Sebatang jerami adalah penanda. Kita tahu, jerami adalah keluaran dari proses panen yang dianggap sampah. Tapi bagi Fukuoka, justru dari sampah inilah, sebuah revolusi digaungkan. Sebatang jerami yang tercecer dipungut Fukuoka, disatukan dengan jerami-jerami lainnya, lalu tanpa perlu dipotong atau dibakar, digeletakkan begitu saja bertebaran secara alami di bekas lahan panen padi.Â
Secara alami, membusuknya jerami, lalu menjadi kompos ,dalam rentang waktu tertentu, sampai tanahnya menjadi siap ditanami benih. Di saat inilah waktu yang teoat untuk menyemai benih. Pengendalian hama, air, cara bertanam, siklus menanan dibuat sealami mungkin. Dan hasilnya, terbukti nyata mengalahkan cara pertanian modern dengan sekian pupuk kimia, pestisida, boros air dan kualitas makanan yang terdegradasi.
Revolusi sebatang jerami adalah revolusi cara kita hidup: Mengubah Sampah Menjadi Emas.
***
Butuh 25 sampai 40 tahun untuk mengubah tanah yang sudah terkontaminasi kimia, yang keras dan kering menjadi lembut dan penuh humus, begitu menurut Fukuoka. Sebuah upaya dan perjuangan sepanjang sisa hidupnya. Bagaimana upaya Fukuoka mentransformasi tanah/bumi, sejatinya adalah upaya mentransformasi cara pandang terhadap tanah itu sendiri.Â
Tanah bukan sekadar alat atau mesin produksi semata. Ia adalah semesta yang melingkupi kita. Bagian pembentuk jasad kita: air, udara, bumEarthing, bertelanjang kaki dan membiarkan telapak kaki menyentuh tanah dipercaya membawa kesembuhan. Sama halnya dengan grounding dalam listrik, dengan menginjak tanah dan membiarkan tubuh bersentuhan langsung dengan bumi, ibu bumi, maka elektron-elektron bebas dari tanah akan mengalir ke tubuh, membuat aliran energi di tubuh menjadi lancar. Kelelahan, sukar tidur, stress, vertigo dipercaya sembuh dengan earthing ini, alias dengan bertelanjang kaki.
Bersentuhan dengan alam: menginjak tanah, menghirup udara, merawat mata air, diterpa sinar mentari sebagai sang api, adalah episode yang melekat dengan kehidupan seoarang insan. Tanpa itu semua, gagasan pemakmuran bumi, sebagai tugas manusia, mandat dari Gusti, tidak akan membumi. Karena amal membutuhkan ruang waktu, dan kosenp ruang adalah empat unsur, semesta di mana kita berpijak.
Karena itu, hampir di semua tradisi-tradisi dunia, khususnya di Indonesia, ketika seorang bayi/anak mulai merangkak dan berjalan, ia harus diperkenalkan untuk menginjak tanah, menyentuh bumi. Di jawa di kenal sebagai tedhak siten (tedhak siti) yang artinya menginjak/turun tanah. Di Sunda disebut "turun taneuh". Di suku-suku melayu, dayak juga dikenal upacara ini.
Sebuah ritual atau prosesi adat diselenggarakan, adalah dalam rangka mengIlahikan sebuah kurun, kejadian atau sebentuk ruang. Kejadian dimana terdapat transisi di dalamnya, atau kejadian penting. Lalu kemudian dimistifikasi, dibuat Ilahi, sebagai bentuk doa syukur, atau doa minta perlindungan. Kelahiran, pernikahan, kematian adalah prosesi yang umum ditradisikan.Â
Tentu saja, menginjak tanah adalah proses penting juga, dimana seorang anak, pertama kalinya disentuhkan dengan semestanya. Tradisi digelar, doa dipanjatkan, berharap anak tersebut, kelak menjadi pemakmur bumi, sesuai mandat Gusti kepada setiap insan.
Begitulah, Fukuoka adalah jelmaan-jelmaan petani yang memiliki pijakan tehadap bumi dan semestanya. Revolusi sebatang jerami, adalah bagaimana mengolah apa yang dianggap sampah, tak berguna.
Cara hidup dan cara pikir Fukuoka layak digali kembali, di tengah zaman kewolak-walik: petani memakan raskin, nelayan kekurangan protein, ulama yang tidak faqih, dokter yang penyakitan, pedagang yang selalu rugi dan tak bisa bersedekah. Pasti ada yang salah dengan cara pandang kita. Cara pandang yang tidak membumi.
**
Anak saya yang tengah, si Ayya yang cantik lalu bertanya, "terus kapan Bapa belajar dan baca bukunya?"
Saya jawab, "kalo pergi ke sekolah, yah sambil baca buku. Pernah lagi baca buku, terasa ada yang hangat di kaki, eh ternyata nginjak ee kebo". Dan anak-anak pun tertawa lepas.i/tanah dan api adalah diri kita sendiri.