Barangsiapa yang hatinya terbakar api cinta, mesti sadar akan satu sisi lainnya. Kepedihan, rasa sakit yang begitu mendalam dan keterpisahan adalah sisi lain dari cinta yang memabukkan. Ia yang tangguh menanggungnya, dengan rasa girang dan tanpa ratapan, ialah yang berhasil membuktikan apa yang menyala dalam dadanya : rasa cinta yang agung, tulus dan penuh pengabdian.
Seorang sufi Andalusia, Ibnu Arabi—yang juga hidup sejaman dengan Rumi—menggubah puisi, “aku mengikuti agama Cinta, ke mana pun unta-unta Cinta itu berbelok, di sanalah Cinta menjadi agama dan kepercayaanku”. Mengkuti jalan Cinta memang tidaklah mudah. Terkadang berbelok di sebuah jalan yang seolah salah dalam pandangan manusia. Tapi, tentu tidak dalam pandangan penuh kasih Tuhan. Bukankah Dia sendiri yang menarik manusia-manusia terpilih untuk mengikuti jalan-Nya, sekaligus menaunginya.
Jalan Cinta, sebagaimana menjadi tema utama novel ini, digambarkan selalu punya dua sisi. Menyatu utuh lantas terpisahkan, bahagia dan memendam lara, suka cita sekaligus menahan luka. Mengapa demikian? Karena transformasi batin, demi pengenalan akan Dia yang Maha Indah, hanya terjadi pada hati yang terbolak-balik menerima tempaan-Nya, mengalami fase-fase dualitas sampai akhirnya bisa lepas darinya, dan tertinggal satu rasa saja : mensyukuri apa pun yang hadir di hadapannya. Karena seperti kata Rumi, dalam reruntuhan hatilah terdapat harta karun yang terkubur. Karena dalam hati yang berdarah-darahlah akan kau temukan Tuhan (hal 297).
***
Sosok Kimya sebagai tokoh utama dalam novel ini masih kontroversi, tapi keberadaan k kMaulana Rumi, Syams dari Tabriz, dan beberapa sufi yang disebut di buku ini, tak perlu lagi diperdebatkan. Kimya, gadis cilik yang lahir dan tumbuh di pegunungan Taurus, seringkali mengalami kondisi ‘hilang’. Ia menjadi lupa akan keberadan dirinya. Ruang dan waktu bahkan tidak bisa memenjara lagi jiwanya. Untuk gadis cilik seperti dia, sikap dan pertanyaan yang diungkapkan nampak aneh dalam pandangan umum.
Kehidupan alamiah dan murni ini, beserta lingkungan para petani dan penggembala, membuat Kimya dan juga orang-orang di desanya lebih memandang kehidupan dengan apa adanya. Polos, jujur, dan memandang masa depan sebatas bagaimana supaya panen esok hari bisa berhasil, atau apakah besok hujan, kering atau ada badai. Bahkan tak sempat lagi memikirkan perbedaan di antara mereka. Farouk, ayah Kimya adalah keturunan pengembara di padang rumput Samarkand. Keluarga Farouk termasuk pemeluk islam yang baru. Evdokia, isteri Farouk, berasal dari keluarga petani, dan memeluk agama Kristen. Ada juga Serena, si peramu obat-obatan yang masih pagan, tapi memiliki pandangan yang bijak. Semua perbedaan tersebut lebur, menyatu, dalam warna kehidupan pedesaan.
Kehidupan yang tenang ini, terusik dengan kehadiran seorang sufi pengelana yang datang dari Konya. Ahmed, demikian nama sang sufi, memilih tinggal di gua di pinggiran desa, dan menempa jiwanya melalui jalan pengasingan diri. Kimya dan beberapa anak desa terbiasa mengantarkan makanan atau sekadar sayur dan buah untuk Ahmed. Sebagai imbalannya Ahmed mengajari Kimya bahasa Yunani dan Persia, juga membaca dan menulis. Hasrat yang menggebu terhadap pengetahuan dari seorang gadis kecil ini, berbenturan dengan kondisi di desa yang tidak mendukung. Seorang pendeta desa, dan juga Ahmed, meminta Farouk agar mengririmkan Kimya ke kota Konya untuk belajar.
Alur cerita kemudian berpindah dari pegunungan Taurus, dan kehidupan desanya, ke kota Konya yang kosmopolit. Dengan berat hati Farouk harus mengikuti saran pendeta, juga saran Ahmed dan Serena. Ia akhirnya mengantarkan Kimya untuk belajar ke Konya. Semula, sesuai pesan terakhir sang pendeta, Farouk akan menitipkan Kimya di Gereja St. Peter, dan diasuh oleh seorang suster. Tapi takdir Tuhan menghendaki lain. Sang suster tidak ditemukan, malah Farouk bertemu dengan Maulana Rumi, yang meminta anaknya untuk dititipkan kepadanya. Jalan cerita kemudian beralih, kepada kehidupan di keluarga Maulana, berikut Kimya di dalamnya.
Perjumpaan Maulana Rumi dengan Syams—sang matahari yang berpijar—menggemparkan seisi kota, karena seolah dua kekasih yang sedang mabuk dan tak lagi peduli dengan orang-orang. Rumi, yang menjadi guru agama formal di sebuah madrasah, dengan tiba-tiba seperti terkena percikan api yang dijentikan Syams. Hingga satu waktu Rumi lebih sering berada di bilik kamar bersama Syams. Bertukar pengetahuan, atau pun duduk dalam diam dan hening. Lain waktu lagi, ia terlihat menari sambil diiringi musik dan nyanyian. Tapi di akhir cerita, Syams pergi tanpa pesan, membuat seruling jiwa Maulana Rumi merintih lirih. Juga dengan Kimya, setelah resmi menjadi isteri Syams, ia harus hidup dalam dua kondisi, yakni bahagia berada di sisi seseorang yang penuh limpahan pengetahuan, sekaligus kesepian dan terluka oleh beberapa sikap Syams, yang terkadang tidak mengenali dirinya—manakala sedang asyik dalam munajat, sujud kepada-Nya.
Dari kisah inilah kita bisa paham bahwa jalan Cinta memang bukan sekadar jalan ratapan atau sekadar ungkapan letupan emosi diri. Jalan Cinta adalah jalan kekaguman atas keindahan Wujud Tuhan. Ia butuh penglihatan dan landasan pengetahuan. Dan bagi mereka yang buta dalam pengetahuan, ikutilah kemurnian hati, bersikaplah lugu, tanpa prasangka dan tidak memaksakan diri untuk mengerti, seperti saran Sadruddin Qanawi terhadap Akbar (hal 311). Atau bersikaplah seperti Kimya, yang rela hatinya ditempa tangan kukuh Syams, sang suami, sekaligus simbol sang Ruh yang menyinarinya. Meski dengan begitu, ia harus menanggung gunjingan dan celaan dari banyak orang.
Rumi mengikuti jalan Cinta yang dibawa Syams dibawah landasan pengetahuan, dan Kimya mengikutinya dengan kemurnian hati dan ketaatan.
***
Konya dan kota-kota di sekitar Turki tahun 1200-an memang sedang menjadi pusat dunia. Lokasinya di persimpangan beberapa kebudayaan besar yang sedang perlahan runtuh, akibat perang agama, invasi bangsa barbar, maupun rebutan tahta, menjadikannya sebagai tempat yang cocok untuk bernaung. Di kampung halaman Kimya, ada beberapa keluarga yang memang datang mencari perlindungan. Di kota Konya sendiri, tinggal orang-orang dari Asia Tengah, dari wilayah Samarkand, atau kota Balkh, seperti Farouk dan Maulana Rumi. Ada juga orang-orang dari sekitar Laut Kaspia, seperti Syams, atau dari Byzantium, Persia, Arab, Yunani, Romawi, bahkan sisa-sisa tentara Mongol dan tentara salib di Eropa. Kondisi inilah yang nantinya akan menumbuhkan tunas kebudayaan baru, khas Turki. Seperti baju gamis dan kopyah merah, tarian berputar para darwis dengan ney dan harpa yang mengiringinya
Mencermati kata Kimya, kita akan menemukan padanannya dengan kata alkemi, yakni cabang ilmu yang berkembang dari upaya mengubah jenis logam perak, atau tembaga menjadi emas. Kimya atau alkemi dengan demikian adalah lambang transformasi diri. Cinta adalah potensinya, Wujud Keindahan adalah tujuannya, jiwa yang dahaga adalah objek transformasinya. Novel Kimya memang bicara tentang bagaimana proses transformasi dari orang-orang yang terluka karena mengikuti jalan Cinta. Farouk, Syams, Maulana Rumi, Alaudin, Akbar, Ahmed, termasuk Kimya, yang sedari masih kecil punya potensi dan bakat spiritual, yang menunggu waktu untuk ditempa.
Kalima-kalimat bijak yang terlontar dari percakapan dalam novel ini sangat mencerahkan. Ia merujuk kepada karya-karya puisi Rumi seperti Fihi ma Fihi, Matsnawi, maupun Diwani Syamsi Tabriz, yang keluar dari orang yang penuh gelora cinta. Dan Muriel Maufroy, pengarang novel ini, cukup berhasil merajut kalimat-kalimat bijak tersebut ke dalam jalinan dialog maupun narasi cerita. Sungguh tak heran, di samping sebagai seorang yang mempelajari kebudayaan Persia dan karya-karya Rumi—salah satu karya lainnya tentang Rumi, Breathing Truth— ia juga menggambarkannya dalam perspektif perempuan. Mengalun liris, menyentuh, dengan kalimat serta ungkapan kata yang sederhana.
Sebagaimana umumnya novel yang mengambil seting sejarah, tentunya akan membuat samar antara fakta sejarah dan fiksi imajinasi. Dihadapkan dengannya, alangkah bijak jika kita tidak mempertanyakan benar atau tidaknya keberadaan sosok-sosok dalam kisah, atau kapan persis dan peristiwa apa yang terjadi di sekitarnya. Dalam novel-novel Pramudya, umpamanya, kita mesti menanggalkan itu semua demi menangkap spirit yang diangkatnya, yakni rasa nasionalisme dan sisi heroik. Demikian halnya tatkala kita membuka lembar demi lembar dan memaknai alunan kalimat-kalimat indah yang tertulis di novel Kimya ini. Kita mesti menangkap spirit di dalamnya, bahwa kebahagiaan mencintai tatkala kita berserah diri atas luka yang diakibatkannya, seumpama bahagianya laron-laron yang terbang, menari berputar dan terbakar nyala lilin. Tapi seperti kata Maulana, kebanyakan orang tidak siap untuk menari dalam genggaman Tuhan, karena mereka tidak bersedia untuk hidup terbakar (hal 487). Itu saja
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H