Mohon tunggu...
HIMIESPA FEB UGM
HIMIESPA FEB UGM Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (HIMIESPA) merupakan organisasi formal mahasiswa ilmu ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada DI Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Human Capital: The Missing Piece of The Puzzle

12 Agustus 2019   19:03 Diperbarui: 12 Agustus 2019   19:23 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok. Steering CommitteeFSDE 2019

Oleh: Steering Committee FSDE 2019

Eureka! Tahun ini pertumbuhan ekonomi tercatat meningkat. Miris! Tahun ini pertumbuhan ekonomi melambat. Dua kalimat tersebut kerap menjadi perbincangan atau berita utama pada kolom-kolom bertopik ekonomi. 

Sepenting apapun persoalan yang dibahas, pertumbuhan ekonomi yang diperbincangkan selalu merujuk pada pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) jangka pendek. 

Kinerja pemerintah pun dijadikan anekdot untuk membumbui narasi kegembiraan atau kesengsaraan rakyat. Dapat kah indikator pertumbuhan PDB dijadikan rujukan untuk menggambarkan kondisi perekonomian suatu negara? Jawabannya adalah iya, hanya saja tidak sempurna. Untuk sekarang, indikator tersebut merupakan alat terbaik yang dapat digunakan. 

Sayangnya, indikator pertumbuhan PDB juga dapat digunakan sebagai alat politik oleh petahana untuk mempertahankan suaranya maupun oposisi untuk mengkritik. 

Pada tahun 1975, melalui tulisannya yang berjudul Political Business Cycle, William Nordhaus menyimpulkan bahwa terdapat pola penghematan pada awal masa suatu pemerintahan dan kecenderungan bersifat murah hati mendekati masa pemilu. Ini tidak terlepas dari peran pemerintah yang berwenang atas kebijakan investasi publik. 

Tentunya, pola semacam itu menguntungkan petahana dalam mempertahankan suaranya. Mendekati masa pemilu, petahana mampu meningkatkan pengeluaran pemerintah sehingga indikator PDB dapat tumbuh positif. 

Sejatinya, tanpa adanya intervensi politik pun PDB akan berfluktuasi dari tahun ke tahun. Apabila terjadi resesi misalnya, indikator PDB akan tumbuh negatif dan dapat digunakan oleh oposisi untuk mengkritik petahana.

Upaya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi memang layak untuk didiskusikan. Akan tetapi, strategi untuk mempertahankan pertumbuhan yang berkelanjutan perlu diberikan perhatian yang lebih. 

Dalam jangka panjang, bahkan perbedaan tingkat pertumbuhan yang kecil mempengaruhi perubahan standar hidup secara signifikan (Hubbard, 2015). 

Di sisi lain, tanpa adanya kendali, pertumbuhan ekonomi setinggi apapun hanya akan mendatangkan malapetaka karena perekonomian dapat mengalami kepanasan. 

Situasi ini terjadi apabila permintaan total mengalami peningkatan yang signifikan melebihi penawaran. Atau, dengan kata lain, perekonomian beroperasi melebihi kapasitas produktif potensialnya yang ditandai dengan peningkatan upah dan inflasi (The Parliamentary Budget Office of House of the Oireachtas, 2019). 

Perekonomian yang mengalami kepanasan perlu dihindari karena dapat mengurangi daya saing produk domestik di kancah internasional serta pada akhirnya pertumbuhan menjadi tidak berkelanjutan dan berdampak pada resesi di kemudian hari. 

Lantas, bagaimana cara untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan? Penelitian-penelitian terkini banyak menggunakan model pertumbuhan endogen untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, khususnya pertumbuhan PDB atau Produk Nasional Bruto (PNB) per kapita (Cyrenne dan Pandey 2015; Ghosh dan Gregoriou 2008; Petrakos et al. 2007). 

Model ini menjelaskan bahwa kebijakan pemerintah yang menstimulus akumulasi input atau faktor produksi berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi (Chu et. al.,  2018). 

Hubbard (2014) secara sepsifik menjelaskan bahwa akumulasi kapital dan perubahan teknologi merupakan dua faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. 

Hubbard pun menekankan bahwa perubahan teknologi merupakan faktor terpenting dalam mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan. 

Hal ini disebabkan karena akumulasi kapital yang berlebihan berdampak pada pertambahan hasil yang semakin berkurang. Lantas, untuk mencegahnya dibutuhkan perubahan teknologi.

Perubahan teknologi sering diasosiasikan sebagai teknologi berwujud benda seperti mikrocip dan komputer, atau semi benda sepert Internet-of-Things (IoT) dan kecerdasan buatan. 

Tidak salah, memang, hanya saja kurang tepat. Hubbard (2014) mendefinisikan perubahan teknologi sebagai perubahan output yang dapat dihasilkan menggunakan sejumlah input yang tersedia. 

Lebih lanjut, dijelaskan bahwa perubahan teknologi bersumber dari tiga hal: peralatan dan mesin yang lebih baik, peningkatan kapital manusia, dan cara mengorganisir serta mengelola produksi yang lebih baik. 

Agaknya kapital manusia kini kurang menjadi sorotan terutama di tengah gencarnya perubahan teknologi berbau 4.0. Padahal, peningkatan kapital manusia tidak kalah penting dalam mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Fedderke (2005) mengemukakan bahwa kapital manusia memungkinkan adanya perkembangan teknologi serta menyerap kemajuan teknologi yang ada di wilayah lain. Selain itu, karena kapital manusia terdiri dari pengetahuan dan keahlian, kemajuan di bidang teknologi dan sains bergantung pada akumulasi kapital manusia (Abbas, 2001). 

Istilah awal kapital manusia dapat ditelusuri pada karya Adam Smith pada abad 18 yang menekankan pentingnya kemampuan berguna yang dimiliki seluruh anggota masyarakat. 

Hubbard (2014) secara s mendefinisikan kapital manusia sebagai akumulasi keahlian dan pengetahuan yang diperoleh dari edukasi, pelatihan, atau pengalaman. 

Melengkapi definisi tersebut, OECD (2001) menjabarkan kapital manusia menjadi empat hal: pengetahuan, keahlian, kompetensi, dan atribut yang tertanam dalam diri individu dan memfasilitasi penciptaan kesejahteraan personal, sosial, serta ekonomi.

Human Capital Index (HCI), yang disusun oleh World Bank, merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur secara kuantitatif kapital manusia. 

Secara spesifik, ekspektasi kapital manusia yang akan diperoleh anak ketika berumur 18 tahun, dengan menimbang risiko kesehatan buruk dan pendidikan buruk di negara anak tersebut tinggal. 

Data yang dirilis oleh World Bank pada tahun 2018 menunjukkan bahwa Singapura merupakan negara dengan nilai HCI tertinggi---sebesar 0,88---dibanding 158 negara lain. 

Sebaliknya, Chad memiliki nilai HCI terendah, yaitu sebesar 0,29. Sementara itu, Indonesia dengan nilai HCI sebesar 0,52 menempati posisi 88 dari 158 negara. 

Angka tersebut menunjukkan bahwa dengan kondisi pendidikan dan kesehatan Indonesia terkini, anak terlahir sekarang hanya akan 0,52 atau setengah produktif dari tolak ukur di mana Indonesia memiliki kualitas pendidikan dan kesehatan yang optimal.

diolah dari world bank 2018
diolah dari world bank 2018
diolah dari world bank 2018
diolah dari world bank 2018
Shao dan Yang (2014) menyusun sebuah model konseptual untuk menjelaskan mekanisme bekerjanya perekonomian yang didasarkan pada akumulasi kapital manusia. Model ini diilustrasikan pada Gambar 1 di bawah.

Shao dan Yang (2014)
Shao dan Yang (2014)
Akumulasi kapital manusia—dari berkeahlian rendah menjadi berkeahlian tinggi—merupakan hasil investasi dalam bentuk pendidikan. 

Peningkatan hasil investasi pendidikan akan mendorong pertumbuhan ekonomi baik secara langsung— meningkatkan output dengan menstimulus rumah tangga untuk meningkatkan intensitas tenaga kerja—maupun secara tidak langsung—meningkatkan permintaan akan pendidikan untuk meningkatkan akumulasi kapital manusia. 

Imbasnya, pertumbuhan ekonomi dapat meningkatkan hasil investasi pendidikan dan kemudian meningkatkan permintaan akan pendidikan yang pada akhirnya kembali meningkatkan pertumbuhan, begitu seterusnya sehingga membentuk sebuah siklus pertumbuhan berkelanjutan. 

Dalam proses transmisi ini, pemerintah memiliki peran penting. Ini tidak terlepas dari pendidikan yang merupakan barang publik. Dalam model ini setidaknya terdapat tiga peran pemerintah. Pertama, pemerintah berperan untuk meningkatkan kesempatan dalam memperoleh pendidikan. 

Menurut Shao dan Yang (2014), kesempatan pemerolehan pendidikan yang semakin tinggi melalui kebijakan seperti penambahan sumber daya guru, institusi pendidikan formal dan peningkatan alokasi dana pendidikan dapat mendorong hasrat rumah tangga untuk memperoleh pendidikan, terutama rumah tangga berpendapatan rendah.

Kedua, pemerintah berperan meningkatkan kualitas pendidikan. Semakin masyarakat merasakan bahwa pengetahuan dan keahliannya meningkat secara signifikan setelah mengikuti pendidikan, semakin tinggi pula permintaan akan pendidikan karena dianggap sebagai investasi yang berharga The Program for International Student Assessment (PISA) merupakan lembaga internasional yang secara berkala menilai kualitas pendidikan di berbagai negara dengan tiga komponen: literasi sains, literasi membaca, dan literasi matematika (OECD, 2016). 

Gambar 2 di bawah menunjukkan rata-rata skor literasi membaca, literasi matematika, dan literasi sains anak berusia 15 tahun pada tahun 2015 secara berurutan. Ketiga gambar tersebut menunjukkan bahwa untuk seluruh indikator, Indonesia memiliki skor dibawah 450. 

Bahkan, untuk skor literasi membaca dan literasi matematika berada di bawah 400. Jika dibandingkan, negara peer seperti Malaysia memliki skor di atas 400 untuk seluruh indikator. 

Meskipun begitu, Indonesia menempati posisi keempat sebagai negara yang mengalami peningkatan pencapaian pendidikan murid dibanding hasil survei PISA pada tahun 2012 (Kemendikbud, 2016).

OECD (2015)
OECD (2015)
Terakhir, pemerintah berperan meningkatkan permintaan akan tenaga kerja berkeahlian tinggi. Kendati kesempatan dalam memperoleh pendidikan serta kualitas pendidikan yang mumpuni, kurangnya permintaan akan tenaga kerja berkeahlian tinggi dapat menimbulkan fenomena “sarjana pengangguran” (Shao dan Yang, 2014). 

Dampaknya, hasrat masyarakat untuk memperoleh pendidikan tinggi akan berkurang sehingga sirkulasi pertumbuhan berkelanjutan dalam model ini dapat gagal terbentuk.

Kesimpulannya, kualitas kapital manusia merupakan komponen yang penting untuk mencapai pertumbuhan berkelanjutan. Tanpa adanya kualitas kapital manusia yang mumpuni, pertumbuhan ekonomi dapat diibaratkan sebagai puzzle yang belum selesai. 

Memang, teknologi 4.0 yang kini marak diperbincangkan merupakan terobosan bagi produktifitas dan pertumbuhan ekonomi. Namun, tanpa adanya keahlian dan pengerahuan yang cukup, bagaimana manusia dapat mengutilisasinya secara optimal?

Referensi:

  1. Abbas, Q. (2001). Endogenous Growth and Human Capital: A Comparative Study of Pakistan and Sri Lanka. The Pakistan Development Review, 40(4II), 987-1007. doi: 10.30541/v40i4iipp.987-1007
  2. Chu, T., Hölscher, J., & McCarthy, D. (2018). The impact of productive and non-productive government expenditure on economic growth: an empirical analysis in high-income versus low- to middle-income economies. Empirical Economics. doi: 10.1007/s00181-018-1616-3
  3. Cyrenne P, Pandey M (2015) Fiscal equalization, government expenditures and endogenous growth. Int Tax Public Finance 22:311–329
  4. Fedderke, J. (2005). Technology, Human Capital and Growth. Retrieved from https://econrsa.org/system/files/publications/working_papers/wp27.pdf
  5. Ghosh S, Gregoriou A (2008) The composition of government spending and growth: is current or capital spending better? Oxf Econ Pap 60(3):484–516
  6. Hubbard, R., & O'Brien, A. (2015). Economics (5th ed.).
  7. Kemendikbud. (2016). Peringkat dan Capaian PISA Indonesia Mengalami Peningkatan. Retrieved 12 August 2019, from https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2016/12/peringkat-dan-capaian-pisa-indonesia-mengalami-peningkatan
  8. OECD. (2001). The Well-being of Nations The Role of Human Capital and Social Capital. Retrieved from http://www.oecd.org/site/worldforum/33703702.pdf
  9. OECD. (2016). PISA 2015 Results (Volume II). PISA. doi: 10.1787/9789264267510-en
  10. Petrakos G, Arvanitidis P, Pavleas S (2007) Determinants of economic growth: the experts’ view. Discus Pap Ser 13(10):245–276
  11. Roser, M., Nagdy, M., & Ortiz-Ospina, E. (2019). Quality of Education. Retrieved 12 August 2019, from https://ourworldindata.org/quality-of-education
  12. Shao, S., & Yang, L. (2014). Natural resource dependence, human capital accumulation, and economic growth: A combined explanation for the resource curse and the resource blessing. Energy Policy, 74, 632-642. doi: 10.1016/j.enpol.2014.07.007
  13. The Parliamentary Budget Office of House of the Oireachtas. (2019). A Primer on Economic Overheating: Parliamentary Budget Offi What it means and how to measure it. Retrieved from https://data.oireachtas.ie/ie/oireachtas/parliamentaryBudgetOffice/2019/2019-01-17_a-primer-on-economic-overheating_en.pdf
  14. World Bank. (2018). Human Capital Index (HCI). Retrieved 12 August 2019, from https://datacatalog.worldbank.org/dataset/human-capital-index

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun