"Nini tadi kehujanan, ya?"
"Um. Cikit caja, kok. Nini dak puyang, ujan deyas!" Nini mau bilang kalau tadi dia menunggu sampai reda baru pulang dulu. "Nini dah didi, Buna. Nini wanii!" Dia juga pamer kalau sekarang tubuhnya sudah sangat wangi.
"Nini cepat pakai baju, gih, terus makan dulu. Sini, baju kotornya biar Bunda yang taruh."
Nini mengelak saat Bunda mau mengambil baju kotornya. "No, no, Bunaa. Nini bicaa. Ini puna Nini. Nini halus tanu jawab!"
Setelah berkata seperti itu, Nini berlari kecil menuju ruang cuci. Dia dengan raut bangga menaruh baju dalamannya tadi. Nini merasa keren karena bisa melakukan semuanya seorang diri.
Di belakang Nini, Bunda melihat apa saja yang telah anak itu lakukan. Nini memang lebih dewasa dan lebih mudah diajari daripada anak-anak lain. Kadang, Bunda juga khawatir kalau Nini terlalu memaksakan diri. Tapi, melihat Nini yang menikmati perannya juga membuat Bunda jadi bangga.
"Nini keren, deh. Kalau sudah selesai, langsung pakai baju, ya? Nanti sakit."
"Iya, Bunaa!" balas Nini. Dia sudah berjalan ke kamar untuk memakai bajunya.
Anak-anak di panti asuhan lebih banyak memakai baju lungsuran dari anak yang paling besar. Dana yang Bunda keluarkan memang dari kantong pribadi, terlebih panti asuhan mereka berada di daerah yang cukup terpencil dan jarang ada donatur. Jadi, Nini juga harus puas jika dia harus memakai baju bekas kakak-kakak senior di panti. Beruntung anak itu tidak rewel dan cenderung penurut.
Walau sekali lagi, terkadang Bunda merasa sedih karena meski baju Nini yang paling banyak di antara anak lain, baju-baju Nini jugalah yang sering tidak layak pakai.
"PaidelNiiii!" teriak Nini. Dia berlari dari kamar menuju ruang makan. Bunda sudah menyiapkan piring untuknya.