Mohon tunggu...
HIMIESPA FEB UGM
HIMIESPA FEB UGM Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (HIMIESPA) merupakan organisasi formal mahasiswa ilmu ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada DI Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money

Memahami Resiliensi Ekonomi

15 Agustus 2018   09:33 Diperbarui: 21 Agustus 2018   14:45 1221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Forward linkage adalah keterlibatan hasil produksi suatu negara dalam proses produksi di negara lain. Sedangkan backward linkage yaitu konsep penggunaan hasil produksi negara lain dalam proses produksi dalam negeri. Kedua konsep ini merupakan dasar dari global value chain.

Bagaimana agar keterlibatan dalam perdagangan internasional memiliki dampak positif terhadap ketahanan ekonomi? Semua tergangung pada kualitas insitusi dan kebijakan komplemen yang mengiringi. 

Kebijakan komplemen seperti pembangunan infrastruktur dan peningkatan kemampuan diperlukan untuk memastikan ruang lingkup dari liberalisasi ekonomi tetap terjaga dan meminimalkan biaya yang hilang akibat dari transisi liberalisasi ekonomi.

Dua Mata Pisau Sektor Finansial

Perkembangan sektor finansial yang pesat menghadirkan trade off antara pertumbuhan dan kerentanan perekonomian. Negara dengan sistem finansial yang lebih liberal menikmati efisiensi ekonomi yang lebih tinggi. Namun, efisiensi ini menjadi berkurang apabila kedalaman finansial terlalu tinggi (Cournede et al. 2015). 

Karena kedalaman finansial yang semakin tinggi akan meningkatkan dampak dari krisis perbankan. Bagi negara maju, akibatnya adalah terjadinya kredit yang berlebihan (Caldera Sanchez et al. 2016). Sedangkan untuk negara berkembang berupa kebangkrutan sektor finansial atau perbankan.

Dua skenario untuk dua tipe negara yang berbeda terjadi dalam rentang 10 tahun, yaitu tahun 1998 dan 2008. Pada tahun 1998, beberapa bank di Indonesia mengalami kebangkrutan akibat dari krisis finansial asia 1997. Hal ini diakibatkan oleh liberalisasi berlebihan pada sektor finansial yang tidak diikuti dengan pengawasan ketat. 

Sedangkan 10 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2008, kredit berlebihan pada sektor properti di AS memicu krisis finansial terbesar. Dibalik dampaknya yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi, perkembangan sektor finansial juga menghadirkan resiko yang besar juga terhadap krisis (gambar 1).

Lantas, apa yang dapat dilakukan? Negara tergolong maju maupun berkembang dapat melakukan diversifikasi pembiayaan, sehingga tidak bergantung pada kredit perbankan. Karena ketergantungan tersebut dapat menciptakan kredit berlebihan dan meningkatkan resiko gagal-bayar. Pembiayaan melalui pasar modal dapat menjadi alternatif (Cournede et al. 2015). Selain itu, krisis sektor finansial dapat deicegah melalui pengawasan dan regulasi yang ketat serta kebijakan yang lebih berhati-hati atau prudent.

Ketidakpastian global yang semakin meningkat memunculkan resiko arus modal keluar. Ketidakpastian suku bunga acuan The Fed, semisal, memicu gelombang arus modal keluar atau capital outflow. Maka, kebijakan perlu untuk mengakomodir mitigasi dari sudden capital outflow. 

Sudden capital outflow dapat diantisipasi dengan memperluas restriksi untuk aliran modal keluar, terutama dari pasar modal. Karena sifat dari pasar modal yang begitu fluid berbeda dengan foreign direct investment. Selain itu, cadangan devisa juga memiliki peran penting dalam meminimalkan gunacangan keuangan yaitu sebagai buffer.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun