Mohon tunggu...
HIMIESPA FEB UGM
HIMIESPA FEB UGM Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (HIMIESPA) merupakan organisasi formal mahasiswa ilmu ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada DI Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money

Krisis Tete-A-Tete

1 Juni 2019   18:09 Diperbarui: 1 Juni 2019   18:35 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Kezia Aquiletta (Ilmu Ekonomi 2018), Staf Departemen Kajian dan Penelitian Himiespa FEB UGM

Tete-a-tete didefinisikan sebagai percakapan informal antara dua individu yang bersifat pribadi. Mengapa dikatakan terjadi krisis? Lihatlah sekelilingmu. Kebanyakan informasi yang disebarluaskan saat ini bersifat cukup personal, contohnya fluktuasi emosi. 

Tidak hanya itu, beberapa inovasi teknologi akhir-akhir ini menghapus esensi dari kegiatan "berbincang". Baik perbincangan secara langsung maupun tidak langsung, seperti chatting melalui platforms media sosial. Hal-hal yang umum dibicarakan antarindividu adalah pertanyaan-pertanyaan 5W+1H: apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana. 

Dewasa ini, mayoritas dari pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak perlu lagi dijawab oleh narasumber, tetapi sudah terjawab melalui inovasi-inovasi teknologi tersebut. 

Contohnya, ketika ingin menanyakan lawan bicara mengenai apa yang sedang mereka lakukan atau di mana mereka berada, kita bisa dengan mudah membuka update media sosialnya tanpa harus melontarkan pertanyaan tersebut secara langsung. Lantas, masih perlukah komunikasi secara tatap muka diadakan antarmanusia?

Dalam Theory of Good Old Chicago School Economics McCloskey, dijelaskan bahwa untuk teori-teori ekonomi secara umum dapat bekerja, dibutuhkan kondisi di mana seluruh interaksi manusia ditentukan oleh mekanisme pasar (Emmett, 2012: p.783) sehingga percakapan-percakapan antarmanusia seolah-olah tidak dibutuhkan. 

Knight (1999) pun mendukung hal tersebut dengan pernyataannya bahwa agen-agen ekonomi (The Economic Man) tidak terlalu menggubris interaksi-interaksi antarmanusia serta menggantungkan seluruh hasil kegiatan yang dilakukan pada keberlangsungan hukum pasar. Selain McCloskey dan Knight, Adam Smith dan Elinor Ostrom pun membahas esensi "berbicara" dalam ekonomi (Emmett, 2012: p.784). Tulisan ini akan berfokus pada argumen Adam Smith yang dikemukakannya dalam Theory of Moral Sentiments.

Moralitas dan Makna Sentimennya

Setelah mengetahui pendapat-pendapat tersebut, bayangkan jika kehidupan berkeluarga tidak diisi dengan percakapan. Mari kita mulai dari hal-hal yang familiar dalam kehidupan sehari-hari: ayahmu tidak perlu menanyakan pukul berapa beliau perlu mengantarmu ke sekolah. Baik, mungkin jadwal tetap harian setiap anggota keluarga sudah diketahui (kemungkinan besar ditempel di pintu kulkas).

 Akan tetapi, bagaimana jika suatu saat daerah sekolahmu dilanda banjir dan kegiatan belajar mengajar terpaksa ditiadakan hanya untuk hari itu saja. Kamu sudah mengetahui hal tersebut dari malam sebelumnya oleh karena hujan yang berlangsung semalaman dan teman-temanmu telah mengunggah status yang mencerminkan kegirangan mereka akan situasi terkini sekolah yang kebanjiran sehingga sekolah secara otomatis ditiadakan. 

Bagaimana dengan ayahmu? Tanpa memberitahunya, ayahmu akan tetap bangun pagi untuk mengantarmu ke sekolah. Tanpa mengabarkannya, ayahmu akan menunggumu keluar dari kamar, sedangkan kamu sedang menikmati waktu tidur tambahan. Tanpa menyampaikannya, ayahmu berpotensi terlambat berangkat ke kantor karena terlalu lama menghabiskan waktu untuk menunggumu bangun tidur. Menyedihkan, betul? 

Tentunya manusia tidak membicarakan hal-hal remeh saja, tetapi juga hal-hal paling krusial dalam hidup. Namun, hal apa yang sebenarnya paling umum dibicarakan? Menurut Emmett (2012), jawabannya adalah preferensi dan nilai-nilai. Sekilas, kedua hal tersebut tampak seperti topik yang remeh dan seringkali dapat dipahami tanpa berkomunikasi secara langsung. Ekonom-ekonom pun menerima preferensi (selera) apa adanya: de gustibus non est disputandum (Emmett, 2012: 784). Namun, dalam Theory of Moral Sentiments, dapat dipahami bahwa kehidupan tidak dapat terlepas dari moralitas yang melekat pada diri manusia sebagai makhluk sosial sehingga perbincangan-perbincangan yang dapat melatih aspek tersebut patut dilaksanakan. 

Salah satu contoh dari pengembangan moralitas melalui perbincangan adalah praktik counseling. American Counseling Association (2014) menyatakan bahwa konseling adalah hubungan profesional yang menguatkan beragam individu, keluarga, dan kelompok dalam mencapai kesehatan rohani, kemajuan pendidikan, dan sasaran karier. Praktik tersebut dapat menjadi contoh yang baik dari segi metode yang digunakan; yakni wawancara klinis, termasuk pengumpulan sejarah dan interaksi dengan klien (Journal of Counseling & Development, 2011). Pernyataan-pernyataan tersebut membuktikan bahwa dalam counseling, komunikasi menjadi hal yang esensial guna mencapai tujuan. 

Selanjutnya, Adam Smith menyatakan bahwa manusia bermoral akan memperoleh kebahagiaan maupun kesedihan ketika manusia lain turut merasakannya (walaupun tidak dalam tolak ukur yang sama). Hal tersebut berhubungan dengan sifat simpati dan empati yang secara alami dimiliki oleh masing-masing individu. Oleh karena itu, saat seseorang membicarakan preferensi-preferensi dan nilai-nilai yang ia miliki, yang akan terjadi berikutnya adalah keinginan untuk terhubung secara otomatis yang disebut simpati. 

Tentu, kemampuan bersimpati manusia berjangkau sangat luas: beberapa dapat bersimpati dengan sangat baik, dan beberapa tidak. Namun, argumen Smith mengenai hati nurani seseorang menyatakan bahwa semua orang pada dasarnya memiliki kemampuan tersebut. Smith mengutarakan bahwa seorang impartial spectator (seseorang yang tidak memiliki kepentingan atau ketertarikan dalam sebuah perbincangan, tetapi tetap mendengarkan dan menilainya) berlaku bagi orang lain dan diri kita sendiri. Impartial spectator pun tidak akan segera "menghukum" orang yang melawan keadilan dalam masyarakat, tetapi ia pertama-tama akan mengkritik perilaku orang tersebut (termasuk dirinya sendiri) melalui self-criticism dan hati nurani yang dimilikinya. 

Argumen terakhir Smith dalam Theory of Moral Sentiments berkaitan dengan hal kebajikan. Smith mendefinisikan seseorang yang berbudi merupakan personifikasi dari kebijaksanaan, keadilan, dan kebajikan itu sendiri. Sebagai tolak ukur definisi tersebut, menurut Smith, kebajikan dapat mengembangkan kehidupan sosial melalui himbauan bagi manusia untuk menimbulkan kebahagiaan dalam orang lain. Argumen-argumen Smith berkaitan dalam hal bahwa melalui moralitas (secara khusus empati), kebajikan pun dapat membawa keuntungan yang cukup signifikan bagi seseorang.

Laura Vanderkam, dalam The Science of When You Need In-Person Communication, mengaplikasikan kebutuhan akan komunikasi langsung di lingkungan pekerjaan. Vanderkam menyatakan bahwa sentuhan yang dilaksanakan dalam komunikasi secara langsung membangun sejenis rasa kepercayaan antara pihak-pihak yang terkait. 

Semisal, sebuah eksperimen oleh empat orang peneliti dari University of Chicago dan Harvard University, Jane Schroeder dkk., berjudul "Handshaking Promotes Cooperative Dealmaking" menemukan bahwa jabatan tangan (sebuah bentuk sentuhan) memengaruhi proses negosiasi dengan membuatnya lebih kooperatif. 

Hasil eksperimen menunjukkan bahwa dua orang yang bersalaman sebelum bernegosiasi cenderung lebih terbuka dan jujur sehingga konsensus yang tercapai merupakan persetujuan total yang lebih mewakili kepentingan setiap pihak. Oleh karena itu, pelaksanaan wawancara pekerjaan disarankan diawali dengan jabatan tangan agar terbentuk kepercayaan yang akan melancarkan alur wawancara. 

Poin menarik yang juga diutarakan Vanderkam adalah bahwa komunikasi secara langsung memampukan seseorang untuk "mencerminkan" emosi dan meningkatkan kemampuan untuk memperhatikan orang lain. 

Kedua poin tersebut sangat terkait erat dengan Theory of Moral Sentiments sebab pencerminan emosi merupakan pondasi dari simpati (empati) dan pemberian perhatian lebih terhadap orang lain meningkatkan kemampuan tersebut. Gagasan "pencerminan" emosi tersebut diusulkan oleh Giacomo Rizzolatti, seorang ilmuwan neurologi, yang disebut dengan mirror neurons: sebuah kelas sel-sel otak yang membuat seseorang melaksanakan hal yang sama atau serupa ketika ia mengamati individu lain melakukan hal tersebut (Acharya dan Shukla, 2012). 

Tidak hanya itu, Vanderkam mengutip Mary Beth McEuen dan Christine Duffy yang mengatakan bahwa kita dapat meletakkan perhatian lebih kepada seseorang karena otak kita dibangunkan oleh pengalaman-pengalaman dan situasi-situasi baru sehingga kita dapat menelisik sesuatu dari perspektif yang baru pula. 

Kebahagiaan Melalui Berelasi

Kumpulan teori dan argumen yang telah dijelaskan di atas mempromosi kebutuhan komunikasi langsung. Tentu, penggunaan teknologi sampai titik optimum merupakan hak prerogatif setiap individu, namun alangkah baiknya jika penggunaan tersebut tidak mengeliminasi komunikasi langsung yang merupakan sarana manusia untuk berkoneksi. 

Koneksi yang terjadi antara jiwa-jiwa individu merupakan hasil dari proses bersimpati yang digagaskan oleh Adam Smith. Melalui moralitas yang sesungguhnya membedakan kita dari benda-benda mati, perasaan-perasaan yang ditransfer antara satu dan yang lain membuat kita merasa berharga, istimewa, dan layak. Tidakkah Anda ingin merasakannya?

"What happens when people open their hearts?" 

"They get better."

  • Haruki Murakami, Norwegian Wood

Referensi

Acharya, S., & Shukla, S. (2012). Mirror Neurons: Enigma of the Metaphysical Modular Brain. Journal of Natural Science, Biology, and Medicine, 3(2), 118--124. 

American Counseling Association. 2014. ACA Code of Ethics. American Counseling Association. 

Butler, Eamonn. 2011. The Condensed Wealth of Nations and The Incredibly Condensed Theory of Moral Sentiments. Adam Smith Research Trust, England.

Duffy, C., & McEuen, M. B. (2010). The Future of Meetings: The Case for Face-to-Face [Electronic article]. Cornell Hospitality Industry Perspectives, 1(6), 6-13.

Emmett, Ross B. 2012. Of Talk, Economics, Love and Innovation. James Madison College, Michigan, 783-786. 

Erford, B. T. et al. 2011. Journal of Counseling & Development Publication Patterns: Author and Article Characteristics from 1994 to 2009. Journal of Counseling & Development, 89(1), 73-80. 

Knight, F. H. 1999. Ethics and Economic Reform. In: Emmett, R.B. (Ed.), Selected Essays by Frank H. Knight. Laissez-Faire: Pro and Con, vol. 2. University of Chicago Press, Chicago, IL, 1--75.

Schroeder, Juliana et al. 2014. Handshaking Promotes Cooperative Dealmaking. 

Vanderkam, Laura. 2014. The Science of When You Need In-Person Communication. Fast Company. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun