu...
HIMIESPA FEB UGM
HIMIESPA FEB UGM Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (HIMIESPA) merupakan organisasi formal mahasiswa ilmu ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada DI Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menjaga Ketahanan Pangan Indonesia di Masa Pandemi Covid-19

22 November 2020   18:33 Diperbarui: 22 November 2020   22:04 798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Oleh: Fathi Syauqy Azzam, Ivana Sherly Ardhelia, Muhammad Naufal Fauzan, Nurhaliza Aziza | Publikasi ini merupakan esai pemenang Triponomics 2020

Latar Belakang

World Health Organization (WHO) mengumumkan pada tanggal 11 Maret 2020 bahwa wabah coronavirus (COVID-19) telah menjadi pandemi. Di Indonesia sendiri, pemerintah mengumumkan bahwa virus ini pertama kali terdeteksi pada tanggal 2 Maret 2020. Mengingat mudahnya penyebaran virus ini, pemerintah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di berbagai zona merah penyebaran COVID-19. Pembatasan tersebut memaksa setiap orang untuk berkegiatan di rumah masing-masing sehingga tingkat konsumsi masyarakat secara kolektif menjadi lesu.

Lesunya konsumsi masyarakat tersebut sangat berdampak pada perekonomian secara keseluruhan. Orang-orang memilih untuk menunda konsumsi terhadap barang-barang non pokok sebagai bentuk penghematan pengeluaran pada masa krisis. Namun, tentunya hal ini berbeda dengan permintaan akan pangan yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat. 

Kebutuhan akan pangan merupakan kegiatan yang tidak bisa ditunda, seperti halnya kebutuhan sekunder atau tersier. Sehingga, kemampuan ketahanan pangan selama masa krisis menjadi penting untuk diperhatikan dalam upaya menjaga kestabilan dan keamanan suatu negara yang sedang dilanda krisis seperti sekarang ini.

Mewabahnya COVID-19 ini juga sangat berdampak pada rantai pendistribusian pasokan pangan yang diakibatkan oleh pembatasan mobilitas. Kesulitan impor bahan pangan pada saat pandemi juga akan menambah runyam permasalahan mengingat Indonesia masih cukup tergantung dengan impor pasokan pangan. Jika tidak segera dilakukan pengadaan pasokan, tentu sisi penawaran yang tidak bisa mengimbangi sisi permintaan terhadap pangan sangat memungkinkan terjadinya kenaikan harga-harga komoditas pangan. 

Lebih parahnya, hal tersebut dapat menimbulkan kenaikan harga pada barang-barang komplementernya. Jika diperhatikan lebih jauh, mekanisme pengimporan yang terdapat aturan tarif dan Surat Pernyataan Impor (SPI) tentu agak menyulitkan pemasok mengimpor dari sumber yang lain. Masalahnya, ketersediaan dari sumber utama yang belum tentu menjamin adanya komoditas terkait, memaksa pemasok untuk membutuhkan sumber lain dan tentunya juga kemudahan dalam perizinan tersebut.

Perekonomian Indonesia Secara Umum di Kuartal II-2020

Pandemi COVID-19 seakan-akan telah membuat perekonomian Indonesia babak belur dihantamnya. Indonesia mengalami kontraksi ekonomi sebesar 5,32% (yoy) pada kuartal II-2020. Kontraksi tersebut merupakan kontraksi ekonomi pertama yang dialami Indonesia setelah terakhir kali mengalaminya pada kuartal I-1999. 

Kontraksi pertumbuhan dialami oleh banyak lapangan usaha, seperti transportasi dan pergudangan sebesar 30,84%, serta penyediaan akomodasi dan makan minum sebesar 22,02%. Industri Pengolahan yang memiliki peran dominan juga mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 6,19% (Katadata, 2020).

Tangguhnya Sektor Pertanian di Tengah Krisis

Di tengah banyaknya sektor yang terpukul, pertanian merupakan salah satu sektor penyusun Produk Domestik Bruto (PDB) yang tetap tumbuh positif. PDB sektor pertanian pada kuartal II-2020 tumbuh sebesar 2,19% secara tahunan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa penopang utama pertumbuhan PDB sektor pertanian kuartal sebelumnya berasal dari subsektor tanaman pangan. Subsektor tanaman ini tumbuh sebesar 9,23% secara tahunan, diikuti pertumbuhan sektor hortikultura sebesar 0,86% secara tahunan. 

Lalu, sektor tanaman perkebunan meningkat sebesar 0,17%, serta sektor peternakan dan jasa pertanian dan perburuan masing-masing sebesar minus 1,83% dan 2,36% (Katadata, 2020). Relative resilient-nya sektor pertanian juga dikonfirmasi oleh proyeksi dari the Economist Intelligence Unit (EIU) (2020) untuk perekonomian Indonesia edisi bulan April lalu. 

Sebagai dampak dari pandemi COVID-19, EIU merevisi pertumbuhan sektor manufaktur sebesar 3.0% menjadi -1.5% (terkoreksi -4.5%) dan sektor jasa sebesar 7.2% menjadi 2.4% (terkoreksi -4.8%), sedangkan pertumbuhan sektor pertanian hanya direvisi dari 4.1% menjadi 3.2% (-0.9%) (Yusuf et al., 2020). 

Jayanya sektor pertanian di tengah kelimbungan perekonomian tak lepas dari adanya faktor panen musiman. Pertumbuhan subsektor itu didukung oleh pergeseran musim panen padi yang terjadi pada bulan April berbeda dengan tahun 2018 dan 2019 yang berlangsung pada bulan Mei (Katadata, 2020). 

Tak terpengaruhnya sektor pertanian oleh krisis COVID-19 kembali memperlihatkan bahwa pertanian merupakan sektor penyangga (buffer sector) di tengah-tengah krisis (Yusuf et al., 2020). Hal ini tentunya mengulang pencapaian sektor pertanian pada krisis 1998 yang masih mampu tumbuh positif sekitar 0,26%. Padahal, pertumbuhan ekonomi nasional sedang ambruk hingga mencapai nilai minus (-13,10%) pada saat itu (Media Indonesia, 2019). Namun, tidak terpengaruhnya sektor pertanian secara umum bukan berarti menjamin ketahanan pangan Indonesia secara khusus akan baik-baik saja.

Ketersediaan Beras di Indonesia

Rantai pasokan dan produksi bahan pangan pada masa pandemi COVID-19 telah menjadi kekhawatiran kolektif bagi ketahanan pangan di dunia, termasuk Indonesia. Bagi Indonesia, pangan sering diidentikkan dengan beras karena jenis pangan ini merupakan makanan pokok. 

Pengalaman telah membuktikan bahwa gangguan pada ketahanan pangan, seperti meroketnya kenaikan harga beras pada waktu krisis ekonomi 1997/1998, yang berkembang menjadi krisis multidimensi, telah memicu kerawanan sosial yang membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas nasional (BULOG, 2014). Untuk kembali berkaca pada situasi saat ini, Indonesia bisa melihat bagaimana kemampuan cadangan beras hingga akhir tahun nanti. 

Berdasarkan catatan Kementan yang mengacu pada data BPS, konsumsi masyarakat tercatat sebesar 111 kilogram per kapita per tahun. Lantaran penduduk Indonesia berjumlah 267 juta jiwa, maka stok beras per bulan yang dibutuhkan negara mencapai 2,4-2,5 juta ton atau setara dengan 30 juta ton beras per tahun. 

Pada masa tanam pertama, yakni pada Januari hingga Juni 2020, gabah hasil produksi yang dihasilkan oleh lahan seluas 5,8 juta hektare tercatat sebanyak 29,02 juta. Adapun beras yang dihasilkan dari gabah itu mencapai 16,65 juta ton, sedangkan stok beras pada Desember 2019 terdata masih 5,94 juta ton. 

Dari total produksi beras ditambah sisa sebelumnya, total stok yang dimiliki negara selama semester pertama mencapai 22,29 juta ton. Adapun konsumsi per Januari hingga Juni ialah 15,10 juta ton. Bila dikurangi total konsumsi masyarakat, hingga Juni 2020, cadangan beras yang dimiliki Indonesia berjumlah 7,49 juta ton. Stok ini akan bertambah dari produksi beras yang dihasilkan pada masa tanam kedua. 

Pada periode Juli hingga Desember 2020, produksi beras yang akan dihasilkan petani Indonesia berkisar 12,5-15 juta ton. Beras dihasilkan dari 5,6 juta hektare lahan (Tempo, 2020). Dengan demikian, negara cukup optimistis tidak akan mengalami krisis beras pada tahun 2020 yang cukup berat ini.

Kebutuhan Pangan Indonesia yang Bergantung pada Impor

Untuk ketahanan beras, Indonesia memang masih bisa tersenyum optimis dalam melewati pandemi COVID-19 hingga akhir tahun nanti. Namun, bagaimana dengan jenis pangan yang lain? Indonesia tetap bergantung pada impor pangan. 

Pada tahun 2018, BPS mencatat salah satu impor bahan pangan terbesar periode Januari-November 2018 merupakan biji gandum dan meslin yang mencapai 9,2 juta ton, dan kemudian diikuti komoditas gula seberat 4,6 juta ton. 

Selain itu, diikuti juga oleh impor garam 2,5 juta ton, kedelai 2,4 juta ton, serta beras 2,2 juta ton (Katadata, 2019). Dikutip dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) (2020), pada tahun 2018, Indonesia merupakan net importir terhadap produk pangan senilai USD 576,18 juta. 

Adanya COVID-19 sendiri membuat Indonesia mengalami kesulitan impor. Impor sektor pertanian diprediksi akan menurun sebesar 17,11%, sementara harga impor pertanian diprediksi akan meningkat sebesar 1,20% dan 2,42% pada tahun 2020 dan 2022. Dengan berkurangnya pasokan domestik dan impor, kelangkaan pangan dan inflasi harga pangan dimungkinkan akan terjadi.

Kesulitan Impor Pangan yang Berimbas pada Harga Barang Pangan

Adanya pembatasan sosial di sejumlah daerah dapat menimbulkan disrupsi pada rantai pasokan pangan dari produsen ke konsumen. Gangguan tersebut berimbas pada kenaikan harga-harga barang pangan secara signifikan karena permintaannya yang inelastis. Kenaikan harga secara signifikan terjadi untuk komoditas pangan yang perlu diimpor. 

Dari Desember 2019 hingga pertengahan April 2020, harga gula meningkat hingga 32,97% menjadi Rp18.350,00 per kilogram, bawang putih meningkat sebanyak 35,64% menjadi Rp43.200,00 per kilogram, sementara harga daging sapi tetap tinggi di angka Rp117.750,00 per kilogram (CIPS, 2020). Dengan melihat hal tersebut, tentunya pemerintah harus melakukan upaya-upaya yang bisa menjaga stabilitas pangan, mengingat kita masih cukup bergantung pada pasokan impor untuk mayoritas komoditas pangan.

Saran Kebijakan

Kebijakan yang ditujukan pada pengamanan komoditas pangan dengan harga terjangkau dalam kondisi darurat pandemi COVID-19 telah disarankan oleh Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) sebagai berikut:

  1. Indonesia harus mempertimbangkan eliminasi tarif impor pangan untuk memaksimalkan kesejahteraan ekonomi masyarakat.

  2. Untuk mempercepat proses impor dan mengizinkan importir untuk segera mendapatkan komoditas pangan dalam rangka antisipasi kenaikan harga, Kementerian Perdagangan sebaiknya menghapus SPI dan persyaratan kuota untuk komoditas pokok seperti daging sapi dan gula. Importir mana pun dengan Angka Pengenal Importir (API) seharusnya diizinkan bertindak secepatnya.

  3. Kementerian Perdagangan dan Kementerian Luar Negeri perlu menggunakan segala perangkat diplomasi ekonomi yang cocok untuk memastikan negara-negara pengekspor tetap membuka perdagangan mereka.

  4. Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pertanian, perlu memberikan dukungan ekstra untuk menjaga rantai pasokan pertanian tetap berjalan dengan menyediakan upaya proteksi kesehatan di pelabuhan, kantor bea dan cukai, karantina, fasilitas pemrosesan, dan fasilitas penyimpanan dengan pendingin.

Kesimpulan

Pagebluk COVID-19 memang telah menggebuk perekonomian Indonesia dari berbagai sisi. Kontraksi ekonomi yang tidak pernah kita rasakan sejak tahun 1999 akhirnya kembali terjadi di tahun ini. Di tengah kondisi seperti krisis sekarang ini, pertanian berhasil menjadi sektor yang menyangga perekonomian Indonesia ditandai dengan positifnya pertumbuhan PDB-nya. Namun, kondisi yang gemilang ini tak bisa menyangkal kita jika masih terdapat permasalahan di dalamnya. 

Permasalahan dan tantangan terkait kebutuhan pangan yang merupakan hal esensial bagi setiap orang tidak menjadi rampung begitu saja selama pandemi kali ini. Kebutuhan pangan kita yang selama ini ditopang oleh impor sangat perlu perhatian pemerintah untuk menghindari kelangkaan pangan di saat kondisi negara yang sedang sulit untuk mengimpor barang seperti sekarang ini. 

Oleh karenanya, kebijakan yang mempermudah impor sangat perlu diterapkan oleh pemerintah dalam kondisi darurat saat ini, agar masyarakat tetap bisa mendapatkan kebutuhan pangannya dengan harga yang terjangkau.

Disclaimer: Publikasi ini merupakan karya mahasiswa-mahasiswa baru, yang merupakan esai pemenang dalam program kerja Triponomics 2020. Pendapat yang dikemukakan dalam esai ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan sikap resmi Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (HIMIESPA) FEB UGM.

DAFTAR PUSTAKA

BULOG. (2014). Perum BULOG - Pengertian Ketahanan Pangan. Bulog.co.id.

Center for Indonesian Policy Studies. (2020). [Ringkasan Kebijakan] Kebijakan Perdagangan Pangan Indonesia saat Covid-19. Cips-indonesia.org.

Katadata. (2019). Cek Data: Indonesia Impor Komoditas Pangan? | Databoks. Databoks.katadata.co.id.

Katadata. (2020). Pertumbuhan PDB Pertanian Dinilai Dampak Faktor Musiman - Industri. Katadata.co.id.

Media Indonesia. (2019). Pertanian Meredam Krisis. Media Indonesia.

Tempo. (2020). Musim Tanam II Segera Dimulai, Mentan Yakin Stok Beras 15 Juta Ton Tercapai.

Yusuf, A., Suganda, T., Hermanto, Mansur, F., & Hadisoemarto, P. (2020). Strategi Ekonomi Sektor Pertanian di Tengah Pandemi Covid-19. Diakses 10 Oktober 2020, dari sdgcenter.unpad.ac.id.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun