Oleh: Steering Committee, Forum Studi dan Diskusi Ekonomi Universitas Gajdah Mada (FSDE UGM) 2018
Resiliensi ekonomi atau ketahanan ekonomi menjadi salah satu topik ekonomi yang banyak diperbincangkan dewasa ini. Sejak berakhirnya perang dunia kedua, perekonomian global menghadapi krisis relatif lebih sering ketimbang pra perang dunia kedua.Â
Hal ini diakibatkan oleh semakin berkembangnya ilmu ekonomi serta teknologi. Maka tidak heran apabila berbagai negara berusaha meningkatkan ketahanan ekonomi terhadap guncangan ekonomi maupun krisis.
Namun, resiliensi ekonomi sendiri bukan merupakan tujuan utama. Tujuan utama seluruh negara di dunia adalah terciptanya strong, sustainable and balanced growth (SSBG) atau ekonomi yang tumbuh tinggi, berkelanjutan dan inklusif (OECD 2016).Â
Konsep ini sedikit mirip dengan pedoman ekonomi orde baru yang berjudul trilogi pembangunan, yaitu stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan.
Meskipun bukan merupakan tujuan utama, tidak berarti resiliensi ekonomi dapat dikesampingkan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak dapat dicapai tanpa adanya ketahanan ekonomi yang kuat. Begitu juga dengan pembangunan berkelanjutan serta inklusifitas pembangunan. Ketahanan ekonomi dapat meningkatkan inklusifitas, menurunkan probilitas pemutusan hubungan kerja (PHK) dan melindungi penduduk kelompok pendapatan rendah.
Diperlukan berbagai strategi serta kebijakan untuk mewujudkan resiliensi ekonomi. Kebijakan yang dibuat harus berfokus pada identifikasi dan implementasi efektifitas biaya untuk mengurangi resiko krisis. Lantas, apa saja yang perlu dilakukan?
Tidak dapat dipungkiri bahwa kualitas institusi berperan penting dalam proses kemajuan suatu bangsa. Buku seperti Why Nations Fail karya Daron Acemoglu banyak menjelaskan peran penting institusi. Meskipun suatu negara memiliki kondisi demografis dan geografis yang sama, tetapi perbedaan kualitas institusi dapat menghasilkan dua cerita yang berbeda.
Kualitas institusi yang baik akan menghasilkan tata kelola pemerintah yang efisien, akuntabilitas, serta tata kelola korupsi yang baik. Menurut OECD (2016) pada gambar 1, institusi yang baik dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun dengan resiko krisis yang lebih kecil.
Salah satu langkah yang dapat ditempuh adalah dengan menciptakan corporate governance (CG). Implementasi dari CG dapat mengurangi praktik anggaran "bayangan".
Disamping kualitas institusi, kepastian hukum yang menjamin pihak swasta dalam kontrak, property rights atau hak milik juga penting. Regulasi yang hadir harus "smart", dengan kata lain dapat selain dapat menjadi stimulus perekonomian juga menjadi "obat jamu" atau bersifat siklis dalam menghadapi guncangan. Karena sifat dinamis dari kebijakan menuntut dukungan regulasi yang "smart" .
Ketika tercipta institusi serta regulasi yang baik, maka langkah selanjutnya adalah memastikan kebijakan fiskal terarah dan tepat. Karena kebijakan fiskal yang tepat dapat meningkatkan resiliensi ekonomi.Â
Investasi publik melalui kebijakan fiskal dapat mendorong efisiensi perekonomian serta menciptakan keseimbangan antara permintaan dan penawaran dalam pasar tenaga kerja ketika terjadi krisis.
Kebijakan fiskal lainnya yang tidak kalah penting adalah automatic stabilizer. Automatic stabilizer merupakan serangkaian kebijakan fiskal, seperti jaminan pengangguran atau bantuan langsung tunai (BLT), berfungsi sebagai alat stabilisasi perekonomian ketika terjadi guncangan atau krisis.Â
Kebijakan ini dapat meminimalkan biaya yang terjadi akibat dari krisis. Namun, perlu diketahui bahwa semakin besar porsi anggaran untuk automatic stabilizer, maka dapat mengakibatkan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Automatic stabilizer memang meminimalkan dampak dari guncangan, tetapi akan menghasilkan inefisiensi.
Manakah yang perlu diprioritaskan? Investasi publik dan automatic stabilizer memiliki peran penting masing-masing. Karena itu tidak dapat dipilih salah satu namun harus dilakukan kombinasi kebijakan. Salah satu contoh adalah ketika terjadi krisis 1998, pemerintah berusaha untuk mencegah peningkatan kemiskinan melalui program Jaring Pengaman Sosial (JPS).Â
Atau ketika tahun 2005 pada saat harga bahan bakar minyak (BBM) melonjak lebih dari 80 persen, pemerintah menerapkan kebijakan BLT untuk meminimalkan dampak yang terjadi. Demikian pula dengan investasi publik, seperti pembangunan infrastruktur besar-besaran atau porsi anggaran pendidikan yang besar dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Tidak ada panduan baku dalam menetapkan prioritas antara investasi publik dengan automatic stabilizer karena mengikuti situasi yang berkembang.
Struktur Ekonomi Yang Mumpuni
Dengan kualitas institusi yang baik dan kebijakan fiskal yang tepat, maka perhatian selanjutnya adalah menciptakan struktur ekonomi yang mumpuni melalui kebijakan struktural. Struktur ekonomi ini mencakup berbagai sektor, seperti industri dan jasa.
Kebijakan struktural, selain memiliki dampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi melalui akumulasi modal dan produktivitas, juga berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi melalui resiliensi ekonomi (OECD 2017). Karena kebijakan struktural bersfiat ex-ante, yaitu kebijakan yang bersifat preventif dengan mengurangi kerentanan perekonomian terhadap guncangan.Â
Di samping bersifat ex-ante, kebijakan struktural juga memiliki ciri ex-post, yaitu kemampuan untuk menyerap krisis yang menghadang. Contoh, meminimalkan halangan masuk-keluar pasar (atau biasa disebut barriers to entry-exit) akan meningkatkan kemampuan perekonomian untuk menyerap krisis, melalui realokasi sumber daya dari bisnis yang mati menuju bisnis yang baru.
Agar struktur ekonomi dapat bersifat ex-ante dan ex-post, maka diperlukan diversfikasi perekonomian. Perekonomian suatu negara tidak dapat terlalu bertumpu pada salah satu sektor atau produk. Contoh ketergantungan Arab Saudi terhdap minyak dunia mengakibatkan kemampun ex-post perekonomian yang rendah ketika harga minyak dunia jatuh. Atau Indonesia, yang sangat bergantung pada ekspor komoditas juga mengalami guncangan pada perekonomian ketika harga komditas dunia turun.
Pengembangan diversifikasi perkonomian harus dikombinasikan dengan mitigasi resiko business cycle, yaitu fluktuasi ekonomi jangka pendek. Mitigasi resiko ini perlu dirancang sedemikian rupa agar bersifat fleksibel tergantung keadaan ekonomi yang berkembang.Â
Mitigasi tersebut dapat berupa kebijakan makroprudensial. Walaupun tergolong muda ditataran pengambilan kebijakan, kebijakan makroprudensial terbukti ampuh dalam menghadapi tren penurunan dalam business cycle. Tetapi, perlu diingat bahwa kebijakan makroprudensial yang tidak tepat dapat berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi (gambar 1).
Sektor manufaktur merupakan salah satu sektor yang paling menjanjikan untuk menciptakan diversifikasi perekonomian. Meski hal ini masih dapat diperdebatkam, tetapi kemampuan setkor manufaktur dalam menghadapi guncangan di era globalisasi ini termasuk baik.Â
Di samping sektor manufaktur, usaha mikro kecil menengah (UMKM) juga memiliki peran penting meskipun kerap dipandang sebelah mata. Peran UMKM begitu penting karena sebagian besar perekonomian negara berkembang bertumpu pada UMKM.
Bagaimana dengan sektor jasa khususnya keuangan? Meskipun sektor ini adalah salah satu sektor yang tumbuh paling cepat dan juga menjanjikan dalam menciptakan diversifikasi ekonomi, tetapi kerentanan sektor ini terhadap krisis atau fluktuasi sangatlah besar. Bahkan, di era modern sektor ini menjadi sektor yang kerap kali  menyebabkan krisis.Â
Sebut saja krisis finansial asia 1997, bubble dotcom crises hingga krisis finansial global 2008. Walau begitu, suatu negara tidak dapat meninggalkan sektor finansial karena perannya yang penting dalam pembiayaan kegiatan perekonomian (untuk sektor finansial akan kita bahas di sub bab lainnya).
Integrasi Perekonomian Global
Ketika diversifikasi perekonomian dan pengembangan sektor-sektor ekonomi sudah dilakukan, maka perekonomian perlu untuk terintegrasi serta terlibat dalam perekonomian global. Dengan kata lain, hambatan untuk terhubung dengan perdagangan internasional perlu diminimalkan. Tetapi, meminimalkan hambatan perdagangan internasional atau ekspor-impor dapat meningkatkan atau mengurangi ketahanan ekonomi.
Mengurangi hambatan untuk perdagangan dan foreign direct investment (FDI), semisal, akan meningkatkan keterlibatan perusahaan lokal dalam perdagangan global dan menjadi insentif untuk perbaikan produk melalui skema global value chain, serta technological spillover yang bermanfaat bagi perusahaan lokal.Â
Namun, perdagangan internasional akan menciptakan spesialiasi. Spesialiasi ini akan meningkatkan prevelansi krisis sektor-sektor tertentu melalui forward linkage dan backward linkage (Di Jovanni & Levchenko 2014).Â
Forward linkage adalah keterlibatan hasil produksi suatu negara dalam proses produksi di negara lain. Sedangkan backward linkage yaitu konsep penggunaan hasil produksi negara lain dalam proses produksi dalam negeri. Kedua konsep ini merupakan dasar dari global value chain.
Bagaimana agar keterlibatan dalam perdagangan internasional memiliki dampak positif terhadap ketahanan ekonomi? Semua tergangung pada kualitas insitusi dan kebijakan komplemen yang mengiringi.Â
Kebijakan komplemen seperti pembangunan infrastruktur dan peningkatan kemampuan diperlukan untuk memastikan ruang lingkup dari liberalisasi ekonomi tetap terjaga dan meminimalkan biaya yang hilang akibat dari transisi liberalisasi ekonomi.
Dua Mata Pisau Sektor Finansial
Perkembangan sektor finansial yang pesat menghadirkan trade off antara pertumbuhan dan kerentanan perekonomian. Negara dengan sistem finansial yang lebih liberal menikmati efisiensi ekonomi yang lebih tinggi. Namun, efisiensi ini menjadi berkurang apabila kedalaman finansial terlalu tinggi (Cournede et al. 2015).Â
Karena kedalaman finansial yang semakin tinggi akan meningkatkan dampak dari krisis perbankan. Bagi negara maju, akibatnya adalah terjadinya kredit yang berlebihan (Caldera Sanchez et al. 2016). Sedangkan untuk negara berkembang berupa kebangkrutan sektor finansial atau perbankan.
Dua skenario untuk dua tipe negara yang berbeda terjadi dalam rentang 10 tahun, yaitu tahun 1998 dan 2008. Pada tahun 1998, beberapa bank di Indonesia mengalami kebangkrutan akibat dari krisis finansial asia 1997. Hal ini diakibatkan oleh liberalisasi berlebihan pada sektor finansial yang tidak diikuti dengan pengawasan ketat.Â
Sedangkan 10 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2008, kredit berlebihan pada sektor properti di AS memicu krisis finansial terbesar. Dibalik dampaknya yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi, perkembangan sektor finansial juga menghadirkan resiko yang besar juga terhadap krisis (gambar 1).
Lantas, apa yang dapat dilakukan? Negara tergolong maju maupun berkembang dapat melakukan diversifikasi pembiayaan, sehingga tidak bergantung pada kredit perbankan. Karena ketergantungan tersebut dapat menciptakan kredit berlebihan dan meningkatkan resiko gagal-bayar. Pembiayaan melalui pasar modal dapat menjadi alternatif (Cournede et al. 2015). Selain itu, krisis sektor finansial dapat deicegah melalui pengawasan dan regulasi yang ketat serta kebijakan yang lebih berhati-hati atau prudent.
Ketidakpastian global yang semakin meningkat memunculkan resiko arus modal keluar. Ketidakpastian suku bunga acuan The Fed, semisal, memicu gelombang arus modal keluar atau capital outflow. Maka, kebijakan perlu untuk mengakomodir mitigasi dari sudden capital outflow.Â
Sudden capital outflow dapat diantisipasi dengan memperluas restriksi untuk aliran modal keluar, terutama dari pasar modal. Karena sifat dari pasar modal yang begitu fluid berbeda dengan foreign direct investment. Selain itu, cadangan devisa juga memiliki peran penting dalam meminimalkan gunacangan keuangan yaitu sebagai buffer.
Fostering Economic Resilience in the Post Crisis Era
Dunia yang semakin menjadi "satu" selain menghadirkan dampak positif juga dampak negatif bagi berbagai negara. Ketahanan ekonomi menjadi syarat penting agar suatu negara dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi berkelanjutan dan seimbang.Â
Banyak pelajaran berharga dari berbagai krisis yang terjadi. Bukan berarti kita terlepas dari bayang-bayang krisis selamanya. Melainkan lahir berbagai langkah preventif dan mitigasi resiko baru dalam menghadapi ancaman di masa mendatang. Setidaknya, meminimalkan dampak negatif serta mencegah krisis dan resesi.
Untuk informasi lebih lanjut seputar rangkaian FSDE 2018:
Twitter: @FSDE_UGM
LINE : @yvf4139o
Facebook : Forum Studi dan Diskusi Ekonomi
Referensi:
- Aiginger, K. 2009. Strengthening the Resilience of an Economy. Intereconomics. 44:309
- Caldera Sanchez, A. 2016. Strengthening Economic Resilience: Insights from the Post-1970 Record of Severe Recessions and Financial Crises. OECD Economic Policy Papers No. 20.
- Cournde, B. and O. Denk. 2015. Finance and Economic Growth in OECD and G20 Countries. OECD Economics Department Working Papers No. 1223: OECD Publishing, Paris.
- Di Jovanni, J. & A. Levchenko. 2014. Country Size, International Trade, and Aggregate Fluctuations in Granular Economies. Journal of Political Economy.120(6). pp. 1083-1132
- OECD. 2016a. OECD G20 Policy Paper on Economic Resilience and Structural Policies.
- OECD. 2017. Resilience and Inclusive Growth. G20 Insights.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H