Mohon tunggu...
Himawijaya
Himawijaya Mohon Tunggu... Administrasi - Pegiat walungan.org

himawijaya adalah nama pena dari Deden Himawan, seorang praktisi IT yang menyukai kajian teknologi, filsafat dan sosial budaya, juga merupakan pegiat walungan.org

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tegal, Wayang dan Manunggal

16 November 2021   13:53 Diperbarui: 16 November 2021   14:30 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah artefak hanyalah artefak belaka. Artefak bisa berupa benda-benda bersejarah ataupun tempat, sasaran terpatrinya peristiwa demi peristiwa pada era lampau. Secara jasad, suatu candi hanyalah tumpukan batu bata semata, yang tersusun dalam konfigurasi tertentu dan fungsinya tertentu pula. 

Namun, bagi seorang arkeolog ataupun mereka yang memahami kisah di balik peristiwa tumpukan batu bata itu, candi merupakan gudang pengetahuan tentang rangkaian kejadian yang menyusun sejarah manusia yang berdiam dan berinteraksi dengan candi. Pengetahuan itu menyoal tentang manusia, khususnya ihwal diri kita sendiri.

Secara indrawi, diri ini sekedar tubuh fisik belaka. Namun, jika kita meluaskan cakrawala pandang kita dan menarik bentangan waktu lebih panjang lagi, maka kehadiran manusia menjadi jauh lebih bermakna.

 Mari kita mengambil contoh semesta yang telah berusia 18 milyar tahun ini. Dalam rentang waktu tersebut, di dalamnya terdapat proses pembentukan bumi selama 5 milyar tahun lamanya hingga manusia bisa mendiaminya; ada sekian kisah naik dan leburnya peradaban silih berganti.

Semua kisah peradaban tersebut menggiring pemaknaan tentang kehadiran diri kita lebih jauh lagi. Apalagi jika ditarik ke pemaknaan samawi, yakni pada tujuan dan fungsi penciptaan manusia. 

Semestinya kehadiran makna akan sangat kuat, khususnya terkait hakikat diri kita. Karena, sejatinya hakikat hidup terletak pada makna dan cara memaknai kehidupan yang salah satunya tersublimasi dari pemahaman atas khazanah-khazanah sejarah yang menyusun 'diri' kita sendiri.

* * *

Bandung--Tegal biasanya ditempuh selama empat sampai enam jam. Rute Bandung terbagi menjadi dua: yakni rute Sumedang dan rute tol Cikampek yang nantinya bersatu di Cikopo-Palimanan. Rute Sumedang yang kemudian tembus ke Kota Cirebon merupakan rute tua yang dikenal sebagai jalan pos yang dirintis oleh Raden Mas Galak atau Gubernur Jenderal Deandels.

"Zorg, dat als ik terug kom hier een staad is gebouwd."

"Usahakan, jika nanti aku ke sini lagi, daerah ini sudah jadi kota." Itu ungkapan Daendels yang diucapkannya sambil menancapkan tongkat di tanah. Titik tempat tongkat itu tertancap kini menjadi Nol Kilometer Kota Bandung di sekitar alun-alun. Kejadian ini terjadi pada tanggal 25 September 1810, yang memaksa Bupati Wiranatakusumah II untuk memindahkan pusat pemerintahan kota kabupaten ke wilayah di sekitar tempat Daendels menancapkan tongkatnya.

Perjalanan Bandung--Tegal kali ini membuat saya seolah-olah menapaktilasi jejak sejarah asal mula terciptanya Jalan Raya Pos. Juga menelusuri jalan yang membentang sepanjang Jawa pantai utara yang lalu bergeser ke tengah di sekitar Jawa Barat melewati Sumedang, Bandung, Cianjur, Bogor, lalu naik lagi ke utara, ke Jakarta hingga berakhir di Anyer.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun