Pendidikan tidak akan menolong kita selama tidak memberi tempat kepada metafisika. Apa yang diajarkan sains dan humaniora tidaklah berguna, kalau pengajarannya tidak membuka pintu kepada kepemahaman metafisika, perihal hakikat kehidupan. (halaman 88).
Gugatan Schumacher juga menohok cara memandang kerja dan pekerjaan. Ia melihat sifat sejati manusia adalah: berkreasi. Kreasi inilah yang seharusnya didorong dalam "bekerja": bekerja dengan tanpa bekerja. Sebuah pekerjaan yang inheren dengan masing-masing individu.
Bermula dari konsep etika yang belandaskan metafisika (keimanan terhadap Tuhan, pertanggung-jawaban terhadap jiwa manusia setelah mati), Schumacher lalu membangun dan menawarkan sebuah pengembangan teknologi yang berdasar kepada :
1. teknologi yang murah sehingga mudah dan bisa dijangkau semua orang
2. cocok untuk kegiatan kecil-kecilan
3. serasi dengan sifat kreatif manusia
Ketiga konsep ini yang dibungkus menjadi "Small is Beautiful"
***
Buku Bebas dari Pembangunan karya Vandana Shiva sebangun dengan apa yang dituturkan Schumacher. Jika Schumacher mengambil contoh metafisika agama Buddha dalam mengkritisi basis ekonomi modern, maka Shiva mendasarkannya kepada Prakriti (prinsip feminim):sebuah konsep kosmologi Hindu untuk mengkritisi konsep Pembangunan, Revolusi Hijau, Modernisasi dan Industrialisasi.
Bagi Shiva, konsep pembangunan modern, sejatinya adalah perpanjangan cara kolonial dalam mengeruk sumber daya alam dan sumber daya manusia di tanah jajahan, tapi dalam bentuk baru: neokolonialisme. Apa yang disebut modern, beradab, pertumbuhan ekonomi semuanya berbasis kepada paradigma reduksionistik semata.Â
Tidak memandang alam dan manusia secara utuh, holistik dan integral. Kritik Shiva ini berbasis kepada pijakan yang ia namakan prinsip feminitas : ekofeminisme, yang membawakan prisnip keseimbangan, keselamatan, kedamaiaan, kolaborasi dan bukan kompetisi, eksploitasi dan kehancuran.
Konsep Feminitas yang dibawakan Shiva sebenarnya juga mengkritik konsep dan teori feminis radikal yang semata bernuansa sexisme. Feminitas yang diusung Shiva, bukanlah dikotomi antara feminis-maskulin, tapi feminitas-maskulinitas (praktriti-purusha) dalam kesatuan, kesetangkupan.
Apa yang dipaparkan Shiva, mengingatkan saya dengan paparan Sachiko Murata dalam The Tao of Islam, yang memaparkan bagaimana prinsip-prinisp feminitas dalam doktrini kosmologi dan metafisika Islam.
Tidak hanya berhenti di kosmologi, Shiva juga memaparkan dengan cukup detail, bagaimana prinsip feminitas ini terbumikan dalam struktur sosial masyarakat. Sosok perempuan yang merawat ibu bumi, mengkonservasi tanah dan hutan, menyemai benih, cara bertani dan memproduki sumber pangan sesuai prinsip-prinsip alamiah. Beda sekali dengan cara yang dilakukan pembangunan modern dengan revolusi hijau: pupuk kimia, monokultur, pestisida, menghancurkan ekologi.