Bicara pendidikan keluarga, saya mencoba refleksi diri. Orang tua menanamkan rasa malu, jika berbuat tak sejalan dengan prinsip nilai. Semua pekerjaan bermartabat sepanjang halal. Sepanjang fluktuasi kehidupan yang saya jalani, rasanya tak susah juga menjalani profesi-profesi nonformal: pedang kaki lima, menjahit pakaian, jualan gorengan, tukang bersih kebun, petani, Â bahkan di bidang IT pun saya merintisnya dari jualan komputer dan tukang servis, sampai akhirnya belajar sedikit pemrograman.
Miskin, kaya itu sekadar sebutan orang-orang saja. Masalah sudut pandang semata. Kita dipandang kaya oleh seseorang, tapi dinilai miskin oleh orang tertentu. Rasanya kekayaan ilmu, rasa syukur di bathin dan ahlak jauh lebih utama. Itu bisa diraih siapapun profesinya dan status sosialnya.
Ada sedikit cerita, saya waktu menjadi tenaga pengajar, sering sekali dikunjungi mahasiswa. Tak ada rasa apa pun saat itu. Yah di rumah kontrakan yang masuk ke gang sempit dan tanpa kursi. Jadi kalau ada tamu, gelar tikar saja. Rasanya kehidupan yang dijalani baik-baik saja. Sampai beberapa tahun kemudian, ternyata di belakang, saya disebut anak-anak mahasiswa sebagai dosen kere. Padahal, waktu orang tua berkunjung ke rumah, mereka sangat bersyukur  melihat saya menempati rumah yang cukup layak. Sekali lagi: kere, kaya, miskin, itu hanya masalah sudut pandang saja.
Dalam perkara makan pun saya dididik orang tua untuk tak terlalu repot, sepanjang halal dan baik. Jika di rumah tak ada lauk, saya biasa ke sawah, tegalan untuk memetik lalab-lalaban. Syukur-syukur bisa dapat ikan di sungai atau situ. Tak ada nasi, saya biasa menggantinya dengan singkong yang diolah menjadi seperti nasi. Kami menyebutnya nasi-oyek.
Tentu saja, kita tak bisa mengkondisikan kehidupan sekarang dan menariknya seperti saya menjalani dulu. Setiap masa ada ujian dan medan didikannya sendiri. Â Tapi prinsip, nilai dan ajaran kehidupan tetaplah berbasis nilai dan etika yang sama. Agama mengutamakan hal yang lebih hakiki. Â Kita semua dituntut untuk mengenakan pakaian yang sesuai kadar dan kodrat pribadinya.Â
Berbaju lah secara lebih hakiki  : ilmu dan bukan gelar, ahlak bukan tampilan, esensi kerja dengan penuh cinta dan syukur bukan jenis pekerjannya, makan yang sederhana dan thayib bukan wah tapi tidak baik. Taqwa adalah sebaik baik baju.  Memiliki rasa malu jika dipandang tak berahlak. Tentu tidak mudah untuk tetap memegang prinsip dengan teguh,  di tengah zaman di mana yang superfisial dirayakan, konten receh dan jumlah subscribe jadi ukuran sukses. Â
Kita dihadapkan pada pilihan, apakah kita akan berbaju seperti para sapeurs? Diakui oleh kerumunan orang, tapi sejatinya itu adalah kepalsuan? Â Atau kita lebih mengutamakan sesuatu yang jauh lebih hakiki, kendati kita tak mencolok di tengah kerumuman, tidak eksis. Â Tapi jauh lebih berharga, kekayaan bathin kita menjadi kilau permata di tengah pasir, di hadapan-Nya. Dengan berbaju taqwa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H