Dari Blora, ada tempat Balun Saudagaran, ada kisah Pajang dan Mataram. Di Blora pula, urusan-urusan tata kelola data, satu data, dijajaki dan mencoba diurai. Sembari mengerjakan perkara-perkara teknis dalam tata kelola data, ada panjat doa yang diguriskan di hati. Semoga kami tidak salah membaca angin dan arah zaman, urusan zaman ini.Â
Upaya membaca urusan zaman ini, tentunya tak bisa terlepas dari bentang urusan yang  terhampar dalam sejarah di masa lalu, maupun dalam bentang alam di masa kini. Membaca Blora, membaca kisah Walisongo, membaca Demak, menggali kisah sang Pati Unus sebagai ujung tombak dari Dewan Walisanga, yang berhadapan dengan bangsa pembawa antitesa, sebagai lawan dari  "kesisteman dharma", yakni bangsa Portugis, bangsa mleccha.  Jalinan kisah yang terbuka saat membaca bentang alam selama melayari bumi jagat, selaras dengan pembacaan bumi diri.
Dari Blora, saya menuju Pekalongan. Teringat bagamana jalur perdagangan batik antara Pekalongan dan Tasikmalaya, kota kelahiran saya. Mengingat kisah Pati Unus, serta merta saya juga teringat beberapa keluarga, yang berkisah tentang leluhurnya, keturunan laskar Pati Unus yang tidak mau kembali ke pantai utara dan memilih tinggal di kota Tasik. Menurut kisahnya, Tasik sendiri berasal dari Tumasik, Singapura sekarang, yang di era lalu sebagai bagian dari kerajaan malaka. Membaca Gunung Muria  saya teringat Gunung Galunggung. Dua pasak di Pulau Jawa ini sebagai dua wilayah penentu musim.
Dari Blora pula, ada cita-cita yang terbangun. Arus mesti dibalik kembali. Pengetahuan agama yang hakiki, perkara kejatidirian akan dibawa ke utara kembali. Jung-jung yang besar, yakni perangkat-perangkat keilmuan di era kini akan membawa khazanah keilmuan mengarah balik, ke utara. Sekira 500 tahun kemudian, setelah 1511. Insya Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H