Mohon tunggu...
HIMIESPA FEB UGM
HIMIESPA FEB UGM Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (HIMIESPA) merupakan organisasi formal mahasiswa ilmu ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada DI Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Financial

Pelemahan atau Krisis Rupiah? Refleksi 20 Tahun Pascakrisis Finansial Asia

14 September 2018   15:37 Diperbarui: 15 September 2018   12:15 2183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Oleh: Muhammad Faisal Abda'oe, Ilmu Ekonomi 2016, Wakil Kepala Departemen Kajian dan Penelitian Himiespa FEB UGM 2018

Oleh: Muhammad Faisal Abda'oe, Ilmu Ekonomi 2016, Wakil Kepala Departemen Kajian dan Penelitian Himiespa FEB UGM 2018

Bersama dengan dituliskannya artikel ini, isu perihal pelemahan rupiah yang memiliki multitafsir terkait penyebab dan asal-muasalnya terus bermunculan baik di sosial media maupun berita-berita nasional. Penulis sempat bersikap acuh dan tidak memiliki keterkaitan serius dikarenakan dipertemukan dengan berbagai kendala khususnya waktu dan kesibukan. Hingga pada akhirnya penulis memiliki titik puncak akan kejenuhan dan muak melihat berbagai simpang-siur terkait opini pelemahan rupiah yang tidak memiliki dasar (teori).

Artikel ini penulis kemas dengan struktur komprehensif dan informatif. Penulis juga menyertakan beberapa referensi terkait teori-teori dan istilah-istilah yang tidak dijelaskan secara tuntas untuk mempersingkat alur penjelasan artikel ini.

Krisis dan Pelemahan Rupiah

Dimulai dengan memahami krisis dan pelemahan rupiah, penulis mencoba untuk menyadarkan pembaca bahwa kedua terminologi tersebut memiliki arah yang cenderung sama, namun, dengan pengertian yang berbeda.

Mengutip dari kamus Cambridge[1], krisis diartikan sebagai suatu ketika (waktu) dimana terjadi ketidaksepahaman, kebingungan, atau penderitaan yang sangat hebat (besar). Pengertian kedua ialah sebuah titik situasi dimana terjadi keadaan yang sangat menyulitkan (berbahaya) secara ekstrim. Jika kita mengacu pada konteks ekonomi, krisis bisa diartikan sebagai perubahan drastis situasi perekonomian yang menyebabkan kesulitan (kegagalan) ekonomi dalam waktu yang singkat (secara tiba-tiba).

Dengan sekilas melihat pengertian tersebut, kita bisa langsung membandingkan pelemahan rupiah yang terjadi pada tahun 1998 dan tahun 2008 dengan pelemahan rupiah yang terjadi pada tahun 2018. Gambar 1 memperlihatkan pelemahan rupiah yang terjadi dalam waktu singkat pada tahun 2008 dan 1998.

Sumber: Bank Indonesia (2018)
Sumber: Bank Indonesia (2018)
Namun jika kita bandingkan dengan pelemahan rupiah pada tahun 2018, dapat kita perhatikan bahwa sebenarnya pelemahan rupiah sudah terjadi sejak tahun 2016. Kita perlu mencermati bahwa rupiah melemah secara bertahap dan tidak terjadi dalam waktu yang singkat.

Sumber: Bank Indonesia (2018)
Sumber: Bank Indonesia (2018)

Hal yang membedakan baik pada pelemahan rupiah tahun 1998 dan 2009 dengan pelemahan rupiah pada tahun 2018 adalah kurun waktu terjadinya pelemahan. Hal tersebut sebenarnya bisa dianalisis dengan konsep ekonomi makro, yakni mengacu pada kondisi fundamental perekonomian. 

Dengan berkaca dari kedua gambar tersebut dengan kaitannya terhadap definisi "krisis", dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pelemahan rupiah tahun 1998 dan 2009 merupakan sebuah krisis. Rupiah memang benar mengalami pelemahan yang hampir mencapai titik terendahnya pada tahun 2018. Namun secara definisi, rupiah belum tentu (dan jangan sampai) mengalami krisis. 

Refleksi Teoretis: Penyebab Terjadinya Pelemahan Rupiah

Untuk dapat menganalisis sebab terjadinya pelemahan rupiah, penulis akan mengajak pembaca untuk sedikit kembali ke dalam tataran teoretis. Bahasa yang digunakan mungkin akan sedikit terkesan akademis. Namun, penulis akan mencoba untuk menggunakan bahasa yang lebih mudah dipahami khususnya bagi pembaca awam.

 Penulis menggunakan dua teori utama sebagai landasan mengkaji sebab-sebab pelemahan nilai tukar, yakni Interest-parity Equilibriumdan Money Market Equilibrium[3].

Interest-Parity Equilibrium[5]

Teori ini menyatakan bahwa keseimbangan (kesamaan) tingkat pengembalian suku bunga suatu aset antar dua negara ditentukan oleh dua hal, yakni tingkat suku bunga dan nilai tukar kedua negara tersebut. 

Sumber: Mishkin (2010)
Sumber: Mishkin (2010)
Dengan melakukan subtitusi sederhana, maka didapatkan

Sumber: Mishkin (2010)
Sumber: Mishkin (2010)
Keseimbangan dari model tersebut terbentuk dengan gambar sebagai berikut

Sumber: Mishkin (2010)
Sumber: Mishkin (2010)
 

Money-Market Equilibrium[5]

Teori ini menyatakan bahwa keseimbangan di pasar uang terjadi ketika permintaan uang riil sama dengan penawaran uang riil.

Sumber: Mishkin (2010)
Sumber: Mishkin (2010)
Sumber: Mishkin (2010)
Sumber: Mishkin (2010)
Keseimbangan dari model tersebut terbentuk dengan grafik sebagai berikut

Sumber: Mishkin (2010)
Sumber: Mishkin (2010)
Keseimbangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing

Dengan memahami kedua model tersebut, kita dapat menggabungkan keduanya sehingga tercipta keseimbangan pasar uang dan pasar valas dengan grafik sebagai berikut.

Sumber: Mishkin (2010)
Sumber: Mishkin (2010)
Dengan analisis grafik tersebut, kita dapat melakukan simulasi transmisi dari setiap variabel dan implikasinya terhadap nilai tukar. Ketika tukar mengalami pelemahan (depresiasi) ia akan ditandai dengan kenaikan Ed/f-- vice versa. Terkait faktor-faktor yang ada didalamnya, penulis bermaksud memisahkan dua faktor utama yang mempengaruhi perekonomian (khususnya nilai tukar), yakni faktor internal (kondisi fundamental) dan faktor eksternal.

Faktor Internal

1) Peningkatan Jumlah Uang Beredar

Peningkatan jumlah uang beredar (Ms) akan menyebabkan kenaikan penawaran uang riil meningkat. Dengan begitu, keseimbangan pasar uang akan berubah dengan ditandai penurunan suka bunga domestic--ceteris paribus. Sehingga menyebabkan tingkat pengembalian aset (uang) domestik yang lebih rendah daripada aset (uang) asing. Hal tersebut menyebabkan masyarakat lebih menyukai aset asing. Ketika banyak orang yang lebih memilih memegang aset dalam bentuk dolar, hal ini akan berdampak pada tingginya permintaan terhadap mata uang asing yang berarti rendahnya permintaan terhadap mata uang domestik. Dalam gambar tersebut, terlihat bahwa Ed/f mengalami kenaikan yang berarti terjadi pelemahan nilai mata uang domestic dibanding mata uang asing (depresiasi).

Sumber: Mishkin (2010)
Sumber: Mishkin (2010)
Hal ini senada dengan teori Irving Fisher--Fisher effect yang menyatakan bahwa kenaikan jumlah uang beredar secara proporsional dapat berpengaruh terhadap inflasi[4]. Untuk itu, penambahan jumlah uang beredar (ataupun penurunan tingkat suku bunga) cenderung diadopsi ketika perekonomian sedang mengalami deflasi. Jika tidak, hal ini tentunya akan berdampak buruk terutama dalam kaitannya dengan nilai tukar. Vice versa.

2) Peningkatan Harga Komoditas Secara Umum (Inflasi)

Terjadinya perubahan harga (kenaikan harga)--menyebabkan peningkatan pada variabel P. Namun, ingat bahwa peningkatan P akan secara proporsional diikuti peningkatan Ms. Karena dalam jangka pendek P bersifat tetap (Rigid), maka hal ini akan berdampak pada peningkatan Ms/P. Keseimbangan pasar uang akan berubah dengan ditandai penurunan suka bunga domestic--ceteris paribus. Sehingga menyebabkan tingkat pengembalian aset (uang) domestik yang lebih rendah daripada aset (uang) asing. Hal tersebut menyebabkan masyarakat lebih menyukai aset asing dan menyebabkan depresiasi. Dalam kehidupan nyata, inflasi sangat melekat dengan indikator perekonomian. Inilah sebabnya mengapa inflasi juga berbahaya dalam kaitannya dengan nilai tukar.

Sumber: Mishkin (2010)
Sumber: Mishkin (2010)
3) Peningkatan Variabel Pendapatan Nasional

Ingat pada teori permintaan uang, preferensi masyarakat terhadap permintaan dipengaruhi tingkat suku bunga (R) dan pendapatan nasional (Y). Untuk pengembangan yang lebih mudah dan dekat dengan kenyataan, ingat kembali pendekatan pengeluaran dalam menghitung pendapatan nasional yang meliputi konsumsi masyarakat (C), investasi swasta (I), pengeluaran pemerintah (G), dan neraca perdagangan (NX)--yang merupakan selisih antara ekspor (X) dengan impor masyarakat (M).

Sumber: Mankiw (2013)
Sumber: Mankiw (2013)
Misalkan terjadi peningkatan ekspor oleh masyarakat ke luar negeri. Hal tersebut mengartikan peningkatan variabel (X) dan dengan asumsi variabel lain tetap, neraca perdagangan akan meningkat dan menyebabkan pendapatan nasional meningkat. Ingat kembali teori preferensi likuiditas permintaan uang bahwa pendapatan berhubungan positif dengan permintaan[5], maka permintaan masyarakat akan uang meningkat. Hal tersebut akan berdampak pada peningkatan suku bunga domestik berujung pada terapresiasinya nilai mata uang domestik. Hal ini menjelaskan mengapa menjaga surplus-defisit suatu negara itu penting, mengingat ia juga akan berdampak terhadap nilai tukar.

Sumber: Mishkin (2010)
Sumber: Mishkin (2010)
Faktor Eksternal

1) Peningkatan Suku Bunga Asing

Suku bunga asing juga dapat mempengaruhi permintaan akan aset (uang) yang nantinya mempengaruhi nilai tukar diantara dua negara tersebut. Hal ini disebabkan peningkatan suku bunga asing akan menyebabkan aset asing cenderung diminati daripada aset domestik. Jika kita melihat kembali teori interest parity, kita dapat melihat bahwa tingkat suku bunga domestik akan indifferent dengan suku bunga asing ditambah persentase perubahan nilai tukar. Ketika nilai tukar asing mengalami peningkatan--ceteris paribus, maka tingkat pengembalian aset asing akan lebih menarik ketimbang aset domestik. Hal tersebut tentunya akan menyebabkan masyarakat lebih tertarik memiliki aset asing. Sehingga, kondisi tersebut akan berdampak pada kenaikan nilai tukar domestik terhadap asing (depresiasi).

Sumber: Mishkin (2010)
Sumber: Mishkin (2010)
Inilah penjelasan mengapa setiap The Fed hendak melakukan peningkatan suku bunga, hal tersebut akan diantisipasi oleh negara-negara sekitar. Jika pemerintah negara sekitar tidak sigap, hal tersebut akan menyebabkan terjadinya kondisi capital outflowatau bahkan capital flightyang tentu akan berdampak pada pelemahan nilai tukar.

2) Ekspektasi Masyarakat akan Nilai Tukar

Faktor yang terakhir adalah faktor ekspektasi. Faktor ini juga cukup mempengaruhi nilai tukar secara langsung. Ingat kembali teori interest parityyang memiliki variabel nilai tukar dimasa depan (Et+1), hal ini menjelaskan bagaimana pengaruh ekspektasi masyarakat dan spekulan dalam menentukan nilai tukar. Misalkan karena suatu berita, banyak tokoh ekonom yang meramalkan bahwa perekonomian Indonesia akan memburuk. Meskipun kondisi fundamental baik, masyarakat dan spekulan telah menangkap berita dan desas-desus akan pelemahan kondisi perekonomian. Dengan begitu masyarakat akan menganggap bahwa rupiah akan benar-benar melemah (ditandai dengan peningkatan ekspektasi nilai tukar (Et+1). Maka masyarakat akan berbondong-bondong untuk mengamankan aset mereka dalam bentuk aset asing yang tentunya akan kembali mempengaruhi nilai tukar menjadi lemah (depresiasi).

Sumber: Mishkin (2010)
Sumber: Mishkin (2010)
Inilah alasan mengapa disetiap ada permasalahan perekonomian, banyak ekonom yang tetap memprediksi dan memiliki optimisme akan peningkatan perekonomian. Seburuk apapun perekonomian, adalah hal yang bijak untuk tetap bersiteguh dan mempercayai kebangkitan akan perekonomian. Begitu pun sebaliknya, hal ini menjelaskan bagaimana seorang tokoh yang bahkan tidak mengerti tentang perekonomian dapat mempengaruhi perekonomian. Selama ia memiliki suara yang cukup berpengaruh bagi masyarakat dan spekulan, masyarakat akan mempercayai dan berkeyakinan bahwa seseorang tersebut memahami perekonomian dan dengan begitu mempercayai kata-kata seorang tokoh tersebut. Namun sebenarnya, perkataan tokoh tersebutlah yang mengamini terjadinya pelemahan perekonomian itu sendiri. Untuk itu, sentimen positif akan perekonomian itu hal yang diperlukan guna menjaga ekspektasi masyarakat terhadap perekonomian.

Gambar 11. Ilustrasi Gambar Ekspetasi

Ilustrasi Gambar: EF
Ilustrasi Gambar: EF

Refleksi Teori dan Dunia Nyata

Setelah kita memahami landasan teoretis terkait sebab-sebab perubahan nilai tukar dengan menggunakan teori pasar uang dan pasar valuta asing, penulis bermaksud untuk mengajak pembaca untuk kembali melihat kondisi di dunia nyata. Namun penulis ingin mengingatkan bahwa tidak sepenuhnya teori benar-benar menunjukkan realita. Ingat kembali bahwa ekonomi merupakan salah satu ilmu sosial yang mempelajari tentang manusia didalamnya. Padahal, manusia merupakan subjek yang dinamis. Hal tersebut menjelaskan bahwa terdapat banyak variabel yang turut menjadi penyebab kegagalan teoretis karena sulitnya mengukur variabel-variabel yang melekat pada aspek sosial tersebut. Sebagaimana dalam ekonometrika, kita tidak dapat memodelkan suatu fenomena ekonomi dengan benar-benar tepat. Kita selalu memiliki variabel residu (error, shock, dsb.) yang menjelaskan bahwa ada variabel-variabel yang belum tertangkap secara utuh dalam model yang kita kembangkan. Namun, secara garis besar perekonomian dapat terdeskripsikan dalam model ekonometrika.

Dengan melihat kembali gambar nilai tukar rupiah terhadap dolar, dapat dilihat bahwa tren pelemahan terjadi sudah dimulai sejak akhir triwulan ketiga pada tahun 2016. Untuk mengkonfirmasi kembali apakah benar kondisi fundamental Indonesia sedang tidak sehat, penulis akan menyajikan sejumlah data yang dirangkum dari berbagai sumber yang valid dan kredibel.

Sumber: Bank Indonesia (2018)
Sumber: Bank Indonesia (2018)
Dengan melihat tren kurs dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), dapat dilihat bahwa IHSG sebenarnya masih fluktuatif dalam keadaan yang sehat. Namun, memang secara bertahap IHSG sedang melemah (terhitung dimulai sejak akhir triwulan pertama tahun 2018). IHSG merupakan indikator yang cukup menggambarkan tingkat keyakinan dan sentimen dari investor terhadap iklim perekonomian Indonesia. Singkatnya, jika kondisi perekonomian melemah, IHSG akan menunjukkan kinerja lemah juga. Hal tersebut dikarenakan investor akan cenderung memilih untuk menanamkan modal mereka di negara yang memiliki iklim perekonomian yang aman.

Sumber: Bank Indonesia (2018)
Sumber: Bank Indonesia (2018)
Melihat pertumbuhan jumlah uang beredar dan tingkat inflasi, perekonomian juga masih terlihat sangat baik, mengingat bahwa kenaikan tingkat inflasi berhubungan positif dengan depresiasi. 

Sumber: BPS (2018)
Sumber: BPS (2018)
Neraca berjalan merupakan salah satu komponen yang dapat merepresentasikan transaksi ekspor-impor suatu negara. Dari beberapa faktor, neraca berjalan merupakan satu-satunya faktor yang mengalami pelemahan sejak memasuk tren pelemahan rupiah (yang kemudian terus membengkak).Jika transaksi berjalan mengalami defisit terlalu tinggi maka dibutuhkan adalah transaksi finansial yang tinggi. Jika tidak mencukupi, maka simpanan yang ada di cadangan devisa akan terpakai. Dengan kondisi itu berarti rupiah akan mengalami tekanan karena kebutuhan dollar AS yang meningkat. Hal dapat dijelaskan dengan model keseimbangan dengan terjadi perubahan (penurunan) pada pendapatan nasional. Untuk itu, kita perlu melihat juga cadangan devisa.

Sumber: SULNI BI (2018)
Sumber: SULNI BI (2018)
Cadangan devisa merupakan cadangan valuta asing yang dimiliki oleh bank sentral. Ia berguna sebagai alat untuk membiayai segala transaksi dan pembayaran yang menggunakan valuta asing. Melihat dari tingkat cadangan devisa, terlihat bahwa cadangan devisa masih memiliki angka yang cukup menyejukkan. Namun, sejak pertengahan triwulan pertama 2018, cadangan devisa terus tergerus secara perlahan. Hal tersebut tentunya dapat menjadi berbahaya.

Sumber: SULNI BI (2018)
Sumber: SULNI BI (2018)
Terlepas dari beberapa faktor diatas, terdapat suguhan isu tentang hutang yang sudah sangat tinggi. Namun jika kita melihat kepada indikator hutang (baik DSR maupun DGDP), kondisi hutang perekonomian Indonesia masih berfluktuatif dalam keadaan yang wajar. DSR adalah singkatan dari Debt to Service Ratiodan DGDP adalah singkatan dari Debt to GDP Ratio. Terlepas dari kontroversi penggunaan indikator tersebut[2], tren masih menunjukkan angka yang cukup menyejukkan juga masih berada di batas aman.

Sumber: BPS (2018)
Sumber: BPS (2018)
Indikator terakhir yang perlu dilihat dalam melihat pengaruhnya terhadap tingkat kurs adalah Produk Domestik Bruto (PDB) atau sering kita kenal dengan pendapatan nasional. Sebagaimana kita telah melihat pada teori keseimbangan pasar uang dan pasar valuta asing, pendapatan nasional juga mempengaruhi tingkat kurs dari sisi permintaan uang. Dengan melihat gambar di atas, fluktuasi tingkat pertumbuhan PDB masih dalam tingkat wajar (triwulan keempat merupakan periode resesi musiman).

Sumber: Hasil Olahan Penulis
Sumber: Hasil Olahan Penulis
Lantas Mengapa Rupiah Melemah?

Seperti yang sudah penulis katakan, ekonomi merupakan fenomena sosial--banyak faktor yang tidak dapat diperhitungkan dalam menentukan ketepatan model ekonomi. Penulis menganjurkan pembaca untuk lebih lihai dan tajam dalam menganalisa suatu permasalahan ekonomi. Misalnya dengan melihat konteks perekonomian global. Banyak sekali faktor perekonomian global yang mempengaruhi kondisi perekonomian suatu negara (terutama yang masih berkembang) tak terkecuali Indonesia. Kita dapat melihat mulai dari suku bunga The Fed, kenaikan harga minyak dunia, perang perdagangan Trump dengan China, dan sejumlah permasalahan global lainnya.

Sejumlah faktor-faktor tak terduga tersebut merupakan apa yang penulis sebut dengan shock. Hal ini cenderung disebabkan oleh faktor-faktor sosial di luar model. Dalam melihat aset (valuta asing), investor (spekulan) juga melihat faktor risiko yang terkandung ketika mereka memegang suatu aset. Misalnya dengan ketidakpastian perang dagang yang terjadi antara Trump dengan China. Adanya hambatan tarif dan non-tarif pada produk dari masing-masing negara menyebabkan kenaikan harga dari produk masing-masing negara yang tentunya berdampak pada mitra dagang kedua negara tersebut.

Dampak Pelemahan Nilai Tukar

Pelemahan nilai tukar pada dasarnya bukan merupakan suatu masalah jika tingkat pelemahannya tidak terjadi secara terus menerus dan dalam tingkat yang sangat drastis. Jika kita kembali ke pada konsep dasar permintaan ekonomi, harga yang semakin murah akan menyebabkan permintaan semakin tinggi. Pada kaitannya dengan nilai tukar, semakin lemah nilai tukar akan menyebabkan semakin murah harga produk-produk yang ditawarkan oleh Indonesia--dengan begitu akan meningkatkan penerimaan ekspor dan pengeluaran impor--sehingga menyebabkan pengurangan defisit. Namun, hal tersebut tidak selamanya benar-benar terjadi. Dalam konteks negara berkembang umumnya transaksi internasional masih didominasi belanja modal yang mana sangat dibutuhkan dalam proses produksi. Sehingga, produsen Indonesia memiliki keharusan untuk mengimpor dengan tingkat harga berapapun agar tetap mampu melakukan proses produksi. Dengan tingkat rupiah yang semakin melemah, ongkos produksi--yang mana merupakan salah satu unsur penetapan suatu harga-- akan meningkat. Pada selanjutnya hal tersebut sama halnya dengan inflasi (kenaikan harga secara umum).

Apa yang Harus Indonesia Perbuat? 

Dengan tren cadangan devisa yang semakin menurun, hal ini dapat menjadi sebuah bencana. Pasalnya, devisa adalah cadangan valuta asing yang dimiliki oleh bank sentral guna menjaga kestabilan nilai tukar. Ketika cadangan devisa terus terkuras habis dikarenakan harus memenuhi kebutuhan penggunaan valuta asing, ia akan menyebabkan rupiah semakin terdepresiasi. Untuk itu, perlu bagi pemerintah untuk menjaga dan meningkatkan kinerja cadangan devisa, neraca perdagangan (defisit), serta indikator hutang (DSR dan DGDP). Dalam beberapa kasus krisis finansial, DSR telah menjadi early warningatas terjadinya krisis perekonomian. Salah satu upaya yang telah dilakukan pemerintah adalah melarang penggunaan dan penghimpunan dolar serta penganjuran untuk mencintai produk lokal. Hal ini guna mengantisipasi spekulasi-spekulasi trader valuta asing yang dapat memperkeruh kondisi perekonomian. Pengurangan konsumsi barang-barang impor juga dapat membantu perekonomian dengan mengurangi penggunaan cadangan devisa. 

Ketika kondisi fundamental telah terlaksana dengan baik, hal yang perlu diperhatikan secara khusus adalah sentimen atau ekspektasi masyarakat terhadap perekonomian (nilai tukar) Indonesia. Sebagaimana telah penulis jelaskan tentang peran ekspektasi, ekspektasi dapat berkontribusi secara langsung terhadap prospek nilai tukar rupiah. Kita telah melihat upaya pemerintah yang tetap meyakinkan masyarakat bahwa perekonomian masih (dan mudah-mudahan) akan membaik. Hal tersebut guna menghindari spekulasi yang berlebihan terhadap ekspektasi rupiah yang dapat memperburuk nilai tukar. Kita juga dapat berkontribusi terhadap perbaikan nilai tukar terkait hal ini. Dengan meyakinkan teman-teman kita bahwa nilai tukar akan membaik, hal tersebut dapat menjadi usaha untuk menjaga dan meningkatkan ekspektasi penguatan nilai tukar rupiah. 

Bagaimana dengan Hutang Indonesia?

Akhir-akhir ini, penulis menemui banyak perdebatan terkait membengkaknya hutang Indonesia. Penulis tidak akan dan tidak pernah berdebat panjang terkait isu tersebut. Untuk pembaca yang memiliki ketidaksepahaman dengan penulis, penulis mewajarkan dan tidak memaksa pembaca untuk memiliki kesependapatan dengan penulis. Namun penulis menganjurkan pembaca untuk memperluas bacaan dan literasi terkait hutang dan pertumbuhan perekonomian (penulis sertakan dalam daftar pustaka). 

Singkatnya, hutang adalah suatu kegiatan yang dimaksudkan untuk meningkatkan laju pertumbuhan perekonomian. Ketika suatu negara ingin tumbuh lebih pesat namun terkendala dengan biaya, hutang menjadi alternatif agar pertumbuhan yang diharapkan dapat tercapai dengan meminjam alokasi dana dari masa depan. 

Mari kita ingat sejumlah pencapaian infrastruktur yang digalakkan dalam waktu singkat. Belum lagi baru-baru ini baru saja kita merayakan euphoria perayaan Asian Games yang merupakan salah satu bentuk penumbuhan nasionalisme. Bayangkan semua capaian-capaian tersebut yang tidak mungkin terlaksana tanpa menggunakan pinjaman-pinjaman hutang.

Infrastruktur merupakan suatu unsur yang sangat penting bagi tercapainya pembangunan negara. Ia merupakan unsur spasial yang sangat penting dan berkontribusi secara signifikan terhadap biaya-biaya logistik dan transportasi. Infrastruktur memang tidak terasa secara langsung manfaatnya. Ia baru akan terasa dalam jangka panjang. Pemerintah memiliki visi jangka panjang, yakni mengurangi ketimpangan antara Jawa dengan beberapa kawasan di Indonesia (yang dulu kita kenal dengan istilah Indonesia Bagian Timur). Untuk alasan tersebut, hutang merupakan suatu opsi yang tak terelakkan.

Meskipun begitu, bukan berarti pemerintah dapat sewenang-wenang melakukan pinjaman hutang. Pemerintah juga harus tetap sadar akan batas aman melakukan pinjaman. Beberapa indikator yang menunjukkan tingkat kesehatan suatu negara dalam berhutang adalah DSR dan DGDP. Kalau dilihat secara nominal hutang, tentu hutang mengalami peningkatan yang sangat tinggi. Namun, sangat disayangkan pembaca tidak awareterhadap faktor inflasi. Faktor lain adalah kesanggupan negara dalam melakukan pembayaran terhadap hutang tersebut. Untuk itu, diperlukan suatu Indikator yang melakukan perbandingan antara hutang dengan kesanggupan negara dalam melakukan pembayaran hutang tersebut.

Kesimpulan

Setelah penulis mengajak pembaca untuk berimajinasi tentang kondisi perekonomian, penulis berharap bahwa sejak detik ini pembaca memahami dengan baik bagaimana fenomena pelemahan rupiah itu terjadi. Dengan landasan teori keseimbangan pasar uang dan pasar valuta asing, pembaca dapat memahami kalau perekonomian Indonesia masih berkinerja dengan baik secara fundamental. Tetapi, ada beberapa faktor yang tentunya menyebabkan pelemahan tersebut tetap saja terjadi.

Untuk itu, penulis bermaksud menyimpulkan tentang apa yang penulis sampaikan di awal paragraf tulisan ini, bahwasanya Rupiah memang sedang mengalami pelemahan. Namun, berkaca dari pengalaman pelemahan nilai tukar tahun 1998 dan 2008, pelemahan nilai tukar pada saat ini bukan merupakan suatu krisis.

Benar bahwa nilai rupiah mencapai yang hampir mencapai titik terendahnya pada tahun 1998. Namun dengan membandingkan tingkat (persentase) perubahannya, pelemahan yang terjadi pada saat ini belum memasuki predikat krisis. Tetapi, bukan berarti hal tersebut pertanda aman. Dengan banyaknya pendapat yang menyatakan bahwa Indonesia akan (dan sedang) mengalami krisis, bukan tidak mungkin hal tersebut akan benar-benar terjadi. Seperti yang sudah penulis sampaikan, ekspektasi masyarakat akan memainkan peran yang sangat berarti pada saat seperti ini. Untuk itu, pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama melakukan upaya-upaya yang terkait menjaga dan memperbaiki sentimen serta ekspektasi masyarakat terhadap rupiah.

Untuk kritik dan saran: himiespa.dp@gmail.com

Daftar Pustaka

[1]       https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/crisis

[2]       Drehmann, M., & Juselius, M. (2012). Do debt service costs affect macroeconomic and financial stability? BIS Quarterly Review, September 2012.

[3]       Krugman, P. R., Obstfeld, M., & Melitz, M. J. (2018). International economics: Theory & policy. New York: Pearson.

[4]       Mankiw, N. G. (2013). Macroeconomics 8th Edition. New York: Worth Publisher.

[5]       Mishkin, F. (2010). The economics of money, banking & financial markets 9th Edition. New York: Pearson.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun