Mohon tunggu...
Himawijaya
Himawijaya Mohon Tunggu... Administrasi - Pegiat walungan.org

himawijaya adalah nama pena dari Deden Himawan, seorang praktisi IT yang menyukai kajian teknologi, filsafat dan sosial budaya, juga merupakan pegiat walungan.org

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membaca Langit Mengolah Bumi

10 November 2021   20:46 Diperbarui: 10 November 2021   21:00 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

tanggal kidang turun kujang
kidang ngarasangsang kudu ngahuru
Kidang mancer kudu ngaseuk
kidang marema turun kungkang ulah melak pare

Ketika bintang kidang muncul, pisau kujang digunakan.
Ketika bintang   kidang mulai naik, harus membakar semak.
ketika bintang kidang di atas kepala, harus menanam padi.
Ketika bintang  kidang sudah padam, turunlah serangga hama.

ungkapan pranata mangsa suku baduy

Puun, atau ketua suku Baduy, dibantu Jaro adalah penentu dan pemutus "mangsa". Kapan waktu berhuma diawali, kapan mengolah dan membakar rerumputan dilaksanakan. Juga penentu kapan seren tahun dilakukan. Berbekal kolenjer, sebuah alat kayu sederhana, perhitungan waktu diukur cermat. Dari membaca konstelasi benda langit pada kurun tertentu, setiap mangsa ditata, diskemakan. Ciri-ciri dan fenomena di bumi secara teliti ditelisik, lalu dilekatkan pada kurun tertentu dan tanda di angkasa: berupa konstelasi rasi bintang dan benda langit lainnya.

Ada masa bertani bukan sekadar menghasilkan apa yang bisa dimakan. Tapi bertani adalah sebentuk cara hidup, cara menjalani kehidupan, cara  mengolah budhi. Olah budhi yang mewujud dalam laku merawat tanah, menumbuhkan tanaman, melakoni laku tani yang menyatu dalam keseharian. Panen tak sekadar upaya mengambil hasil bumi semata. Tapi dilakoni  dengan penghidmatan tertentu, sebentuk ritual, penghormatan  kepada sang Pemelihara bumi yang memberi keberkahan. Mengolah tanah dengan tanpa luput membaca alam. 

Dalam pengertian, mengolah tanah seraya membaca pola-pola interaksi antar-sistem: di udara, di bumi, pada cuaca dan pada pergerakan bintang di langit. Rumusan-rumusan pola itu lalu dibakukan, diskemakan dalam kalender-kalender musim yang disebut pranatamangsa. Fenomena di bumi, pola-pola kelahiran, pertumbuhan dan kematian setiap hewan, tanaman dan pepohonan ditarik langsung kepada kejadian di langit: udara, rasi bintang, matahari dan rembulan.  Tak luput, mitos disertakan didalamnya. Karena, ada masa di mana mitos adalah sebentuk cara memahami realitas yang berlaku di kala itu.

Suku Baduy di Banten  adalah salah satunya, yang ditenggarai mewarisi kearifan asli cara hidup sunda buhun, sampai kini masih menggunakan patokan pranata-mangsa untuk bercocok tanam. Terutama dalam perkara berladang atau berhuma. Suku Baduy menggunakan bintang kidang (rasi bintang waluku) dan bintang kartika (pleiades) sebagai penentu musim. Apa yang tampak di langit gejalanya ada di bumi. Suatu cara memandang semesta yang menyeluruh, yang holistik.

Ambil contoh, satu fenomena atau ciri di bumi, semisal adanya sarang laba-laba di rerumputan, yang bolong di tengah dan laba-labanya berada di pinggir, bukanlah perkara sepele. Ada interaksi ruwet, jalinan rumit yang membentuk fenomena. Interaksi antar-sistem lingkungan dan aneka mahluk hidup lainnya. 

Di waktu tertentu, pada temperatur tertentu, kelembaban tertentu, sinar matahari tertentu yang membuat fenomena itu hadir. Itulah yang ditelisik, membaca pola kehadirannya dan dikaitkan dengan ragam fenomena lainnya: di langit dan di bumi.  Pohon kanyere yang matang di pohon adalah pertanda datang kemarau.

Bentang kidang yang nampak di langit di akhir malam, memiliki pola serupa dan berkait di bumi. Bentang kidang di langit sana,  secara penampakan mirip sarang lancah (laba-laba) kidang di rerumputan di tanah. Orang Baduy tidak perlu bangun subuh untuk melihat bentang kidang. Dari pengalaman praktisnya mereka memanfaatkan pula gejala alam lainnya. Cukup melihat sarang lancah  kidang yang sarangnya berlubang (bolong), saat itulah bentang kidang juga muncul. Ada keterkaitan, jalinan relasi antara di langit dan di bumi.

Cara pandang menyeluruh ini lebih sering disebut holistik, holisme. Terkhusus  dalam cara memandang alam secara utuh disebut  sebagai ecofemonisme. Terkadang  dinamai deep ecology atau social ecology. Nama bisa beda, tapi secara praktik sudah dilakukan di banyak tradisi. Hanya orang modern saja yang lantas memberi nama lain, atas praktik dan cara pandang yang sama yang dilakukan semenjak era lampau.  Saya pribadi menyukai istilah agro-ekologi. Apakah masih relevan membuka kembali khazanah tradisi perihal pranatamangsa?  Apakah masih perlu pranata-mangsa bagi para petani?

Untuk menjawab ini, setidaknya membutuhkan telaah atas cara bertani dalam kurun belakangan ini. Sebelum revolusi hijau, bertani melekat dengan tradisi dan budaya. Bertani tak sekadar bertujuan tunggal : memperbesar hasil biomassa semata. Bertani adalah sebuah cara memelihara alam dan kehidupan. Bertani tak sekadar fokus pada tanaman tunggal semata, atau yang disebut monokultur. Hama, gulma, serangga, burung tak melulu dipandang pengganggu. Tapi sebuah mata rantai, sebuah ekosistem, jaring-jaring kehidupan yang jalin berkelindan.

Sampai kemudian cara bertani yang holistik ini mulai ditinggalkan dan bergeser. Revolusi hijau mengubah semuanya.  Revolusi hijau berangkat dari asumsi bahwa sumber pangan terbatas, maka perlu adanya revolusi cara bertani. Penggunaan input luaran  mulai diperkenalkan, benih unggulan, mekanisasi cara mengolah tanah dan pertanian monokultur yang memusnahkan keanekaragam hayati (biodiversity). Korporasi besar masuk ke dalam rangkaian proses bertani, mulai dari pupuk buatan, zat kimia pembunuh apa yang dianggap sebagai hama dan gulma sampai penyediaan benih.

Tentu saja dalih modernisasi dan penggunaan sains dan teknologi acapkali jadi dasar bagi pembelaan revolusi hijau. Lompatan besar pertanian, revolusi hijau, faktanya dimulai setelah Perang Dunia. Pabrik-pabrik kimia yang riset dan produksinya berlandaskan kebutuhan perang: mesin perang dan zat kimia pembunuh manusia. Ketika perang berakhir, mereka butuh target pasar. Dan itu adalah mahluk-mahluk hidup yang dianggap hama, di bidang pertanian.

Klaim revolusi hijau ditentang dengan gigih oleh seorang aktivis India, Vandana Shiva. Telaah dan riset multidisiplinnya :kajian sosial budaya dan saintifik dilakukannya. Risenya mengambil tempat di sebuah wilayah yang menjadi asal riset Revolusi hijau digalakkan di negerinya, yakni wilayah Punjab. Semua riset dan hasil penelitian perihal dampak revolusi hijau ia tuangkan dalam sebuah buku :  The Violence of Green Revolution.

Shiva mengukur bagaimana dampak setelah 20 tahun revolusi hijau digalakkan di wilayah Punjab. Implementasi revolusi hijau bisa disederhanakan : penggunaan pupuk kimia, pestisida dan herbisida, penggunaan benih unggilan hasil rekayasa labortaorium dan monokultur.

 Punjab adalah wilayah subur, karena dialiri lima sungai besar. Apa yang terjadi setelah beberapa dekade penerapan revolusi hijau? Tampakan permukaan, kehidupan sosial masyarakat Punjab seolah tak berkaitan dengan penerapan revolusi hijau. Punjab menjadi salah satu wilayah yang sarat konflik sosial. Ribuan orang mati meregang nyawa akibat konflik sosial tersebut. Dari mana sumber konflik sosial. 

Dengan jernih, di buku ini, Shiva menguraikan bagaimana, penerapan revolusi hijau, yang fokus pada input luaran: pupuk perstisida, benih yang dipasok korporasi besar, mengakibatkan segregasi sosial. Petani-petani kecil tak bisa beradaptasi. Yang miskin tak berdaya. Benih yang disebut unggulan sangat membutuhkan pasokan air dan pupuk kimia dalam jumlah besar. Rebutan sumber daya air, konsep irigiasi besar yang salah, semuanya mengerucut ke dalam satu hal : konflik di masyarakat. Punjab menyisakan kisah duka mendalam, wilayah kedua yang berkonflik setelah Kashmir, di negeri India.  Janji kesejahteraan dan kemakmuran hanya dinikmati milik korporasi pemasok pupuk, pestisida dan benih.  

Bisa saja kita menganggap apa yang Vandana Shiva  ungkapkan sebagai gerundelan seorang SJW.  Kita tahu, sebutan SJW menjadi negatif belakangan ini. Tapi faktanya tak bisa didustakan.  Kurang dari 30 prosen pangan dipasok industri besar. 70% lebih pangan dunia ditopang oleh petani skala kecil, skala rumahan. 

Dan tentu saja, industri dan korporasi besar itu, sumbangan akan pangan sangat sedikit, tapi  berkontribusi terhadap pencemaran air dan udara lebih banyak: lebih dari 80% pencemaran. FAO mulai menyadari  hal ini. FAO mulai mengubah kebijakan resminya. Ia mulai mensupport konsep petani skala rumahan, small framing dan family farming dengan pertanian yang terinetgrasi dan multikultur yang mengedepankan konsep keanekaragaman hayati.  

***

Manusia, kepadanya diembankan sebuah misi: menjadi pemakmur bumi. Mendefinisikan pemakmurkan bumi terkadang perlu dimaknai secara literal---adalah bagaimana senyata-nyata cara mengolah tanah. Cara mengolah tanah ini berkait erat dengan cara kita memandang tanah, memandang alam dan kehidupan. Tanah tidak bisa dilepaskan dari satu kesatuan sistem. 

Agroekologi memandang tanah, tumbuhan dan hewan-hewan-hewannya, secara sehat dan proporsional. Ciri kesehatan itu adalah keanekaragaman hayati (biodiversity), sesuatu yang dimusnahkan dalam revolusi hijau. Tanah hanya dianggap sebagai sistem mekanis, input, output yang dipaksa untuk menumbuhkan biomassa secara tunggal.

Pemakmuran dan kekhalifahan bukanlah menundukkan alam. Tapi memberikan keadilan terhadap alam.  Keadilan dibangun atas dasar kepekaan. Kepekaan  akan adanya interaksi alam yang padu. Satu dengan yang lain sebagai sebuah kesatuan. Dan membaca pranata mangsa sejatinya melatih kepekaan, dengan melihat dan merasakan waktu, gejala alam yang nampak dan terinderai, serta membaca fenomena langit.  

Rumusan pranata-mangsa yang digunakan di suku Naga, Suku Baduy maupun suku tradisonal lainnya, juga yang diskemakan olehSultan Agung, lalu Paku Buwono VII, mungkin bisa jadi kurang tepat dalam kondisi masa kini. Tapi semuanya memiliki prinsip yang sama: bahwa alam sebagai satu kesatuan sistem. Semua mahluk hidup berada dalam jaring-jaring kehidupan.  Ada perubahan kondisi dan parameter  yang membuat pranatamangsa mesti dirumuskan ulang.  

Ditambah adanya  wahana modern yang bisa mengukur lebih akurat, misalnya IoT dan instrumentasi modern. Tapi kerangka dasarnya masih sama. Era kini wahana dan sarana melatih kepekaan dan  membaca alam bisa jadi lewat perangkat modern. Tapi sejatinya, itu dilakukan demi mencoba sikap adil terhadap alam, ramah dan merahmati alam. Rahmatan Lil Alamiin sebagai manifestasi dari keimanan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun