Bubble dan Bitcoin, Mitos dan Sentimen
Berdasarkan first (fundamental) theorem of welfare economics, perdagangan yang saling menguntungkan dalam pasar kompetitif akan menghasilkan alokasi sumber daya yang efisien secara ekonomi. Regulasi pada dasarnya hanya dibutuhkan ketika terjadi kegagalan pasar. Banyak negara yang merespon kehadiran bitcoin dengan cara kerja yang berbeda-beda. Misalnya, untuk beberapa negara skandinavia--Swedia, Finlandia, dan Denmark, yang dengan kompetitif menerima kehadiran bitcoin. Sebagai negara yang mengadvokasikan cashless society, negara-negara ini sangat mengapresiasi kemunculan cryptocurrency. Dilansir dari sejumlah pemberitaan lokal, negara-negara tersebut telah menjadi rumah bagi penukaran dan startup bitcoin.
Meskipun begitu, banyak negara yang melarang transaksi dan peredaran bitcoin sebagai mata uang digital, seperti Colombia, Rusia, Korea Selatan, Singapura, Israel, dan bahkan Cina. Uniknya, disamping melarang entitas bitcoin, Cina justru menjadi negara pelopor yang mencoba mengusung bitcoin versinya sendiri dibawah naungan bank sentralnya. Hal ini dilakukan agar bank sentral dapat menghindari kemungkinan-kemungkinan dampak negatif dari menguatnya bitcoin.
Indonesia sendiri telah mengeluarkan legal position-nya terhadap bitcoin. Bank Indonesia (BI) secara tegas melarang penggunaan mata uang selain rupiah. Kekhawatiran BI banyak didasarkan akan underlying asset, tidak ada otoritas yang bertanggung jawab, tidak ada developer resmi, serta resiko kestabilan finansial dan gelembung ekonomi (bubble economy). Melihat nilai bitcoin yang memiliki volatilitas yang sangat tajam, BI menghimbau masyarakat untuk tidak tergiur dan berhati-hati akan keberadaaan bitcoin. Meskipun BI telah mengeluarkan larangan akan penggunaan bitcoin, antusias masyarakat dan trader bitcoin masih cukup tinggi. Bahkan, PT. Bitcoin Indonesia menyambut hangat kebijakan BI tersebut (melarang penggunaan uang digital). Bitcoin dianggap prospektif dari sisi investasinya. Ia dijadikan sebagai aset trading tanpa perlu digunakan sebagai alat tukar. Logika yang tidak jauh berbeda dengan saham--beli ketika murah, jual ketika mahal. Disamping itu, pasar bitcoin di banyak negara masih cukup diminati, sehingga masa depan bitcoin itu sendiri masih cukup menjanjikan.
Banyak pengamat tidak setuju terkait potensi kestabilan moneter dan pecahnya bubble economy yang disebabkan bitcoin. Justifikasi mereka adalah berbedanya mata uang digital dengan uang fiat yang tidak bisa disamakan satu sama lain. Adanya penurunan nilai bitcoin disebabkan karena adanya sentimen negatif akan prospek bitcoin kedepannya. Selama bitcoin memiliki sentimen positif, investor tentunya akan menyambut hangat prospek cryptocurrency tersebut dan nantinya akan mempengaruhi harga dari bitcoin itu sendiri--yang mana ketika tetap terjaga, resiko bubble economy akan terhindarkan.
Untuk kritik dan saran: himiespa.dp@gmail.comÂ
Referensi
Committee on Payments and Market Infrastructures., 2015. Digital Currencies. Basel: Bank for International Settlements. 15-16.
Dong, H., 2016. Virtual Currencies and Beyond: Initial Considerations. Washington, D.C.: International Monetary Fund.
Dong, H., 2017. Fintech and Financial Services: Initial Considerations. IMF Staff Discussion Note SDN/17/05 (2017).
Katsiampa, P., 2017. Volatility estimation for Bitcoin: A comparison of GARCH models. Econ. Lett. 158, 3-6.