Mohon tunggu...
Himawijaya
Himawijaya Mohon Tunggu... Administrasi - Pegiat walungan.org

himawijaya adalah nama pena dari Deden Himawan, seorang praktisi IT yang menyukai kajian teknologi, filsafat dan sosial budaya, juga merupakan pegiat walungan.org

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Widya Laksana Caya

2 Januari 2019   12:18 Diperbarui: 2 Januari 2019   12:35 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengarang buku Toto Chan: Gadis Cilik di Tepi jendela, Tetsuko Kuroyanagi menuturkan bahwa kenangan akan melekat kuat jika itu adalah hal yang indah. Tapi tidak bagi kenangan buruk, ia akan terbenam dalam dan terlupakan tanpa sisa. Salah satu cara merawat kenangan indah; dengan menuliskannya. Pengalaman indah semasa sekolah di bekas Gerbong Kereta si penulis, dituangkan menjadi karya buku. Maka, setiap detail peristiwa, pengalaman ruang waktu di masa kecilnya, dilukiskan dengan sepenuh hati. Jadilah tulisan bernuansa empat dimensi. Membaca buku Toto Chan, seolah ada tarikan kuat. Kita hadir dalam suasana keceriaan dan keindahan masa sekolah. Dibetot masuk dalam ruang-waktu pengalaman nyata Tetsuko Kuroyanagi.

Baiklah, saya mencoba merawat ingatan tersebut. Untuk sekadar berbagi dan berterima kasih. Sekitar bulan Juni 1988, selepas Ujian Nasional SD, yang disebut Ebtanas, ibu saya dipanggil ke sekolah untuk menerima pembagian raport dan NEM. Suasananya masih membayang kuat. Peringkat satu di SD dan mungkin satu kecamatan saat hasil NEM diumumkan tidak membuat serta merta ibu tampak gembira. Keluar dari ruangan kelas, ia tampak masygul. Pesan wali kelas saat itu, sebisa mungkin saya harus melanjutkan ke SMP Negeri. Yang terbayang adalah biaya daftar ulang, SPP bulanan, kebutuhan seragam, sepatu dan sekian kebutuhan lainnya. Ini berat bagi kami. Tapi setidaknya kini, saya harus berterima kasih kepada wali kelas SD saat itu. Dengan anjuran dan amanatnya tersebut, setidaknya memberi semangat untuk melanjutkan sekolah. Tidak berakhir di lulusan SD.

Seperti halnya kakak saya, dan kebanyakan anak-anak di desa kami, pilihan melanjutkan sekolah tidak banyak. Cuma satu pilihan, yakni SMPN 6 Cilembang. Bukan karena perkara favorit tidaknya, tapi itulah SMP satu-satunya yang bisa ditempuh dengan jalan kaki atau bersepeda, menghemat ongkos. Singkat cerita, saya bisa masuk dengan mudah ke SMPN 6, menjalani sekian materi Penataran P4 dan Orientasi Sekolah.

Memasuki dunia baru, saya demikian takjub. Ada sekian bangunan berderet rapi. Lapangan luas, perpustakaan dengan sederet buku-buku bagus dan ruang laboratorium dengan mikroskop-mikroskop untuk menerawang dunia lain. Tentunya bandingan saya adalah sekolah SD sebelumnya. Di mana untuk sekadar bisa membaca buku perpustakaan, harus punya siasat agar bisa mengakses lemari buku tepat di depan meja Kepala Sekolah. Sekolah SD, tempat bermain bola adalah mata pelajaran pokok, sisanya dilalui sambil lalu. Bersekolah tak perlu bersepatu, asal seragam kumal pun jadi.

Pertama masuk SMPN 6 suasananya sangat ramai. Hiruk pikuk tapi mengesankan. Kami semua dengan seragam SD masing-masing dikumpulkan di Aula. Saat itu, bersepatu harus wajib. Saya lupa persisnya, saya memakai sepatu apa, karena kebiasaan di SD sebelumnya adalah bersandal jepit atau tanpa alas kaki. Aneka latar belakang anak-anak menyatu di sana. Pagi-pagi sekali, rombongan sepeda dari pelososok-pelosok kaki gunung Galunggung berdatangan. Yang tidak beruntung memiliki sepeda, harus rela berboncengan atau membonceng temannya yang memiliki sepeda sebagi balas jasa. Yang tak kebagian boncengan, akan naik-naik ke truk-truk pengangkut pasir Galunggung, seperti monyet-monyet kecil bergelantungan di pohon. Itu cara kami menghemat ongkos dan bea sekolah, karena sudah cukup beruntung orang tua kami yang kebanyakan buruh tani ini mengijinkan untuk sekadar melanjutkan sekolah. Saya sendiri, karena letaknya tidak di pelosok, cukup ditempuh dengan jalan kaki melewati pematang-pematang sawah.

Desa-desa dan kampung-kampung di Gunung galunggung, bercampur dengan anak-anak pinggiran kota dan sekitar Terminal bus menjadikan suasana gado-gado, ribut tidak karuan. Di hari pertama keributan sudah terjadi, anak salah satu pelosok Gunung Galunggung berkelahi dengan anak pinggiran kota yang katanya anak preman. Dua-duanya berbadan tinggi besar. Yah begitulah memang adanya.

***
Lukisan pagi yang eksotis : hawa sejuk bulan Juli 1988, bekas bakaran sekam padi tampak pucat, sebagian sawah yang selalu terairi sedang dibajak. Lenguhan kerbau ditimpali nyaring sang pembajak. Dengan bunyi khas memberi semangat, "Ideur, ideur". Sesekali si pembajak mendendangkan tembang sunda. Di pinggiran sawah, para ibu-ibu petani menyiapkan tempat persemaian benih padi. Anak-anak dari pelosok desa-desa kaki bukit Galunggung berjalan beriringan, melewati pematang-pematang sawah dan pinggiran-pinggiran sungai. Sebagian beriringan, dan sebagian lagi berjalan sendiri-sendiri. Asyik dengan lamunan dan terbawa suasana alam.

Semester 1, sekolah ditempuh dengan sekian penyesuaian. Sebelumnya, kegiatan berkutat di sekolah, sekolah agama, ngaji dan sisa waktu dihabiskan untuk bermain . Mencari kayu bakar di pelosok-pelosok pinggiran hutan dan bukit, menenteng golok atau pancing dan jala (kecrik) untuk ikan-ikan di situ-situ dan sungai. Itulah cara keluarga kami bertahan. Hasil tangkapan ikan atau kayu bakar, jika berlebih kadang dijual. Maka masuk ke SMP, kegiatan-kegiatan tersebut mulai tinggalkan. Paling saya mesti bangun lebih subuh, menyiapkan dan membuat kue-kue dagangan dan mengantarnya ke warung-warung di desa. Jika sedang suasana ramai, biasanya di bulan Juli, Agustus dan bulan-bulan Raya, saya nyambi menjadi pedagang kaki lima di jalan-jalan protokol kota Tasik.

Ketakjuban akan suasana baru, membuat saya bergairah akan setiap ilmu yang diajarkan. Kadang cita-cita berubah seketika. Mendapat pelajaran sejarah; sempat bilang ke ibu, ingin menjadi guru sejarah. Lalu bertanya kuliah di mana. Mencermati matematika dan fisika, ingin bercita-cita jadi ilmuwan; seperti Newton atau Einstein. Lalu berubah ingin menjadi seorang astronom, saat mendapat pelajaran IPBA.

Aneka pelajaran ditempuh dengan riang dan bersemangat. Waktu istirahat dihabiskan di perpustakaan; dengan sekian buku bagus yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Pertama kalinya saya berkenalan dengan Winnetou, Kara ben Namsi, kisah-kisah dan sastra-sastra Indonesia dan dunia. Setiap detail perihal sekolah akan mengguratkan memori demikian kuat. Lapangan basket, suara lonceng, bukit belakang kelas, tembok pembatas yang berlumut, guru-guru yang berdedikasi, segalanya seperti masih terasa lekat dan dekat. Tapi, ada satu kendala yang mengganjal. 
Setiap tanggal 15 adalah batas akhir iuran sekolah. Sekaligus rekapitulasi untuk cicilan bayar hutang uang bangunan dan daftar ulang. Untuk membuat disiplin, setelah lewat tanggal 15, diadakan pemanggilan murid-murid yang belum membayar iuran dan cicilan daftar ulang. Saya adalah salah satu diantaranya. Maksud pihak sekolah mungkin baik. Setidaknya dengan pemanggilan ini, kemungkinan iuran disalahgunakan murid menjadi kecil. Orang tua sudah memberi, sang anak bersiasat.

Karena seringnya dipanggil, saya jadi cukup dikenal sebagai pembayar yang telat. Ini berbanding terbalik dengan prestasi yang terbilang moncer. Prestasi demi prestasi saya berhasil raih. Bukan dengan semangat kompetisi, tapi memang sedang berada di masa bergairah dengan pengetahuan.
Akhir semester satu usai. Saya mendapat nilai sangat baik. Istilahnya juara umum. Tunggakan iuran dan uang bangunan belum lunas. Beberapa orang guru, mulai bertanya dan mencermati kehidupan saya. Sampai seorang Ibu Heni Widiastuti, lewat Yayasan yang diasuhnya memberikan saya beasiswa. Untuk mensiasati keperluan buku paket; beberapa guru bidang studi menawarkan kerjasama. Semacam simbiosis mutualisme mungkin. Saya bertugas sebagai pencatat cicilan murid-murid untuk buku paket dari beberapa guru, dan sebagai timbal baliknya saya mendapatkan satu buku gratis. Maka, masalah iuran, buku paket berhasil tersolusikan dan saya bisa lebih fokus belajar.

***
Sebuah jamaah, pemerintahan, lembaga, organisasi dan bahkan sekolah, bagaimanapun peranan pimpinannya sangat menentukan. Jika kepala ikan busuk, busuk pula keseluruhan badan. Pepatah yang cukup pantas. Saat itu, SMPN 6 dipimpin seorang yang memiliki idealisme yang baik. Seorang pendidik bervisi, Bapak Endi Noor Ranawijaya.

Sekolah tidaklah berkutat dengan masalah kepintaran akan satu segi keilmuan semata. Dulu belum dikenal multiple intelligence. Tapi secara praktik dan visi, ajaran ini sudah dilakukan. Hampir empat SKS dalam seminggu, ada bidang studi keterampilan, di mana para murid dipersilahkan memilih sesuai minat dan bakatnya.

Ada bidang masak-memasak, menjahit dan urusan kerumahtanggan yang dirangkum dalam keterampilan PKK. Ada pelajarang akunting dan bernuansa kesektretarisan dan keuangan sederhana, dirangkum dalam keterampilan Jasa. Ada Elekto, Seni Rupa/Lukis, Seni Musik, Otomotif dan Pertukangan/Perkayuan dan Anyaman. Saya masih ingat, sebagian besar murid yang berpostur besar dan terbiasa bekerja, akan lebih memilih pertukangan/anyaman dan otomotif. Agak mengerikan sih, di tas yang dibawa menonjol kunci inggris dan alat otomotif, dan ada juga yang membawa tatah, gergaji, palu dan golok.

Mata pelajaran keterampilan ini dirasa cukup tepat menyalurkan bakat dan minat. Pak Endi , sebagai kepala sekolah yang dikenal galak dan disipilin, langsung mengarahkan murid-murid untuk melakoni kegiatan ekstra kurikuler. Pramuka, OSIS, PMR, PKS, basket dan volley. Beberapa anak yang gemar adu fisik---istilah keren dari tukang berantem---dikumpulkan oleh Pak Endi dan langsung diajari beladiri : karate. Pak Endi adalah mantan pejuang yang memegang sabuk hitam karate. Dan lewat karate, kelebihan energi beberapa anak disalurkan secara positif. Pada masa Pak Endi juga dibuat papan seni, tempat di mana karya-karya seni (lukis, vignet, puisi, cerpen) ditempatkan. Dua minggu sekali, karya seni diperbaharui.

Sesekali Pak Endi akan masuk ke kelas-kelas, mengecek, memicu dan memacu para murid. Beberapa dipicu untuk tampil deklamasi, kadang ditest mata pelajaran.

Sebagian lagi obrolan yang menanamkan pentingnya integritas dan kejujuran. Dan pasti, para murid di masa ini akan hapal, pak Endi dan patroli kebersihannya.

Barang siapa kedapatan membuang sampah, akan didenda. Dendanya bermula 100 rupiah. Lalu naik menjadi 1000 rupiah. Lalu naik jadi 7000 rupiah. Sebuah angka yang terbilang besar. Tegas, dispiplin, aneka esktra kurikuler dibuat, pelajaran keterampilan diintensifkan. Itulah visinya.

Masa sekolah tiga tahun, 1988 s/d 1991, aneka prestasi sekolah terukir. Di masa ini, juara basket dan volley antar sekolah. Lomba cerdas cermat sampai penyelenggaraan catur.

Di masa ini pula, salah seorang murid, Dicky Zulkarnaen, si jago gitar menjadi tokoh utama pembuatan film, "Nyanyian Tanah Air" untuk acara film akhir pekan di TVRI, dengan lokasi suting di sekolah. Saya sendiri, secara pribadi mendapatkan 18 piagam dan juara. Satu di tingkat propinsi dan 3 untuk tingkat kabupaten. Prestasi sekolah ini juga merambah ke kegiatan-kegiatan lainnya. Salah satunya pramuka; keikutsertaan jambore dan sekian prestasi berhasil diraih.

Karena belum memiliki logo, di pertengahan tahun 1989, seoarang guru Bahasa Sunda, sekaligus pembina pramuka, Bapak Tatang Saputra, ditugaskan merancang logo untuk sekolah. Dibantu Pak Dedih sebagai guru Seni, seperti menggabunkan dua tipe orang : Pak Tatang yang filosofis dan Pak Dedih yang piawai menuangkannya dalam bentuk desain. Jadilah sebuah logo yang kuat. Motto dari logo sekolah adalah Widya Laksana Caya. Sebuah terjemahan leterlek dari sabda Baginda Rasul SAW, "Al-Ilmu Nurun". Ilmu adalah cahaya. Ia adalah penyingkir kegelapan, penyibak tabir kebodohan.

Saat itu, saya dan beberapa kawan yang duduk di kepengurusan OSIS, mendapatkan penerangan langsung dari Pak Tatang Saputra perihal makna dan simbolisme logo tersebut. Tentunya, sebuah kalimat visioner yang diteguhkan dalam bentuk logo, akan menegaskan ke arah mana tujuan pendidikan yang hendak diselenggarakan pihak sekolah. Widya Laksana Caya adalah landasan yang mendasari pendidikan. Bahwa tujuan pendidikan adalah pembekalan ilmu pengetahuan sekaligus keterampilan yang berguna sebagai penerang kehidupan. Sekolah bukanlah investasi material.

***

Tiga tahun terasa cepat. Tapi padat dan kuat secara kenangan dan pengalaman. Ingatan saya akan guru-guru yang baik dan mendukung. Saya mengingat semuanya. Pak Sugeng yang guru matematika, dengan lontaran-lontaran nasihatnya.

Bahkan, nasihat Pak Sugeng di lapangan upacara, "Seorang pemimpin haruslah punya tongkat di tangan kanan untuk mengarahkan, dan cermin di tangan kiri untuk berkaca", masih melekat kuat hingga kini.

Pak Dedih dan Pak Embas yang bermarkas di perpusatakaan dan mengijinkan saya mengakses buku-buku referensi yang aneh-aneh. Bu Dewi Sartika yang mengajarai saya keterampilan solder dan ilmu-ilmu eksak. Sampai debatnya dengan beliau tentang masalah UFO. Bu Imas Maskana, yang dengan antusias selalu melatih dan mengajak saya bicara bahasa Inggris. Semunya masih saya ingat.

Masa itu hampir usai. Tiga tahun terlewati. Setelah hasil pengumuman Ebtanas, di mana saya mendapat nilai tertinggi sekaligus juara umum, Bu Heni lagi-lagi menawari saya untuk melanjutkan ke sebuah STM swasta, dengan tanpa biaya. Semuanya akan dijamin dan gratis. Saya tinggal belajar dan diberikan uang saku.

Tapi minat saya terhadap ilmu-ilmu sains dan sastra, ketimbang keterampilan teknikan, lebih kuat. Tawaran itu saya tolak dengan halus, dan saya mengatakan kemungkinan akan melanjutkan ke SMA Negeri. Tapi guru-guru di sekolah ini terlalu baik. Mereka ingin memastikan saya melanjutkan sekolah. Lalu beberapa di antaranya berinisiatif mengumpulkan donasi, dan memastikan saya bisa membayar uang masuk ke SMA.

Detail kisah di masa 3 tahun ini cukup kuat di ingatan. Tulisan ini adalah untuk merawatnya, memunculkan kembali kebaikan guru-guru di SMP ini. Kawan-kawan yang beraneka latar belakang. Ingin saya membalas kebaikan guru-guru di sana.

Seorang guru, tetaplah seorang guru. Layak dihormati atas ilmu-ilmu yang diajarkannya. Dan salah satu cara berterima kasih, adalah menjadikan ilmu itu penerang kehidupan diri sendiri, juga orang lain. Penerang dalam bentuk amal shalih. Kebaikan buat semua. Widya Laksana Caya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun