Mohon tunggu...
Himawijaya
Himawijaya Mohon Tunggu... Administrasi - Pegiat walungan.org

himawijaya adalah nama pena dari Deden Himawan, seorang praktisi IT yang menyukai kajian teknologi, filsafat dan sosial budaya, juga merupakan pegiat walungan.org

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

La Sape

13 November 2021   19:09 Diperbarui: 13 November 2021   19:17 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seorang pria kulit hitam, berjas cerah mencolok, berkaca mata hitam, sepatu mengkilat, payung tertutup digamit lengan kiri, berjalan dan berpose dengan latar belakang kawasan kumuh di Brazzaville, Congo. Tempat sampah, bau menyengat, lalu orang yang menyoraki kagum. 

Maxime Pivot sang pria itu, tersenyum girang, dia hanya butuh pengakuan saja. Pengakuan dari orang-orang di sekitarnya bahwa dia keren, dandy dan syukur-syukur dianggap kaya. Rasa amarah akan kenyataaan harian yang digelutinya, jadi pemantiknya. Amarah akan kemiskinan yang menggelayuti dirinya dan orang-orang sekitarnya.  

Ia tak terima realitas masyarakatnya, yang lapar di tengah sumber daya melimpah, kesulitan air padahal berada di pinggiran sungai Congo. Ketidakterimaan itu, mendorongnya membalik realitas, membangun realitas-semu. Itulah La Sape. Kumpulan orang-orang yang mendewakan "busana" dan tampilan.  Obsesi mereka akan merk pakaian ternama memang di luar batas. Satu potong jas bermerk mungkin berharga beberapa kali lipat upah beberapa bulan.

Anggota la sape disebut  disebut sapeurs. La sape adalah singkatan dari Socit des ambianceurs et des personnes elegantes atau Society of Atmosphere-setters and Elegant People. Sebuah komunitas pecinta fesyen. Biar miskin asal keren, biar lapar asal gaya, biar  bodoh asal bisa belanja.  Slogan-slogan para sapeurs perihal bagaimana mereka mengorientasikan hidupnya. Tentu saja setiap kultur punya "cara pandang unik" dalam memandang martabat seseorang. 

Di sebuah daerah, seseorang dipandang tinggi martabatnya jika dia sudah berhaji. Maka sepanjang hidupnya, upaya keras dilakukan, termasuk menjual sawah dan ladang, untuk menjadi haji. Dia butuh pengakuan dan kebanggan saja. Di daerah lain, seseorang dianggap bermartabat di masyarakat jika menampakkan kekayaan dalam bentuk pesta undangan. Pada pesta pernikahan anaknya, atau malah cuma khitanan saja.

 Mereka rela menghabiskan apa yang dipunya hanya untuk tampil seperti raja dan ratu sehari saja. Ada puas tak terperi ketika orang-orang berdecak kagum, memberikan pengakuan dan dia bisa eksis di masyarakatnya. Modal sosial utama untuk bisa diakui di komunitasnya.  Kebutuhan "pengakuan" ini, eksistensi dirinya di tengah "kerumunan".

Hal itu pula menjadi salah satu penghalang  program pengentasan kemiskinan di Bangladesh.  Bahkan Muhammad Yunus salah seorang pendiri Grameen Bank, pemberi pinjaman kredit untuk kalangan miskin sampai harus membuat belasan komitmen bagi para peminjamnya.  Ketidakberpihakan BANK besar bagi golongan lemah dan pinggiran, menjadikan  mereka sasaran empuk para rentenir.  Bunga yang tinggi dan mencekik semakin menjerat mereka ke dalam jurang lebih dalam. 

Tanah, alat produksi, rumah terkadang tergadai dan terampas begitu saja, menjadikan mereka menjadi  pengemis dan gelandangan. Di situlah peran Grameen yang dirintis Yunus. Kendati bergerak dari pemberian kredit skala kecil bagi kalangan bawah, Yunus menyadari pentingnya edukasi, edukasi dan edukasi. Pemberdayaan masyarakat dalam arti yang sebenarnya.

Bagi Yunus, bantuan mikrokredit tak  ada artinya sama sekali, jika para kreditur tidak mengubah cara hidupnya. Ada beberapa budaya di Bangladesh  yang sebenarnya bukan bagian dari ritual agama. Yakni masalah mahar pernikahan untuk pihak laki-laki. Ini yang menjerumuskan banyak pihak keluarga perempuan ke dalam kemiskinan dan isu-isu gender lainnya. 

Itu tak ada adalam praktik Islam. Kendati masyarakat menyebutnya sebagai budaya, tapi itu tak menemukan pijakan apa pun dalam ajaran agama. Tapi kan itu kultur yang melekat. Budaya yang semestinya dijunjung. Jalin berkelindan dengan tradisi dan agama.
Betul sekali, agama dan ibadah tentu saja mencuat sampai tingkat lahiriah dan ritual yang tampak. Haji, solat, kurban, puasa adalah ritual yang jasadiah. Tapi tujuannya adalah bathiniah. Ada kehaqiqian disana. Bukan daging dan darah yang sampai--dalam qurbab--tapi taqwa nya. Pakaian terbaik adalah taqwa, demikian tertulis dalam Quran suci.

Kondisi di Bangladesh sebenarnya cukup mirip dengan di sini. Masalah-masalah di level mikro tak jauh berbeda.
Bantuan apa pun hanya obat panasea semata, tanpa ada edukasi dan transformasi mental. Dari sinilah peran pendidikan di keluarga memegang kunci penting.

Bicara pendidikan keluarga, saya mencoba refleksi diri. Orang tua menanamkan rasa malu, jika berbuat tak sejalan dengan prinsip nilai. Semua pekerjaan bermartabat sepanjang halal. Sepanjang fluktuasi kehidupan yang saya jalani, rasanya tak susah juga menjalani profesi-profesi nonformal: pedang kaki lima, menjahit pakaian, jualan gorengan, tukang bersih kebun, petani,  bahkan di bidang IT pun saya merintisnya dari jualan komputer dan tukang servis, sampai akhirnya belajar sedikit pemrograman.
Miskin, kaya itu sekadar sebutan orang-orang saja. Masalah sudut pandang semata. Kita dipandang kaya oleh seseorang, tapi dinilai miskin oleh orang tertentu. Rasanya kekayaan ilmu, rasa syukur di bathin dan ahlak jauh lebih utama. Itu bisa diraih siapapun profesinya dan status sosialnya.

Ada sedikit cerita, saya waktu menjadi tenaga pengajar, sering sekali dikunjungi mahasiswa. Tak ada rasa apa pun saat itu. Yah di rumah kontrakan yang masuk ke gang sempit dan tanpa kursi. Jadi kalau ada tamu, gelar tikar saja. Rasanya kehidupan yang dijalani baik-baik saja. Sampai beberapa tahun kemudian, ternyata di belakang, saya disebut anak-anak mahasiswa sebagai dosen kere. Padahal, waktu orang tua berkunjung ke rumah, mereka sangat bersyukur  melihat saya menempati rumah yang cukup layak. Sekali lagi: kere, kaya, miskin, itu hanya masalah sudut pandang saja.

Dalam perkara makan pun saya dididik orang tua untuk tak terlalu repot, sepanjang halal dan baik. Jika di rumah tak ada lauk, saya biasa ke sawah, tegalan untuk memetik lalab-lalaban. Syukur-syukur bisa dapat ikan di sungai atau situ. Tak ada nasi, saya biasa menggantinya dengan singkong yang diolah menjadi seperti nasi. Kami menyebutnya nasi-oyek.

Tentu saja, kita tak bisa mengkondisikan kehidupan sekarang dan menariknya seperti saya menjalani dulu. Setiap masa ada ujian dan medan didikannya sendiri.  Tapi prinsip, nilai dan ajaran kehidupan tetaplah berbasis nilai dan etika yang sama. Agama mengutamakan hal yang lebih hakiki.  Kita semua dituntut untuk mengenakan pakaian yang sesuai kadar dan kodrat pribadinya. 

Berbaju lah secara lebih hakiki  : ilmu dan bukan gelar, ahlak bukan tampilan, esensi kerja dengan penuh cinta dan syukur bukan jenis pekerjannya, makan yang sederhana dan thayib bukan wah tapi tidak baik. Taqwa adalah sebaik baik baju.  Memiliki rasa malu jika dipandang tak berahlak. Tentu tidak mudah untuk tetap memegang prinsip dengan teguh,  di tengah zaman di mana yang superfisial dirayakan, konten receh dan jumlah subscribe jadi ukuran sukses.  

Kita dihadapkan pada pilihan, apakah kita akan berbaju seperti para sapeurs? Diakui oleh kerumunan orang, tapi sejatinya itu adalah kepalsuan?  Atau kita lebih mengutamakan sesuatu yang jauh lebih hakiki, kendati kita tak mencolok di tengah kerumuman, tidak eksis.  Tapi jauh lebih berharga, kekayaan bathin kita menjadi kilau permata di tengah pasir, di hadapan-Nya. Dengan berbaju taqwa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun