Mohon tunggu...
Hilyatul Maknunah
Hilyatul Maknunah Mohon Tunggu... Lainnya - -

Gubuk rasa semata

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Halo, Sarjana Pertama Keluarga

6 April 2022   17:17 Diperbarui: 6 April 2022   17:30 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa orang ditakdirkan sebagai pembuka gerbang pertama di keluarganya,  termasuk gerbang pendidikan, lalu kemudian disusul dengan anggota keluarga yang lain untuk mengikuti jejaknya tersebut. 

Semangat untuk para pendobrak gerbang pertama keluarga...


Kalian ditakdirkan untuk menjadi role model keluarga, a person who serve as an example, whose behavior is emulated by others, kalian adalah harapan dan setitik cahaya untuk keluarga.
.

.

Ini kisahku, sebagai sarjana pertama keluarga
sekali lagi tak pernah tertinggal untuk kusisipi di setiap cerita yang aku tulis, bahwa sekelumit kisah ini, hanya barangkali ada sesuatu berguna sedikit apapun, sebenarnya tak ada istimewanya dan lebih banyak kisah orang lain di luar sana yang lebih menarik dan luar biasa.

Aku berasal dari keluarga yang berlatar belakang pendidikan pesantren salaf (read: pesantren tradisional/klasik //Wikipedia).

Ayahku bertahun-tahun mengisi masa kecil hingga menikah untuk belajar sembari mengabdi kepada seorang Kiai. Sedangkan ibuku pernah menjadi santri ayahku saat dipercaya sebagai pengajar di pesantren, mereka berdua dijodohkan pak Kiai hingga lahirlah aku dan ketiga saudariku ke dunia ini.

Kakak perempuanku melanjutkan jejak ayah dan ibuku, sebagai santri di pesantren salaf dari lulus sekolah dasar hingga menikah.

Sedangkan aku, harus memutuskan sendiri jalur mana yang harus kutempuh untuk mencari bekal masa depan

Seingatku, kala duduk di bangku sekolah dasar, aku selalu menjadi bintang kelas (ciye) lalu apakah ini untuk berbangga? tentu seharusnya tidak boleh, justru ini adalah hal besar yang harus dipikul dan dipertanggungjawabkan.

"Ketahuilah adek kecil, betapa banyak harapan dan ekspektasi yang akan diberikan kepadamu, kamu harus bisa membuktikan dan tidak boleh mengecewakan," mungkin begitu pesan yang akan kusampaikan jika aku bertemu dengan diriku sendiri di masa lalu. :v

Dengan pertimbangan otak encer tersebut kata orang-orang, akhirnya aku harus menempuh pendidikan umum dari SMP hingga SMA.

Beban ekspektasi pihak eksternal senantiasa full mengantongi jejakku menggapai asa. Apakah itu sulit dan mengganggu? mungkin untuk seusia anak labil SMP SMA versi aku belum terpikirkan kali yaa baru deh ketika sudah mulai mengenal yang namanya overthinking mulai kerasa. Haha you feel it? :v
Gapapa itu wajar aja berarti normal, stay tataq enjoying your own way optimistically

Apa yang sulit menjadi pendobrak gerbang pertama?

Ya, yang sulit adalah bagaimana harus pandai membaca petunjuk jalan di depan tanpa pendamping yang lebih berpengalaman

Mungkin beberapa orang terlahir dengan 'previlege' keluarga berpendidikan, dia akan lebih mudah mendapatkan gambaran atmosfir dunia kuliah misalnya, barangkali juga akan mendapatkan pelayanan dan hak yang sesuai dari keluarga.

Lalu bagaimana dengan orang yang tidak memiliki previlege tersebut? bukan hal yang mustahil kawan, pekalah, Allah takdirkan kamu sebagai orang yang akan memuliakan derajat keluarga dunia akhirat dengan jalan ilmu.

Yang kedua adalah tentang menjadi role model sanak famili.
Bagaimana tidak, keluarga barangkali akan memandang anggotanya yang menempuh pendidikan tinggi adalah teladan, sosok yang (seharusnya) dapat menjadi contoh saudaranya yang lain atau keponakannya, atau sepupunya, atau tetangganya, atau anak tetangganya, atau temannya dan kawan kawan.

Sebetulnya ini dapat menjadi pengingat kala diri lupa, atau terlena.

Ketiga, adalah tentang memenuhi ekspektasi.

Tujuan utama pendidikan salah satunya adalah membawa peradaban manusia ke arah yang lebih baik, bahasa sederhananya mungkin menghilangkan kebodohan di muka bumi ini, sebab musuh terbesar kemajuan adalah kebodohan (baik bodoh intelektual maupun bodoh sosial)
sekali lagi, ini perlu ditanamkan kepada seluruh warga Indonesia terutama penganut mazhab ekspektasi materialistik terhadap pendidikan. Bahwa tujuan pendidikan yang utama bukanlah untuk memperkaya diri dengan mendapatkan pekerjaan bergaji minimal dua digit

Okelah tidak salah memang jika seseorang ingin memperbaiki nasib secara finansial melalui pendidikan, namun ada hal yang harus lebih disadari bahwa pendidikan adalah proses menuju kedewasaan berpikir, mengupgrade mindset dan mengabdikan diri untuk kemanfaatan pernah banyak sesuai dengan sabda Rasulullah "Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain."

Pendidikan menjadi kunci untuk mengimplementasikan sabda Rasulullah tersebut.

Semangat pendobrak gerbang pertama pendidikan di keluarga, semoga Allah kabulkan segala asa muliamu.

Ditulis oleh seorang sarjana kimia penerima beasiswa Bidikmisi  yang masih terus berproses...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun