Agroekologi memandang tanah, tumbuhan dan hewan-hewan-hewannya, secara sehat dan proporsional. Ciri kesehatan itu adalah keanekaragaman hayati (biodiversity), sesuatu yang dimusnahkan dalam revolusi hijau. Tanah hanya dianggap sebagai sistem mekanis, input, output yang dipaksa untuk menumbuhkan biomassa secara tunggal.
Pemakmuran dan kekhalifahan bukanlah menundukkan alam. Tapi memberikan keadilan terhadap alam.  Keadilan dibangun atas dasar kepekaan. Kepekaan  akan adanya interaksi alam yang padu. Satu dengan yang lain sebagai sebuah kesatuan. Dan membaca pranata mangsa sejatinya melatih kepekaan, dengan melihat dan merasakan waktu, gejala alam yang nampak dan terinderai, serta membaca fenomena langit. Â
Rumusan pranata-mangsa yang digunakan di suku Naga, Suku Baduy maupun suku tradisonal lainnya, juga yang diskemakan olehSultan Agung, lalu Paku Buwono VII, mungkin bisa jadi kurang tepat dalam kondisi masa kini. Tapi semuanya memiliki prinsip yang sama: bahwa alam sebagai satu kesatuan sistem. Semua mahluk hidup berada dalam jaring-jaring kehidupan.  Ada perubahan kondisi dan parameter  yang membuat pranatamangsa mesti dirumuskan ulang. Â
Ditambah adanya  wahana modern yang bisa mengukur lebih akurat, misalnya IoT dan instrumentasi modern. Tapi kerangka dasarnya masih sama. Era kini wahana dan sarana melatih kepekaan dan  membaca alam bisa jadi lewat perangkat modern. Tapi sejatinya, itu dilakukan demi mencoba sikap adil terhadap alam, ramah dan merahmati alam. Rahmatan Lil Alamiin sebagai manifestasi dari keimanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H